Kembali ke Psikoanalisisnya Freud bahwa manusia dikendalikan oleh sesuatu yang disukai oleh alam bawah sadarnya, apa jadinya jika semua anak-anak maupun remaja di bawah umur yang suka dengan lagu semacam ini menuntut dirinya untuk menjadi demikian? Jangankan anak-anak, orang-orang tua saja dihadapan apa yang diingini rasionalitasnya menjadi tak berdaya.
Saya berasumsi, seandainya Nabi Muhammad saw. dan Aisyah R.a masih hidup, mereka tak akan sudi namanya dinyanyikan dan diekspresikan secara sensual seperti sekarang ini.
Tapi kita bebas dalam menangkap makna, dalam konsep Roland Barthes ia menyebutnya sebagai Death of The Author atau kematian sang penutur. Ketika suatu teks keluar menjadi tuturan maka ia bukan lagi milik penutur melainkan bebas diberi makna oleh yang menerima tuturan. Apakah Lagu ini menjadi motivasi, menggelikan, atau bikin mual itu tergantung pre-understanding yang dimiliki masing-masing individu.
Sementara Produsen teks semakin eksis, konsumennya terjebak kemageran dan keinginan untuk terus rebahan. Dua keadaan yang berbanding terbalik. Mereka untung panggung mentasnya terbuka lebar, kamunya rugi, rugi waktu, pemikiran, maupun perasaan diarahkan untuk mengahayal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H