Pada hakikatnya teori dan sistem pers tanggung jawab sosial tetap berada dalam kerangka libertarian, karena meskipun pers diberi tanggung jawab sosial, titik beratnya tetap kepada kebebasan. Pers diberi kebebasan tetapi dalam rangka menjalankan kebebasannya, pers harus memiliki tanggung jawab kepada masyarakat.
Pieter P. Gero, mantan editor rubrik internasional Koran Harian Kompas, mengungkapkan sistem pers tanggung jawab sosial ini cocok untuk Bangladesh sebagai negara yang mulai berkembang baik politik dan ekonominya.
Pers harus berperan dalam mendukung perkembembangan negara dengan memberikan jalan keluar terhadap setiap permasalahan negara. "Mengkritik tapi dengan dasar yang kuat disertai jalan keluar dan tanggung jawab sosialnya. Karena kalau berita dibuat untuk memanas-manasi, akhirnya terjadi bentrok, balas dendam, tidak habis-habis," ujarnya.
Namun dalam pengaplikasiannya dalam kehidupan pers di negara berkembang, sering terjadi banyak pelanggaran atau hambatan. Menurut laporan Reporters Sans Frontieres (RSF), di Bangladesh, tidak disarankan untuk mengkritik Konstitusi Islam, yang merupakan agama negara. Mereka yang dianggap terlalu sekuler menjadi target kelompok-kelompok Islam militan. Pada tahun 2015, empat blogger sekuler tewas dan kasusnya tidak terlalu ditindaklanjuti oleh pemerintahan Bangladesh.
Menurut Kiki Rizky, mantan Kepala Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta, pemerintahan Bangladesh perlu melakukan penyelidikan dan penindakan tegas terhadap pelaku pembunuhan wartawan dan blogger disana.
Jika pemerintah Bangladesh tidak melakukan tindakan tegas dalam konteks menegakan hukum, dikhawatirkan akan menimbulkan banyak persepsi dari masyarakat yang mengacu pada keberpihakan pada sekte atau kelompok lain. “Bangladesh merupakan Negara yang sering terjadi konflik dikarenakan masyarakatnya sangat kuat dengan sekte.
Kasus kekerasan atau pembunuhan terhadap insan pers baik secara resmi atau tidak, bisa saja menunjukkan konflik kesekterian, dimana jika terhadap hal yang melenceng dianggap sebagai musuh,” ujarnya.
Menurut data yang dirilis oleh RSF, sebuah media pengamat pers yang berkedudukan di Prancis, Media Bangladesh berada di peringkat ke 146 dari 180 dalam indeks kebebasan pers pada tahun 2018 dengan nilai 48,62. Nilai itu mencerminkan intensitas kekerasan dan pelecehan terhadap wartawan dan penyedia informasi atau berita.
Bangladesh masuk dalam daftar negara dengan perlindungan wartawan yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan Indeks Kekebalan Hukum Global tahun 2018 yang dirilis Komite Perlindungan Wartawan (CJP), Bangladesh berada di peringkat 12 dari 14 negara. Sejak 1992, tercatat 21 jurnalis terbunuh, 19 jurnalis sengaja dibunuh.
Sejumlah orang ditahan selama berbulan-bulan sebelum dibebaskan untuk menunggu persidangan, dan beberapa dari mereka ditahan hanya karena menuliskan kritik politik di facebook atau menggambar karikatur Perdana Menteri Sheikh Hasina Wazed, keluarga, atau koleganya. Sejumlah orang lain ditangkap karena dituduh menghina agama atau mencemarkan nama baik.