Mohon tunggu...
Sahab Anwar
Sahab Anwar Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalau mau menunggu sampai siap, kita akan menghabiskan sisa hidup kita hanya untuk menunggu.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Tertawalah, seisi dunia akan tertawa bersamamu dan jangan bersedih karena kau hanya akan bersedih sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Music

Analisis Lagu Istri Rasulullah Menurut Teori

13 Mei 2020   14:06 Diperbarui: 13 Mei 2020   13:58 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama: Sahab Anwar
Nim: 171510000363

Awalnya saya pikir terlalu berlebihan kalau lagu Aisyah Istri Rasulullah dianalisis pake teori. Tapi kok ya lagunya sangat trending dan ngasih pengaruh secara psikis buat pendengarnya (baca: bikin halu). Kalau kata Freud dalam teori psikoanalisisnya, manusia emang bergerak atas dorongan irasional kayak dorongan naluri dan biologis, bukan oleh dorongan "kebenaran". Buktinya, kita lebih banyak melakukan sesuatu yang kita suka, bukan yang kita yakini benar.

Apa hubungannya Freud sama lagu Aisyah Istri Rasulullah ini? Ya itu, kita suka sama lagu ini karena dorongan naluri dan biologis, karena kalau ditelisik secara isi, apakah lagu ini benar dan pantas, harusnya sih kita nggak akan suka. Saya bakal jelasin alasannya kenapa.

Lagu Aisyah Istri Rasulullah, dari dua nama yang ada di judul saya sudah terdengar subhanallah. Bagaimana tidak, Muhammad saw adalah Nabi, dan Aisyah ra adalah istrinya. Tapi, biar bisa memahami lagu ini dan mengungkap maknanya dengan serius, kita harus meminggirkan dulu erasaan subhanallah ini.
Sifat dari teks ialah ia tidak selalu hadir sebagai dirinya, ada makna yang dibawanya. dan cara orang menyampaikan turut memberi andil terhadap pemberian makna.

Walau bagi Paul Ricoeur untuk memahami teks kita perlu melakukan distansi atau mengambil jarak antara subjek dengan teks sehingga subjektivitas tak mereduksi makna. Tapi, bagi Gadamer tak ada yang bisa melepaskan diri dari dari subjektivitas, baik itu penutur maupun yang menangkap tuturan. Selalu ada tendensi orang melahirkan wacana begitupun yang menangkap lalu memberi makna. Apakah itu tendensi historis, politik, romantic, dan lain-lain.
Dalam hermeneutika Ricoeur, untuk memahami wacana dan tindakan ia menjelaskan tiga istilah
1. Lokusi: yaitu tindakan tutur untuk menyatakan sesuatu yang sifatnya informatif
2. Ilokusi: yaitu tutur informatif sekaligus bertujuan melahirkan tindakan tertentu
3. Perlokusi: yaitu tindakan tutur yang mempunyai efek (mendorong, memotifasi, menakut-nakuti, menipu, menghasut dan dorongan-dorongan lain)
Bagi saya, posisi lagu ini sebagai Teks berada pada dua keadaan, yaitu Ilokusi dan Perlokusi. Dengan makna yang menipu (menjadi Aisyah Palsu), sekaligus mendorong untuk segera berrumah tangga. (Ingat kalau kamu masih pelajar atau mahasiswa, ditahan dulu). 

Seseorang yang mendengarkan atau menyanyikan lagu ini bila tak selektif akan mengalami dampak imajinatif. Seolah ia merasa menjadi seperti Aisyah istri Muhammad saw., Romantis, dan penuh kebahagiaan. Perlu dicatat, Walau lagu itu kamu nyanyikan hingga berbusa-busa mulut, kamu putar hingga liriknya menyatu dengan telinga, dan kamu mengganti nama menjadi Aisyah kamu tidak akan pernah sama dengan Aisyah.

Kamu adalah dirimu. Orang arab menyebutnya tamannya yaitu ibarat orang yang sedang digoreng dalam api neraka lalu memohon untuk dikeluarkan dan dikembalikan ke dunia agar kembali beramal saleh, itulah tamannya, harapan yang tidak mungkin terwujud.

Dalam bukunya Diah Kristina, Analisis wacana kritis, ia menjelaskan Model analisis wacana Versi Van Dijk tentang kognisi sosial bahwa, teks harus diamati sejak awal mula teks itu diciptakan. Apa asumsi yang terbangun di benak produsen teks? Apa agenda yang ingin disampaikannya? Dan bagaimana lingkungan sosial serta latar belakang akademis membentuk pola pikir penutur hingga menghasilkan sebuah teks?

Untuk menjawab ini Van Djik membagi komponen ke dalam tiga istilah yaitu : Teks, kognisi sosial, dan konteks.
1. Teks: perlu dicermati bagaimana teks itu dibuat. Dalam lagu Aisyah istri Rasulullah teks dibuat dengan bahasa semenarik mungkin sehingga dapat merasuki hati pendengar (agar pendengar baper dan melankolis).
2. Kognisi Sosial: mempelajari produksi teks yang melibatkan kognisi individu. Bahwa mereka adalah penyanyi atau produser musik yang akan melakukan segala upaya agar produksinya terkenal sehingga hal itu memberi untung, apakah secara individu demi banyaknya viewer, followers, maupun secara komunitas ketenaran produsernya.
3. Konteks: mengkritisi konstruksi wacana bahwa setiap format harus diasumsikan memiliki segmentasi konsumennya masing-masing. Sebelum produsen menciptakan lagu, ia harus berpikir desain seperti apa yang bisa diterima oleh konsumen. Maka perlu persesuaian, artinya kalau produksinya seperti ini maka dalam pandangan produsen bahwa konsumennya ya seperti itu, buktinya apa? Itu produksinya bisa laku.

Sehingga bagian akhir dalam analisis teks ialah ingin mengungkap makna. Makna dari lagu Asiyah istri Rasulullah yaitu ingin merepresentasikan kecintaannya pada Aisyah sekaligus produsen teks ingin eksis supaya musik-musiknya laku, dan dampaknya konsumen yang kurang saring akan terjebak perasaan melankolis, sampai ingin segera seperti mereka padahal belum saatnya.

Ketidakbenaran pun kalau diulang-ulang secara terus menerus maka akan diterima dan dianggap sebagai kebenaran ideal, seperti lagu ini, kalau diulang-ulang pada mereka yang belum ideal dikhawatirkan ada yang mau jadi Aisyah-Aisyah-an dan Muhammad-Muhammad-an bukan pada akhlaknya yang Uswatun Hasanah melainkan sebagai suami-istri ideal oleh mereka yang masih di usia dini, mengingat kenyataannya lagu ini juga sangat laku baik dari usia paruh baya bahkan sampai anak-anak.
Setiap bahasa merupakan cermin dari konstruksi sosial. 

Kembali ke Psikoanalisisnya Freud bahwa manusia dikendalikan oleh sesuatu yang disukai oleh alam bawah sadarnya, apa jadinya jika semua anak-anak maupun remaja di bawah umur yang suka dengan lagu semacam ini menuntut dirinya untuk menjadi demikian? Jangankan anak-anak, orang-orang tua saja dihadapan apa yang diingini rasionalitasnya menjadi tak berdaya.

Saya berasumsi, seandainya Nabi Muhammad saw. dan Aisyah R.a masih hidup, mereka tak akan sudi namanya dinyanyikan dan diekspresikan secara sensual seperti sekarang ini.

Tapi kita bebas dalam menangkap makna, dalam konsep Roland Barthes ia menyebutnya sebagai Death of The Author atau kematian sang penutur. Ketika suatu teks keluar menjadi tuturan maka ia bukan lagi milik penutur melainkan bebas diberi makna oleh yang menerima tuturan. Apakah Lagu ini menjadi motivasi, menggelikan, atau bikin mual itu tergantung pre-understanding yang dimiliki masing-masing individu.

Sementara Produsen teks semakin eksis, konsumennya terjebak kemageran dan keinginan untuk terus rebahan. Dua keadaan yang berbanding terbalik. Mereka untung panggung mentasnya terbuka lebar, kamunya rugi, rugi waktu, pemikiran, maupun perasaan diarahkan untuk mengahayal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun