Suhu politik di Kabupaten Simalungun semakin panas. Saya merasakannya dari kejauhan. Mengharapkan Pilkada Simalungun 2020 akan bersih dari segala politik uang (vote buying) adalah sebuah keniscayaan. Tapi angka kemiskinan di Simalungun mencapai 10% dari jumlah penduduknya, yang katakan saja 863.693 jiwa (BPS 2018). Artinya sekitar 86.000 penduduk Simalungun adalah miskin yang penghasilannya dibawah Rp.342.477 perbulan.
Juga angka itu bisa bertambah setelah Indonesia dipukul Pandemi Covid-19 dalam 5 bulan terakhir yang juga berdampak pada statistik kemiskinan di Kabupaten Simalungun.
Asumsi paling dasar dalah tingkat politik uang selalu linear atau berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan di sebuah wilayah. Semakin miskin sebuah wilayah maka akan semakin tinggi potensi politik uang di kawasan tersebut.
Teori ini sangat dasar dalam pemetaan kampanye politik. Anda mungkin punya proposal kampanye dengan visi, misi dan program bagus. Tapi ujiannya tetap pada keterpilihan di TPS dengan melibatkan faktor ekonomi masyarakat didalamnya.
Melanjutkan analisa yang sempat tertunda kemarin, saya akan melanjutkannya kembali. Kebetulan saya sedang punya waktu luang untuk sekadar menulis tentang kampung halaman saya.
Masih mengutip Edward Aspinall (2017) tentang vote buying dan budaya patronase di perpolitikan Indonesia. Pemberian hadiah di pemilihan adalah sesuatu yang amat lumrah. Bukan hanya soal materi atau uang, tapi juga pemberian jabatan strategis pasca pemilihan.
Terdapatnya pialang suara sudah seperti menjadi kebutuhan untuk mengelola kampanye darat yang secara teknis menjadi sasaran utama pemilihan.
Pada struktur yang lebih terorganisir, para pialang ditugaskan dengan sistem terbatas. Masing-masing diantaranya adalah keluarga, kerabat, jaringan bisnis atau internal kader partai.
Dari situ tim dibentuk menjadi dua kelompok, satu tim inti (terbatas) dan kedua tim bebas yang mampu mengakses pemilih. Tujuannya adalah prefensi pemilih, pemetaan, analisa informasi dan menjalankan politik uang.
Tak jarang, bagi yang punya akses ke kekuasaan. Oknum kepala desa, camat hingga ASN terlibat sebagai operatornya. Pada teori politik, ini bagian dari klientalisme yang tujuannya terlibat dalam pemilihan karena alasan karir di birokrasi dan terlibat keterikatan dengan kandidat.