Mohon tunggu...
Khairul Anwar
Khairul Anwar Mohon Tunggu... Human Resources - Learning and Development Specialist

Blog ini sarana latihan semata, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dibajak Media

21 Mei 2016   11:51 Diperbarui: 21 Mei 2016   12:02 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bilqisrahma.blogspot.com

18 tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, tercatat dalam sejarah sebagai Hari Reformasi Indonesia. Pada saat itu Suharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia setelah 32 tahun berkuasa. Proses reformasi itu bukan suatu hal yang pendek dan mudah. Para ‘pahlawan reformasi’ telah memulai perjuangan reformasi mereka selama bertahun-tahun. Korban jiwa berjatuhan, ekonomi semakin kritis, keamanan semakin kacau. Para ‘pahlawan reformasi’bukan hanya tokoh politik, mahasiswa, dan masyarakat umum, media juga berperan sangat penting dalam reformasi 1998.

Lahirnya Media

Rezim orde baru kuat karena disokong oleh media. Lewat Departemen Informasi, presiden Suharto berusaha memonopoli informasi untuk menghindari sikap kritis masyarakat. Puluhan media cetak yang kritis terhadap pemerintah telah di bredel. Izin penyiaran televisi swasta tidak diberikan. Praktis TVRI menjadi stasiun televisi tunggal dan sangat di kontrol pemerintah. TVRI menjadi corong pemerintah untuk mengamankan rezim. Pemberitaannya didominasi oleh berita pembangunan dan aktivitas para pesohor politik.

Izin pernyiaran televisi swasta  baru muncul dekade 1980-an. Kebijakan ekonomi yang dibuat Suharto menimbulkan ketimpangan. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.Para orang kaya merasa perlu media untuk memasarkan produk-produknya. Televisi dianggap sebagai media yang paling efektif karena memiliki jangakuan yang luar, serta media yang paling menarik karena menggunakan audio dan visual.

Akhirnya rezim orde baru tak kuasa membendung hal itu. Izin penyiaran pun diberikan. Namun hanya orang-orang terdekat Suharto yang diberikan izin. Stasiun televisi swasta pertama yang diberikan izin adalah RCTI yang dimiliki oleh anak Suharto sendiri, Bambang Triatmodjo. Kemudian disusul oleh TPI (kini MNC TV) yang dimiliki oleh Tien Suharto, istri Suharto. Lalu SCTV dan Indosiar yang dimiliki oleh Salim Grup, pengusaha yang dekat dengan Suharto.

Jurnalisme Luluh

Meski diizinkan melakukan aktivitas penyiaran, stasiun-stasiun televisi swasta tersebut tidak boleh memproduksi muatan jurnalistik. Semua muatan jurnalistik diproduksi oleh TVRI lewat program Dunia dalam Berita.Program itu wajib di relayoleh stasiun-stasiun televisi swasta.

Akan tetapi program itu dianggap kurang menarik karena kontennya hanya itu-itu saja dan disiarkan oleh semua stasiun televisi. Akhirnya stasiun-stasiun televisi itu membuat siasat. Mereka mendirikan perusahaan berita, agar jika program itu dicekal, maka yang dicekal adalah perusahaan berita itu, bukan televisinya. RCTI menayangkan program Seputar Indonesiayang diproduksi oleh PT Sindo, Indosiar menayangkan program Fokusyang diproduksi PT Indomediatama Wartatama. Keberadaan konten berita itu disambuat masyarakat Indonesia. Ratingprogram-program tsb pun tinggi.

Namun itu semua belum memuaskan hasrat publik akan berita yang bermutu. Program-program berita itu hanya memuat konten-konten berita ringan, seperti obituari pesohor atau pejabat yang meninggal, berita kriminal, kecelakaan, dan human interest.Mereka masih berusaha menghindari berita straight news.Dalam perjalanannya, intervensi pemilik kedalam ruang redaksi masih terjadi. Redaksi berusaha mengontrol berita-berita yang berkaitan dengan keluarga Cendana dan bisnis-bisnis si pemilik. Indosiar membentuk Komisi Siaran yang bertugas menentukan naik atau tidaknya suatu berita. Komisi ini dipimpin oleh seorang pensiunan tentara. Salah satu pendiri RCTI dan SCTV, Peter Gontha begitu mengontrol program berita di stasiun televisinya.

Jurnalisme Pembangkang

Meski berada dalam iklim yang tak kondusif yang dibentuk pemerintah dan pemilik media, terdapat sosok-sosok jurnalis pembangkang. Mereka meramu strategi agar bisa menaikan berita-berita kritis sehingga mendorong lahirnya reformasi. Wartawan Indosiar berusaha mengirim beritanya mendelang deadline agar tak sempat di koreksi oleh Komisi Siaran. Bahkan ada yang memberikan obat tidur kedalam minuman tim Komisi Siaran.

Titik awal membangkangnya para jurnalis terhadap pemerintah dan pemilik media adalah ketika terjadi penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti. News AnchorRCTI, Desi Anwar dalam siarannya menggunakan pita hitam di lengan sebagai tanda berkabung. Lalu dialog antara News AnchorSCTV, Ira Koesno dengan Sarwono Kusuatmadja yang tak terkontrol. Saat itu, Ira bertanya pada Sarwono mengenai rencana reshuflekabinet yang akan dilakukan oleh Suharto, Sarwono memberikan tanggapan yang dinilai kontroversial, yakni dengan istilah “cabut gigi”. Menurut Suwarno, ketiga gigi seseorang sakit, solusinya dalah mencabut gigi, bukan menambah gigi.

Sejak saat itu, jurnalis-jurnalis mulai membangkang. Mereka menjadi bagian dari para pejuang reformasi. Berita-berita kritis yang dibuat para jurnalis membangkitkan semangat seluruh lapisan masyarakat untuk menuntut Suharto mundur dari jabatannya. Mereka menuntut adanya reformasi. Perjuangan mereka sulit dikendalikan keluarga Cendana karena begitu kompleks. Akhirnya, 21 Mei 1998, Suharto mengumumkan mundur dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia.

Profesionalisme dan Energi Jurnalisme

Pers sebagai unsur ke-empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, benar-benar melaksanakan tugasnya. Pers berhasil menjadi bagian dari terwujudnya demokrasi di Indonesia. Setelah reformasi, kebabasan pers pun dijunjung tinggi.

Jurnalisme tidak pernah berubah, meski berada dalam iklim yang tidak kondusif. Para jurnalis di masa reformasi menegaskan bahwa menjadi wartawan di era yang begitu mengekang dan otoriter tidak berarti harus meruntuhkan nilai-nilai jurnalisme dan tunduk pada keadaan.

Mereka tidak mau mengorbankan profesionalismenya demi kepentingan pemilik dan penguasa. Menurut Andreas Harsono yang pernah belajar langsung dari Bill Kovach, profesioanisme wartawan ada dua hal. Pertama, seperti kata Kovach, adalah sikap indenpendensi wartawan dari setiap narasumbernya. Prinsip proesionalisme kedua adalah perlindungan terhadap audiens, pengiklan, dan citizen.Menurut Andreas, ketiga unsur tersebut harus dilayani. Tetapi jika terjadi suatu konflik, maka yang harus dilayani paling dahulu adalah citizen.

Wartawan-wartawan Indonesia saat itu adalah mereka yang dikaruniai energi jurnalisme. Selama energi jurnalisme mengalir di dalam tubuh wartawan, semua akan baik-baik saja. Ingat hukum kekekalan energi?  Seperti halnya energi, jurnalisme tidak dapat dimusnahkan. Dia hanya bisa berubah bentuk. Bentuk perjuangan wartawan-wartawan reformasi telah dilakukan dengan berbagai cara seperti yang dijabarkan diatas. Perjuangan itu dilakukan semata-mata demi kepentingan publik atau citizen.

Jurnalisme Kini, #DibajakMedia

Para jurnalis era reformasi telah berhasil menggulingkan pemerintahan Suharto. Jurnalis ikut mengawal proses reformasi pada saat itu agar sesuai dengan cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Perjuangannya dapat dirasakan hingga saat ini.

Namun, 18 tahun berlalu. Jurnalis saat ini seperti “dibajak” kembali oleh penguasa dan pemilik media. Jurnalis kehilangan profesionalisme dan energinya. Para jurnalis kini tak bedaya melawan intervensi penguasa dan pemilik. Banyak berita pesanan mudah masuk ruang redaksi, dan berita kritis dibuang di tempat redaksi. Wartawan-wartawan yang kritis diberhentikan, ada pula yang mengundurkan diri karena mau idealismenya di injak-injak. Wartawan yang bertahan adalah wartawan yang lunak, ia adalah wartawan yang mengorbankan idealismenya demi pundi-pundi rupiah.

Yarnes Foni, seorang wartawan di Metro TV mengatakan, “kami kan kerja dibayar sama kantor, ya harus ikutin apa maunya kantor.” Ia juga berkata, “walau KPI negur,kalau atasan suruh kami liput, ya kami tetap liput.”[1]

Reporter dan pembawa acara berita di SCTV, Djati Darma mengatakan, “enggak kebayang gue, kerja di media yang sangat partisan kaya Metro TV dan TV One.” Ia memang tidak bekerja di media yang sangat berpihak pada suatu partai tertentu. Namun ia juga mengatakan “namanya juga kerja di industri. Harus profesioanal.”[2] SCTV kerap lagi menayangkan berita-berita yang mendukung kepentingan SCTV.

Perlu di galakkankembali idealisme, profesionalisme, dan energi jurnalisme agar pers sebagai pilar demokrasi ke-empat kembali ditegakan. Bukan justru malah meruntuhkan demokrasi.

[1] di kutip dari buku; Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru. Hlm. 42

[2] Ibid, hlm. 45

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun