Titik awal membangkangnya para jurnalis terhadap pemerintah dan pemilik media adalah ketika terjadi penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti. News AnchorRCTI, Desi Anwar dalam siarannya menggunakan pita hitam di lengan sebagai tanda berkabung. Lalu dialog antara News AnchorSCTV, Ira Koesno dengan Sarwono Kusuatmadja yang tak terkontrol. Saat itu, Ira bertanya pada Sarwono mengenai rencana reshuflekabinet yang akan dilakukan oleh Suharto, Sarwono memberikan tanggapan yang dinilai kontroversial, yakni dengan istilah “cabut gigi”. Menurut Suwarno, ketiga gigi seseorang sakit, solusinya dalah mencabut gigi, bukan menambah gigi.
Sejak saat itu, jurnalis-jurnalis mulai membangkang. Mereka menjadi bagian dari para pejuang reformasi. Berita-berita kritis yang dibuat para jurnalis membangkitkan semangat seluruh lapisan masyarakat untuk menuntut Suharto mundur dari jabatannya. Mereka menuntut adanya reformasi. Perjuangan mereka sulit dikendalikan keluarga Cendana karena begitu kompleks. Akhirnya, 21 Mei 1998, Suharto mengumumkan mundur dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia.
Profesionalisme dan Energi Jurnalisme
Pers sebagai unsur ke-empat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, benar-benar melaksanakan tugasnya. Pers berhasil menjadi bagian dari terwujudnya demokrasi di Indonesia. Setelah reformasi, kebabasan pers pun dijunjung tinggi.
Jurnalisme tidak pernah berubah, meski berada dalam iklim yang tidak kondusif. Para jurnalis di masa reformasi menegaskan bahwa menjadi wartawan di era yang begitu mengekang dan otoriter tidak berarti harus meruntuhkan nilai-nilai jurnalisme dan tunduk pada keadaan.
Mereka tidak mau mengorbankan profesionalismenya demi kepentingan pemilik dan penguasa. Menurut Andreas Harsono yang pernah belajar langsung dari Bill Kovach, profesioanisme wartawan ada dua hal. Pertama, seperti kata Kovach, adalah sikap indenpendensi wartawan dari setiap narasumbernya. Prinsip proesionalisme kedua adalah perlindungan terhadap audiens, pengiklan, dan citizen.Menurut Andreas, ketiga unsur tersebut harus dilayani. Tetapi jika terjadi suatu konflik, maka yang harus dilayani paling dahulu adalah citizen.
Wartawan-wartawan Indonesia saat itu adalah mereka yang dikaruniai energi jurnalisme. Selama energi jurnalisme mengalir di dalam tubuh wartawan, semua akan baik-baik saja. Ingat hukum kekekalan energi? Seperti halnya energi, jurnalisme tidak dapat dimusnahkan. Dia hanya bisa berubah bentuk. Bentuk perjuangan wartawan-wartawan reformasi telah dilakukan dengan berbagai cara seperti yang dijabarkan diatas. Perjuangan itu dilakukan semata-mata demi kepentingan publik atau citizen.
Jurnalisme Kini, #DibajakMedia
Para jurnalis era reformasi telah berhasil menggulingkan pemerintahan Suharto. Jurnalis ikut mengawal proses reformasi pada saat itu agar sesuai dengan cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Perjuangannya dapat dirasakan hingga saat ini.
Namun, 18 tahun berlalu. Jurnalis saat ini seperti “dibajak” kembali oleh penguasa dan pemilik media. Jurnalis kehilangan profesionalisme dan energinya. Para jurnalis kini tak bedaya melawan intervensi penguasa dan pemilik. Banyak berita pesanan mudah masuk ruang redaksi, dan berita kritis dibuang di tempat redaksi. Wartawan-wartawan yang kritis diberhentikan, ada pula yang mengundurkan diri karena mau idealismenya di injak-injak. Wartawan yang bertahan adalah wartawan yang lunak, ia adalah wartawan yang mengorbankan idealismenya demi pundi-pundi rupiah.
Yarnes Foni, seorang wartawan di Metro TV mengatakan, “kami kan kerja dibayar sama kantor, ya harus ikutin apa maunya kantor.” Ia juga berkata, “walau KPI negur,kalau atasan suruh kami liput, ya kami tetap liput.”[1]