Saya lahir dan tumbuh pada sebuah desa di Kabupaten Simalungun. Dibesarkan dalam keluarga  Simalungun pula, karena Bapak dan Ibu (Mamak) yang bersuku Simalungun.
Secara empirik dalam berbudaya Bapak dan Ibu termasuk moderat, demokratis dan tidak terlalu ketat soal adat. Hal ini saya simpulkan sendiri, karena tak terlalu memaksakan agar saya punya pacar dan, harus akan menikah dengan perempuan bersuku Simalungun pula.
Apalagi soal pilihan politik, saya tak pernah diwajibkan, diharuskan memilih pemimpin yang satu suku. Mereka sangat demokratis tentang pilihan-pilihan yang pernah saya ambil.
Meski begitu, Bapak dan Ibu selalu mengajarkan saya, secara detail soal budaya Simalungun dan perangkatnya. Tentang Ahap Simalungun. Utamanya, kala saya beranjak dewasa lalu melanjutkan pendidikan ke kota, tempat yang lebih beragam budaya dan adat. Pesan utamanya adalah tentang ingatan ke Tanoh Hasusuran (Tanah Asal).
Hari ini (17/8/2019) pada beranda dan linimasa media sosial, saya membaca satu per satu komentar masyarakat Simalungun tentang Ibu Iriana yang memakai Bulang Simalungun --penutup kepala untuk perempuan Simalungun dalam upacara hari Kemerdekaan di Istana Negara tadi pagi.
Ada kehormatan, ada kemasyuran tentunya untuk seluruh masyarakat Simalungun. Tak terkecuali saya, pastinya juga ikut berbangga hati. Sebab, upacara yang disaksikan ratusan juta masyarakat Indonesia itu menyorot simbol budaya Simalungun, Bulang Simalungun.
Bulang atau penutup kepala untuk perempuan Simalungun ada 4 (empat) jenis yaitu pertama, Bulang Sulappei (Bulang adat/pesta). Kedua, Bulang Teget (Bulang untuk pengantin). Ketiga, Bulang Suyuk (Bulang Pesta/Usia Tua). Dan, keempat, Bulang Hurbu/Salalu (Bulang Harian).
Soal Bulang yang dipakai Ibu Negara, Ibu Iriana tadi pagi adalah Bulang Teget. Pertanyaan paling penting tentunya, apa makna pemaknaan Bulang Teget yang dipakai oleh Ibu Iriana.
Secara Filosofi dalam budaya Simalungun, Â Bulang Teget digunakan perempuan Simalungun. Menunjukan perempuan tersebut sudah menikah dan bersuami, Pun Bulang Teget secara semiotika menyimbolkan sebagai istri yang baik, hormat dan bermartabat.
Ketika Bulang Teget dikenakan seorang perempuan. Posisinya di kepala harus lebih tinggi  yang disebelah kanan, yang berarti bahwa seorang istri, selalu menjunjung tinggi derajat suami yang disampingnya.
Sementara, Benang Bulang Teget yang berumbai dibuat berbaris terbuka. Posisinya sebelah kanan perempuan yang memakainya berada disebelah suaminya saat mereka berdampingan. Filosofinya merupaka  keterbukaan isteri terhadap suaminya terhadap hal apapun.