Budaya Islami vs Pop Culture: Potret Budaya Mahasiswa UIN
Oleh Anwar Syueb Tandjung*
Berbicara persoalan budaya merupakan pembicaraan yang cukup pelik dan licin. Ini setidaknya diakui oleh para pemikir atau pemerhati kebudayaan khususnya, keseluruhan manusia sebagai individu umumnya. Ini dimungkinkan karena sifat budaya  itu sendiri yang dinamis. Budaya akan muncul, berkembang, bertahan atau statis, berubah dan menghilang seturut dengan perubahan yang terjadi pada manusia sebagai subjek atau masyarakat itu sendiri. Di mana manusia sebagai subjek yang aktif mampu memproduksi sekaligus pelaku dari suatu diskursus yang telah ada dalam masyarakat tersebut. Meskipun sang subjek ini tidak mampu keluar dari kungkungan diskursus itu, ia setidaknya tidak pasif atau manut begitu saja terhadap diskursus atau struktur yang ada. Ia berusaha semampunya untuk menghadapinya.
Dalam hal ini, yakni kegiatan memotret dari pelbagai budaya yang melekat dalam diri Mahasiswa UIN Jakarta, saya akan menggunakan analisis subjek dalam pemikiran posmodernisme yang seterusnya dikaitkan dengan pola pilihan konsumsi mereka terhadap relitas yang ada di sekitar UIN Jakarta sendiri khususnya, dan yang ada di dunia umumnya. Namun sebelum itu saya terlebih dahulu membicarakan masala budaya Islami dan pop culture sekaligus memahami definisi, penjelasan dan hal-hal yang terkait dengan istilah "budaya" itu sendiri. Secara etimologi budaya berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere-colui-cultus, yang berarti menanam, memelihara, merawat dan mendiami. Dengan demikian pada mulanya colere berkaitan dengan perihal tanam-menanam. Namun colere juga berarti menghormati, menyembah, beribada dan merayakannya. Dari kata kerja itu, cultura berarti pengusahaan tanah, yang kemudian beralih ke kultivasi terhadap kemampuan pikiran manusia. (Thomas Kristiatmo, 2008: 73-74).
Secara terminologi, "budaya" memiliki berbagai arti yang cukup luas. Di sini setidaknya secara garis besar ada tiga pengertian yang ditawarkan pemikir kebudayaan Raymond Williams. Pertama, budaya dikonotasikan sebagai suatu proses perkembangan intelektualitas, spirritualitas dan estetis. Kedua, budaya bisa berarti pandangan hidup dari suatu masyarakat tertentu, kelompok bahkan individu. Ketiga, budaya bisa berarti suatu karya dan praktek-praktek intelektual, tertutama yang bernuansa artistik. (Ridho Al-Hamdi, 2009: 1).
Dari berbagai corak definisi di atas, kita dapat pahami bahwa kebudayaan itu adalah ciri khas manusia. Kebudayaan itu merupakan proses kreatifitas manusia dalam menyempurnakan apa pun yang dihadapi dan dihidupi. Bahkan menurut E. B. Tylor mendefinisikan kebudayaan itu sebagai keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, adat istiadat dan serta kebiasaan yang terdapat di suatu masyarakat tersebut.(Thomas Kristiatmo, 2008: 75). Chris Barker menegaskan bahwa kebudayaan itu adalah hal-hal yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Ia mengamini apa yang dikatakan Raymond Williams yang menekankan bahwa kebudayaan itu merupakan dari karakter kesehari-harian (masyarakat) sebagai keseluruhan cara hidup. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa konsep yang diajukan oleh Williams itu merupakan konsep antropologis, karena berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti nilai, norma dan benda-benda materil atau symbol-simbol yang ada di dalam masyarakat tersebut. (Chris Barker, 2005: 49-50).
Budaya Islami merupakan suatu perkataan yang mendasarkan Islam selain sebagai agama yang melulu berurusan antara manusia dengan Tuhannya, juga sebagai pandangan hidup yang yang memberikan pedoman kepada manusia dalam semua aspek kehidupannya. Maka semua yang berkaitan dengannya, baik yang berhubungan langsung dengan tata-cara peribadatannya ataupun tidak itu bisa dikatakan sebagai budaya islami. Seperti: karya-karya seni; arsitektur, gerafis, lukis, musik sastra dan lain-lainnya. Juga semua tindakannya akan dilihat sebagai sebuah ekspresi dari penghayatan keislamannya. Ini yang ditegaskan oleh Dr. Kautsar Azhari Noer dalam Ensiklopedi Dunia Islam, Islam sebagai fenomena kultural. Juga kalau kita baca buku Kultur Islam karya Dr. Oemar Amin Hoesen (1964) yang setebal 606 halaman itu, kita akan melihat seluru isinya yang dikaitkan dengan Islam. Mulai dari Ilmu Kedokteran, Matematika, Bangunan, Seni sampai Sastra semua pada dasarnya berasaskan Islam. Ini mungkin terlihat memaksakan, tapi begitulah adanya "ego seorang muslim". Hingga akhir-akhir ini pun di UIN Jakarta khususnya, dunia muslim umumnya paham yang seperti itu mulai digencarkan dan mengintensifkan pendakwahannya dengan berbagai media. Di UIN Jakarta sendiri di gencarkan oleh Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara, yang mempopulerkan istilah "Integrasi" sebagai kata kuncinya.
Menurut saya hal-hal seperti itu terlalu memaksakan diri dengan ego yang menutup diri dari yang "Liyan". Istilah "integrasi" yang digunakan untuk penyatuan ilmu-ilmu umum ke dalam agama itu sendiri terlalu "sempit", karena tidak berdasr dan dipenuhi sikap keegoistisan atau keeklusifan para pensyarah atau pemikir (komentator) muslim terhadap kitab-kitab babon yang ditulis oleh orang-orang muslim. Padahal mereka belum tentu mengatakan bahwa ilmu itu, ilmu atau budaya Islam. Hanya saja ditulis oleh seorang muslim, itu tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah ilmu atau budaya Islam. Seprti halnya Ikhwanushafa, al-Kindi Ibn Sina dan para filosof lainya abad ke-8-10 M/2-4 H. yang menulis tentang Fisika, Ilmu Kedokteran, Matematika dan lain-lainnya. Ilmu-ilmu seperti itu jauh-jauh sebelumnya, yakni pada abad ke-6-1 SM pun sudah pernah dibicarakan oleh para filosof Yunani pada massa itu. Seperti: Heraclitus, Parminedes, Pythagoras, Plato, Aristoteles dan yang lain-lainnya. (lihatlah Ahmad Hanafi, 1990). Itu menandakan bahwa ilmu-ilmu seperti itu bukan budaya islam asli.
Apalagi seperti yang dikatakan Baban Banita (2009) dalam artikelnya yang berjudul Seni Budaya Islami. Ia mengatakan bahwa "(budaya) Islami bagi saya adalah sebuah situasi dan kondisi suatu proses yang didasari oleh tujuan untuk menuju jalan Allah. Artinya, segala kegiatan yang dilakukan itu selalu diwarnai oleh nilai-nilai keislaman. Dengan demikian, bagi umat Islam nilai yang harus mengarahkan seluruh aktivitasnya, lahir dan batin, dan yang kepadanya bermuara seluruh gerak langkah dan detak jantung adalah keesaan Allah (tauhid)".
Hal yang seperti itu menurut saya sungguh terlalu mempersempit atau mempermudah hal-hal yang sebenarnya begitu rumit dan pelik. Pandangan seperti itu telah meloncat jauh dari realitas manusia itu sendiri yang hidup bersama dengan yang lainnya dalam suatu diskursus yang pelik dan keras. Ini sungguh delematis, di mana di setiap masyarakat punya norma-norma atau nilai-nilai etisnya tersendiri yang itu ada dengan sendirinya seiring dengan waktu pergulatan masyarakat itu sendiri di tempat tertentu, yang norma-norma itu sendiri berbeda dengan norma-norma yang lahir dari Islam, terus seorang Muslim yang hidup di dalam norma yang beda dengan keyakinannya memaksakan diri mengaplikasikan atau menerapkan noramanya dalam kehidupan kesehari-hariannya. Di sini delematisnya, ketika seorang Muslim itu memaksakan diri mengikuti nilai keislamannya dalam aktivitas lahir dan batinnya dalam masyarakat yang berbeda. Yang saya maksud di sini sangat sulit masyarakat menerima tindakan sesorang yang tidak sesuai dengan norma atau nilai yang ada. Dan hal ini kalau dipaksakan akan terjadi kekacauan atau ketidak harmonisan dalam bermasyarakat.
Sedangkan istilah "Pop Culture" merupakan kata yang berorientasi kepada kondisi kekinian. Istilah "Pop" sendiri adalah singkatan dari Populer. Pop culture atau budaya populer adalah budaya yang disenangi atau disukai banyak orang. Seperti yang terjadi saat ini, yakni yang sudah menjadi gejala global keranjingan facebook, playstation, musik-musik pop dan masih banyak yang lainnya yang disukai banyak orang di massa kini. Sering juga budaya pop itu disebut sebagai budaya massa, budaya komersil, budaya tinggi dan budaya indah. Ridho mengatakan dengan mengutip perkataan Idi Subandi Ibrahim, "budaya popular merupakan budaya massa yang ditopang oleh industri kebudayaaan (cultural industry), serta mengonstruksi masyarakat bukan hanya berdasarkan konsumsi, tetapi juga menjadikan semua artefak sebagi produk industri.(Ridho Al-Hamdi, 2009: 3).
Chris Barker juga menjelaskan budaya popular ini mengarah sebagai  dampak dari komersialisai industri, yakni budaya yang diproduksi secara massal oleh industri kebudayaan. Di mana budaya yang diproduksi secara komersial itu tampak tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hal ini akan berubah untuk waktu-waktu yang akan datang. Budaya populer dipandang sebagai makna-makna dan praktik-praktik hasil produksi khalayak populer pada momen konsumsi dan kajian ini berpusat pada bagaimana ia digunakan. Dalam penelitian budaya polpuler ini pengalaman simbolis dan praktik keseharian secara analitis maupun politis lebih penting dari pada "budaya tinggi", budaya dengan "B" besar. Di dalam budaya populer terdapat situs pertarungan makna yang cukup hebat. Dan budaya populer tersebut bukanlah berkaitan dengan nilai-nilai kultural atau estetis, tetapi berkaitan dengan kekuasaan dan tempat budaya pouler dalam formasi sosial yang lebih luas. (Chris Barker, 2005: 63-64).
Subjek dalam Pandangan Dunia Posmodernisme
Meskipun terjadi perdebatan yang cukup ramai pada dekade yang lalu tentang otentisitas, namun posmodernisme selalu menjadi maradona dalam perbincangan yang aktual hingga kini. Datangnya gelombang posmodernisme telah menimbulkan berbagai reaksi dari para pendukung modernisme. Posmodernisme seolah-olah seperti oase yang menyegarkan setelah tandusnya modernisme. Namun pemikiran seperti apapun tidak berarti tanpa ada kekhawatiran, seperti pandangan orang terhadap posmodernisme ada juga yang paranoi, ketakutan mereka terhadap status budaya lokal.
Ada banyak cara orang mempersoalkan posmodernisme. Dalam tulisan ini saya saya tidak membahas problematika posmodernisme dengan komprehensif, saya hanya mengklasifikasikan posmodernisme dan manusia postmodern berdasarkan analisisnya Yasraf Amir Piling yang mengatakan bahwa manusia posmodernis itu terbagi dua. Pertama, manusia posmodernis minimalis. Dua, manusia posmodernis pluralis. (Yasraf Amir Piling, 2006).
Pembicaraan persoalan manusia posmodern tidak lepas dari pembicaraan manusia sebagai subjek, yang berrelasi antara dirinya dengan dunia di sekitarnya. Dalam hal ini saya menggunakan istilah kata subjek bukan kata individu. Subjek merupakan kata yang merujuk ke manusia yang hidup dalam masyarakakat, di mana manusia sebagai subjek yang dipengaruhi oleh budaya atau diskursus yang ada dalam masyarakat tersebut. Manusia sebagai sujbek dalam pemikiran posmodernis ada yang mengatakan subjek yang aktif ada juga yang mengatakan sebagai subjek yang pasif. Sedangkan istilah individu, merupakan istilah yang digunakan para pemikir modern untuk merujuk pada manusia yang idependen sekaligus otonom. Manusia yang terbebas dari pengaruh budaya yang ada dalam masyarakat. Manusia yang super aktif menentukan sendiri apa yang ia maui. Manusia sebagai penentu apa yang ada dalam dirinya juga penentu dunia yang ada di luar dirinya. Itulah manusia modern. Manusia yang cogito.
Subjek sendiri sebenarnya merupakan konsep yang abstrak tentang relasi dirinya dengan dunia sekitarnya. Para pemikir posmodernis cenderung ke arah posubjektivitas, yakni penolakan diri yang berproses menjadi subjek. Namun penolakan ini bisa diartikan: pertama, tidak ada lagi yang namanya subjek, yang kini telah terlarut dalam genangan struktur di luar dirinya (bahasa, objek, wacana atau citra), dan ini akan menggiring kepada kematian subjek. Para pemikir yang termasuk dalam golongan pertama ini antara lain Derrida, Foucault, Lacan, Deleuze, Boudrillard dan Rorty. Kedua, penolakan dalam pengertian kekuasaan subjek terbatas dalam konsep subjek modern sebagai pusat dunia. Para pemikirnya adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Touraine, Giddens dan Bourdieu.
Foucault misalnya, seorang filosof yang merayakan matinya subjek, mengatakan bahwa dunia wacana merupakan dunia yang bisa dimasuki manusia, yang di dalamnya sudah terstruktur relasi kekuasaan tertentu. Dan juga di dalamnya bahasa mereproduksi dirinya sendiri dalam memori, imajinasi dan perhatian. Di sini wacanalah yang berdaulat. Manusia (subjek) tidak punya kekuatan apa-apa dalam dunia wacana ini. Ini berarti manusia postmodern terserap dalam dunia discourse. Senada dengan Foucault, Baudrillard juga punya pandangan yang sama bahwa manusia posmodernis itu telah terserap dalam dunia objek. Manusia telah dibentuk oleh objek. Meskipun dikatakan bahwa manusia bisa memproduksi objek, tapi kebanyakan manusia hanya sebagai konsumen objek-objek tersebut. Manusia terserap dalam logika objek, yang di dalamnya terdapat irama pergantian bentuk, gaya dan citra. Objek kini menjadi pusat dunia, kebalikan dari apa yang dikatakan Descartes, bahwa subjek (cogito) menjadi pusat dunia. (Yasraf Amir Piling, 2006: 4-5).
Sedangakan Heidegger mengkeritik pemikiran yang mengatakan bahwa kebenaaran itu ada dalam diri subjek (individu). Inilah yang ia kataka sebagai "subjek tertutup". Tertutup dari kebenaran yang ada di luar dirinya. Dan kemudian dia mengajukan "subjek terbuka". Subjek yang membuka diri terhadap kebenaran yang ada di luar dirinya. Subjek yang seperti ini berarti subjek yang mempunyai kemampuan atau kapasitas untuk menafsir, sekaligus juga terbuka terhadap dunia yang diinterpretasikannya dalam rangka menemukan eksistensinya yang lebih dalam. Subjek yang seperti ini adalah subjek yang tidak hanyut dalam dunia bentukan sosialnya, dengan berupaya menafsirkannya untuk menemukan dunia eksistensinya yang paling esensi. Para pemikir hermeneutik, Gadamer dan Ricoeur juga menempatkan subjek bukan sebagai yang pasif, melainkan subjek yang aktif. Subjek yang berperan dan membentuk dunia realitasnya sendiri.
Homo Minimalis
Istilah minimalis sering digunakan untuk menyebut suatau perbuatan atau keadaan yang minimal, keadaan yang terjerat dalam perspektif dan visi minimalisme. Sedangakan minimalisme dalam posmodern adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi minimalis, dalam artian ia dibangun oleh dasar, determinasi, keberaturan, ketetapan yang minimal. Dalam epistemologi atau ontologi misalnya, tidak memiliki pengetahuan yang universal tentang benar-salah atau baik-buruk. Itulah manusia posmodern minimalis, yang secara umum memiiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, manusia ironis (homo ironia). Manusia ironis cenderung melihat segala sesuatu itu, baik masalah kebenaran atau kebaikan mislanya, selalu berada dalam ketidakpastian atau kontingen. Meskipun mereka mempercayai adanya ukuran-ukuran tersendiri dalam moral baik-buruk atau benar-salah, tapi mereka meyakini bahwa ukuran itu sendiri selalu berubah-ubah, kontingen atau tidak tetap. Di sisi lain manusia ironis ini mempunyai tekad yang kuat untuk tetap survive dalam keadaan macam apa pun. Mereka mengabaikan rasionalisme universal. Misalnya dalam situasi gejala konsumerisme yang menggilakan ini, mereka sadar bahwa itu akan menghancurkan, tapi tetap mereka ikut arus itu demi keeksistensian dan kesurvaivan mereka.
Kedua, manusia skizofrenik. Skizifrenik adalah sebuah konsep yang mengatakan bahawa manusia itu dalam keadaan diri terbelah (divided self) atau diri jamak (multiple self). Manusia yang tidak memiliki ketetapan, kekonsistenan dan kontinuitas diri, sehingga mengarah ke ketiadaan ego. Bahkan sampai kepada pembebasan terhadap peraturan yang ada. Manusia skizofrenik ini sangat merayakan kecairan (fluidity) hasrat, yakni megalir begitu saja keberbagai tempat, keyakinan dan idiologi tanpa ada pengendalian yang tetap. Mereka merayakan rasa mengalir dan kebebasab, berpindah dari pelepasan hasrat yang satu ke hasrat yang lain, dari keimanan yang semula ke keimanan yang lain. Yang itu tidak akan berhenti sampai seterusnya. Karena mereka berada dalam medan deteritorialisasi.
Ketiga, manusia fatalis (homo fatallis). Seperti yang saya katakana di atas bahwa manusia fatalis ini adalah manusia yang tidak bisa lepas dari dunia objeknya. Manusia yang terkurung dan terhisap dalam dunia objek. Manusia fatalis adalah manusia yang dibentuk oleh kondisi fatalitas, yang di dalamnya (konsep, argument dan objek) berkembang kearah titik yang melampaui dan terus didorong lagi kedalam suatu titik yang di dalamnya konsep, informasi, komunikasi atau sistem yang kehilangan logikanya sendiri. Manusi fatalis juga bisa dikatakan sebagai manusia layar. Manusia yang selalu menghadapkan diri dan menghabiskan sebagian besar waktunya pada layar. Seperti kepada televisi, computer, internet, hp, film atau ATM dan lain-lainnya. Di mana mereka terjerembab dalam logika pembenaran citra sebagai realitas, yang menerima dengan cara tidak keritis terhadap glombang-glombang yang menyerang dirinya dari berbagai arah, dan menerima saja citra-citra seperti; iklan, TV, fashion, dan objek-objek yang lainnya sebagai bentuk eksistensinya dalam rangka memakanai kehidupannya. Itulah yang disebut hidup dalam dunia simulakrum.
Homo Pluralis
Manusia posmodern yang pluralis adalah manusia yang tidak menenggelamkan dirinya di dalam mekanisme (wacana, bahasa, objek dsimbol) di luar dirinya. Merupakan kebalikan dari manusia minimalis. Manusia yang berusaha melakukan revisi atau rekonstruksi terhadap dirinya sebagai subjek atau aktor, dengan mengembangakan dunia yang dialogis, komunikaif, toleran dan intersubjektivitas. Ada pun ciri-ciri manusia pluralis sebaggai berikut:
Pertama, manusia dialogis (homo dialogus). Manusia dialogis adalah manusia yang menganggap manusia yang lainnya sebagai patner dialaog untuk saling memahami dan menghormati. Manusia dialogis ini memang lebih mengutamakan pemahaman (verestehen) terhadap yang lainnya. Ini adalah cara untuk memahami dirinya juga sekaligus untuk membangun dirinya. Manusia dialogis adalah manusia yang menghargai warna-warna yang lainnya, yang berbeda dengan dirinya. Yang menurut Mikhail Bakhti manusia yang terlibat akatif dalam proses pertarungan sosialnya dengan penghargaannya terhadap keanekaragaman.
Kedua, manusia aktivis. Manusia aktivis dapat diartiakan sebagai manusia yang terlibat dalam segala aktivitas merebut kembali kekuasaan subjek sebagai produsen atau aktor. Manusia yang amampu mempertanyakan kembali model-model kultural yang ada terutama yang bersifat totalitas. Manusia yang tidak bergantung pada aturan-aturan dan nilai-nilai historis, tapi manusia yang mampu membentuk proses sejarahnya sendiri melalui kreasi-kreasi kultural dan perjuangan sosial dengan melakukan memerangi segala bentuk kontrol terhadap proses perubahan yang lebih otentik. Ketiga, manusia multukulturalis. Manusia yang lebih mengharagai akan perbedaan dengan penyamarataan di depan yang berwajib. Berbeda dengan pluralitas, yang di dalamnya masih mengandaikan atau ada problem minoritas dan mayoritas. Manusia kulturalisme dibangun berdasarkan persamaan, kesetaraan dan keadilan.
Konsumsi, Selara dan Perubahan Sosial
Setiap manusia (subjek) memiliki konsumsi dan selera tersendiri yang sifatnya selalu berubah-ubah. Perbahan itu seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, teknologi dan kultural di mana sang subjek itu hidup. Konsumsi ini, termasuk makan, berpakaian, permainan, intelektualis dan gaya hidup secara umum akan mempengaruhi selera dan perubahan sosial yang terbentuk dibelakangnya. Konsumsi merupakan sebuah aktivitas, yang meskipun terlihat sepele tapi merupakan sebuah kebudayaan, yang kalau dilihat lebih dalam akan tampak begitu komplek.
Sebagai sebuah wujud kebudayaan, konsumsi (makan, fashion, game, teknologi, buku, dan intelektual) tidak hanya melibatkan budaya fisik saja, seperti barang yang sepeti apa yang dikosnsumsi, dan peralatan-peralatannya, namun unsur-unsur yang nonfisik pun sepeti selera, (selera dalam pengertian sosiologisnya, yaitu klasifikasi dan hirarkis selera yang ada di masyarakat tersebut) makna, dan nilai sangat menentukan terhadap kesosialan, politik, ekonomi, kultural dan spiritual. Selera berkaitan dengan aspek-aspek perasaan, apresiasi, dan penghayatan terhadap berbagai hal yang kita konsumsi. Makna berkaitan dengan bagaimana manusia itu mengonsumsi, yang di dalamnya terdapat makna, tanda dan kode-kode tertentu. Nilai, menentukan bagaimana orang mengklasifkasikan terhadap apa yang mau dikonsumsinya. Konsumsi merupakan sebuah bentuk akativitas yang paling primordial, dalam sejarahnya setua sejarah manusia itu sendiri. Oleh karena itu konsumsi dimaknai secara beragam. Konsumsi secara luas dapat dimakanai sebagi sebuah kegiatan penggunaan hak milik material dan penggunaan sebuh konsep di balik sebuah tanda tersebut. Selera terhadap konsumsi itupun mempunyai makna dan nilai yang begitu beragam, sesuai selera yang ada dalam masyarakat tersebut.
Konsumsi dapat dimaknai sebagai sebuah bahasa yang menyampaikan berbagai makana yang ada di belakangnya. Seperti penyampaian makna sosial atau kulturalnya. Macam atau bentuk-bentuk apa dan bagaimana cara orang itu mengkonsumsi sesuatu sesuai dengan makna atau nilai-nilai yang terdapat dalam suatu masyarakat tersebut. Konsumsi sebagai sebuah bagian dari budaya, tentunya mempunya aturan atau kode-kode yang di bentuk oleh sosial yang ada. Dan apa yang kita konsumsi pun berkaitan dengan persepsi yang kita miliki. Konsumsi macam apa yang kita pilih itu berdasarkan persepsi kita yang dibangun oleh sosial, budaya dan agama yang kita yakini. Juga konsumsi macam apa yang kita pilih itu menandakan sebuah proses komunikasi, yaitu tindak membaca, memahami kode yang terdapat dalam struktur tersebut.
kesimpulan: Makna dan Relefansinya terhadap Budaya Mahasiswa UIN Jakarta
UIN dan dunia di sekitarnya merupakan sebuah spasialitas yang membentuk atau memproduksi sosialitasnya sendiri. Bagaimana corak atau rupa sosialitas itu sesuai dengan bagaimana rupa dan unsur-unsur yang melingkupi spasialitas itu sendiri. Letak UIN secara geografis sangat strategis meskipun bukan di tengah-tengah kota. Di mana di depannya terdapat sebuah jalan yang menghubungkan antara kota-kota besar, terutama Bogor-Parung-Tanggerang-Jakarta. Juga tidak jauh terdapat terminal Lebak Bulus, titik lalu-lalangnya pendatang dari berbagai daerah. Dua unsur tersebut dapat dikatakan sebagai sebab kemudahan datang dan berkebangnya budaya-budaya baru ke area UIN.
UIN sendiri secara bentuk fisik arsitektur, cukup megah dan mewah. Yang didesain selain sebagai tempat untuk pendidikan juga untuk konsumtif. Ini bisa kita lihat (maknai) dari tembok-tembok tinggi besar yang mengelilingi seluruh bangunan UIN, terutama kampus satu, yang hanya dikasih satu pintu kecil, dan di dekat pintu utama (gerbang). Kalau dilihat dari semiotika arsitektur misalnya, ini menjadi wajar jika budaya mahasiswa menjadi cenderung glamour dan konsumtif. Budaya-budaya seperti itu disadari atau tidak, itu dibentuk oleh tempat atau spasialitas yang kita tempati. Seperti yang dikatakan Aart van Zoest bahwa bukan tidak mungkin, daya tanggap kita ditentukan oleh kondisi ruang. Data ruang yang mengelilingi kita setidaknya memberikan kita sebagian besar bahan yang kita pakai dalam kehidupan mental kita: kondisi ruang yang menampilkan diri pada kita sangat menentukan sikap dan reaksi-reaksi intelektual dan emosional kita. (Aart van Zoest, 1993: 103).
Memang pada awalnya sebuah ruang itu dibentuk oleh sosialitas (manusia), tapi lama kelamaan spasialitas itu sendiri yang berbalik membentuk sosialitasnya. Seperti yang ditegaskan Dr. Fransisco Budi Hardiman bahwa "Ruang selalu adalah "ruang untuk" dan merupakan produk sosial; namun elit dominan memproduksi "ruang untuk" yang akan menstrukturasi bentuk-bentuk sosialitas. Mereka adalah desainer sosial". (F. Budi Hardiman, 2009). Jadi jelas bahwa apa pun relitas yang ada, yang termanifestasi dalam pola kehidupan mahasiswa UIN merupakan wujud manifestasi dari ruang atau spasialitas yang ditempati itu sendiri. Yang pada akhirnya jadi sebuah budaya atau pola gaya hidup.
Juga pilihan konsumsi macam apa yang dilakukan mahasiswa UIN Jakarta, itu sesuai dengan selera dan pola macam bagaimana budaya gaya hidup mereka yang merupakan buah dari konstrukkan spasialitasnya. Seperti yang sudah menjadi budaya populer di kalangan mahasiswa sendiri seperti permainan atau game playstation (PS), facebook (FB), HP, fashion (pakaian ketat, (skinny jeans) kerudung panjang dan baju besar atau baju kurung), nongkrong, hangout atau ngeceng di tempat-tempat tertentu (mal-mal) dan budaya-budaya pop lainnya. Ini tentu merupakan sebuah pilihan konsumsi dan selera mereka yang dibentuk oleh spasialitas yang ada. Mereka (kita) sebagai subjek ironis, yang meskipun mereka tahu bahwa budaya-budaya tersebut akan membawa teralienasinya sang diri sebagai subjek bahkan kehancuran bagi pelakunya, mereka tetap memilih dan menjalankannya. Ini demi keeksistensian dan kesurvaivan mereka sendiri terhadap sosialitas yang ada.
Mereka (anak-anak mahasiswa UIN Jakarta) kabanyakan berada dalam klompok manusia posmodern minimalis. Di mana meskipun sadar akan membahayakan mereka, tapi tetap itu tidak bisa ditinggalkannya, karena itu merupakan suatu wujud ekspresi untuk menunjukan bahwa dia eksis dan survive (homo ironia). Keyakinan atau kepercayaan mereka mencair, dari keyakinan yang satu ke keyakinan yang lain trus dan terus mengalir tak pernah ada kekonsistenan yang langgeng. Bahkan tak lagi mempedulikan norma atau nilai-nilai yang ada dalam sosialitas itu (manusia skizofrenik). Dan dalam kehidupan kesehariannya kebanyakan mereka habiskan dalam dunia layer kaca. Kehidupan normal mereka terserap dalam logikanya, tanpa ada refleksi dan internalisasi dalam rangka membentuk atau memakanai kehidupan yang lebih baik (homo fatalis).
Jadi sebenarnya wacanapertarunganduabudaya (Budaya Islami dengan Pop Culture) tidak ada, yang terdapat dalam budaya mahasiswa UIN Jakarta itu tidak ada. Karena budaya yang ada itu merupakan bentukan struktur atau spasialitas, bukan bentukan atau produksi manusia sebagai subjek yang aktif. Meskipun ada subjek yang aktif dan membentuk objek-objeknya sendiri, tapi itu tidak banyak dan akhirnya harus kalah dan tunduk pada kekuatan budaya yang dibentuk oleh spasialitas dan disokong oleh budaya industri yang kuat. Sang subjek dalam hal ini tidak mempunya daya apa-apa. Mereka hanya menuruti apa yang berlaku umum, dan tidak ada kuasa untuk merubahnya.
Dalam hal ini, saya akan mengatakan bahwa pertarungan itu akan ada jika sang subjek itu aktif sekaligus sadar dan merefleksikan kesadarannya itu dalam dunia nyata (real). Setidaknya menjadi subjek yang mampu memfilter atau menginternalisasi dunia yang ada di luar dirinya saja sudah cukup, kalau tidak bisa menjadi manusia sebagai subjek yang menjadi pusat dunia.
*Mahasiswa Filsafat UIN Jkt, semester 7. Aktif di forum kajian; Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H