Kekuasaan itu serupa kopi dalam cermin, bila dipaksakan. Senikmati apapun tak akan pernah bisa disajikan. Pada cermin tak seutuhnya gestur kekuasaan dipantulkan, kadang ada gimik yang bergeser. Posisi tangan kiri berubah ke kanan, letak selempang kanan bergeser ke kiri bahkan teks badge nama akan terbalik fontnya.
Termasuk soal janji revolusi mental yang harusnya ditumpukan pada pembangunan Sumber Daya Manusia. Malah dipamerkan dengan pembangunan infrastuktur dengan ribuan kilometer jalan, ratusan jembatan dan proyek infrasruktur lainnya. Terlihat jelas bergeser.
Sudah 5 (lima) tahun telah berlalu sejak Jokowi terpilih di 2014 lalu. Wajah kekuasaannya sudah banyak berubah bersamaan dengan perubahan waktu.
Sebelumnya, saat running untuk Pilpres 2014 Jokowi lebih banyak dilayani oleh "pramusaji" relawan yang berasal dari : aktivis lingkungan, penggiat HAM, pejuang kebudayaan dan aktivis 1998 sebelum partai politik mengikutinya. Sementara di Pipres 2019 lalu, "pramusaji" bergeser kedepan dan kini berasal dari partai politik kemudian relawan yang mengikutinya.
Terjadi perubahan pola meski masih dalam ruang kekuasaan yang sama. Yang berubah hanya soal siapa yang paling depan melayaninya. Persamaaannya fondasi syarat administratif yang bertumpu pada partai politik masih dasar utama yaitu 20% suara partai politik/gabungan partai politik.
Pertarungannya pada periode kedua ini, tentu soal wacana siapa yang paling berkontribusi atas kemenangan Jokowi. Sudah barang tentu jawabnya, yang duduk di barisan terdepan adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem dan PPP. Kemudian, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Hanura, PBB dan PKPI.
Singkatnya, kita ambil saja contoh sederhana : sekecil-kecil suara PSI dan tidak memiliki wakil di DPR karena tidak lolos threshold. Mereka punya 2,6 juta suara yang dihitung. Pun itu secara elektoral lebih bisa diperhitungkan dalam kalkulasi politik bila suara yang jadi indikator jatah kekuasaan. Itu pula alasan, mengapa nama-nama, seperti : Grace Natalie, Dini Purnomo hingga Tsamara santer disebut menjadi nominasi calon menteri Jokowi.
Dari situ kita berkaca, berapa jumlah menteri yang diduduki oleh partai-partai pendukung Jokowi yang lolos threshold dan menentukan kebijakannya 5 tahun mendatang.
Banyak relawan kini pun gamang. Khususnya soal jatah mereka (relawan) yang akan menduduki Jabatan menteri, duta-duta besar hingga komisaris BUMN yang tampaknya akan lebih dominan diambil oleh perwakilan partai politik.
***
Dampak kegamangan itu, para relawan kini sibuk memuji Jokowi setinggi langit, membela total dan mempertahankan argumen Jokowi seolah tak punya salah. Disisi yang lain, para partai yang tidak lolos threshold lebih banyak bermain aman tanpa kritik agar masih dihitung kontribusinya di Pilpres 2019 lalu.