Perbedaan nominal penghasilan antara suami dan istri nyatanya masih menjadi ketakutan bagi sebagian orang. Bahkan, perbedaan tersebut gencar beredar hingga menyulut ketakutan yang tidak hanya dirasakan perempuan, tetapi juga laki-laki.Â
Bagi perempuan, tentu saja ketakutan bahwa karier akan menghambat hubungan percintaannya. Sementara itu, bagi laki-laki, kecenderungan menghindari perempuan yang berkarier dirasa menjadi jalan terbaik untuk meneruskan hidup.Â
Asumsi tersebut terus hidup dalam masyarakat hingga muncul penilaian bahwa jika istri memperoleh penghasilan yang lebih besar maka dikhawatirkan rasa menghargainya kepada suami akan merosot.
Sebenarnya, pembicaraan mengenai ketimpangan gaji, relasi kuasa, ketakutan atau rasa tidak nyaman adalah menyoal manusia secara umum.Â
Insting manusia sebagai Homo sapiens adalah bertahan hidup. Spesies seperti kita masih bertahan sampai saat ini dengan mengalami perkembangan dan seleksi alam yang luar biasa.
Dahulu kala, Sapiens jantan memang memiliki tugas mencari makanan dengan perburuan dan lain sebagainya. Sementara, Sapiens betina mengandung, merawat dan menjaga anak-anak.Â
Hal tersebut tentu saja didorong oleh fakta bahwa hanya betina saja yang memiliki rahim dan laki-laki tidak sehingga konsekuensinya adalah fokus pencarian asupan makanan terletak pada peran Sapiens jantan. Dalam jangka waktu yang sangat lama, peran tersebut terus dilakukan dengan tujuan adanya reproduksi atau menghasilkan individu baru.
Namun, tentu saja, keadaan sekitar saat Sapiens zaman perburuan dengan sekarang mengalami perbedaan. Jika dahulu kala, manusia terkena wabah maka solusi terbaik yang ditawarkan adalah berdoa karena memang tidak ada peralatan medis, sekolah kedokteran, atau pengetahuan yang mumpuni.Â
Solusi tersebut tentu tidak serta merta dapat diterapkan ketika manusia terserang wabah pada zaman sekarang ini. Tersedianya peralatan medis, sekolah kedokterean, dan pengetahuan yang mumpuni membuat orang-orang semakin berpikir cara paling efektif untuk bertahan hidup.
Pembakuan peran Sapiens jantan dan betina tidak dapat terus diterapkan saat ini karena adanya perubahan. Dahulu kala, tidak ada yang namanya baby sitter, asisten rumah tangga, kebutuhan anak-anak bersekolah, dan lain-lain. Nah, perubahan seperti ini yang memang belum bisa diterima banyak orang.Â
Alasan utamanya adalah adanya narasi bersama. Narasi ini bersifat intersubjective reality. Misalnya, dalam kasus permitosan di Indonesia. Ketika malam satu Suro terjadi, ada masyarakat yang memercayai bahwa segala bentuk kegiatan besar, seperti hajatan, tidak boleh dilaksanakan karena akan tertimpa kesialan yang berujung kematian.Â
Nah, mitos ini lahir karena adanya estafet pengalaman melalui narasi. Pengalaman tersebut menimpa satu orang, lalu menyebar menjadi mitos bersama.
Terkait kesahihannya, pedomannya adalah bisa/ tidaknya difalsifikasi. Misalnya dalam kasus malam satu Suro tadi, jika ada satu orang saja yang mengadakan acara besar pada malam tersebut dan tidak tertimpa kesialan yang berujung kematian, pernyataan mitos tersebut tidak akurat kebenarannya.
Narasi bersama yang terus digaungkan menyoal ketimpangan gaji adalah peran istri yang seharusnya di rumah dan laki-laki sebagai tulang punggung. Narasi ini diperkuat dengan adanya perspektif agama tentang fitrah laki-laki dan perempuan meskipun pernyataan tersebut dapat dimaknai berbeda-beda.Â
Intinya, narasi sekat tebal antara laki-laki dan perempuan itulah yang membuat banyak orang memercayainya dan cenderung menghindari pengujian terhadap dirinya sendiri.
Selain adanya narasi bersama, faktor lain yang menyebabkan ketimpangan gaji suami dan istri menjadi masalah adalah adanya sikap saling bergantung. Maksudnya?Â
Dahulu, manusia bertahan hidup dengan berbagai cara, dari pemburu pengumpul sampai memutuskan untuk menetap pada zaman pertanian. Di sinilah awal adanya rasa saling bergantung hingga membentuk peradaban.Â
Perang pecah di mana-mana, perebutan kekuasaan, petani yang terus bekerja untuk penguasa demi menyambung hidup dan penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya.Â
Dalam lingkup yang lebih kecil, adanya sikap saling bergantung juga terjadi di ranah rumah tangga. Ketimpangan gaji memungkinkan terjadinya ketimpangan kuasa, percekcokan hingga tidak adanya egaliter atau kesetaraan (sama seperti petani dan penguasa tadi).
Dengan mengetahui fakta tentang peradaban manusia tersebut, kita memahami bahwa perasaan insecure atau rasa tidak nyaman suami terkait persoalan ketimpangan gaji memang bisa dan normal terjadi.Â
Adanya narasi bersama juga seharusnya menyadarkan kita bahwa perubahan keadaan memang terjadi. Selain itu, kemampuan bertahan hidup dan kemauan memiliki kekuasaan sejatinya tidak bisa dilepaskan dari manusia.
Kita bisa melewati seleksi alam dan menduduki posisi tertinggi rantai makanan sebagai superpredator karena adanya kemampuan untuk berpikir. Jadi, dalam konteks berumah tangga, kemampuan ini sangat berguna dan penting peranannya.Â
Dengan berpikir, manusia menjadi lebih bisa mengerti konsep tentang "berkomitmen" dalam hubungan berumah tangga. Selain itu, dengan berpikir pula, manusia menjadi lebih skeptis dalam mencerna berbagai narasi, mempertanyakan dan mencari kebenaran, merupakan cara terbaik untuk tidak mudah percaya.
Hmm, masihkan bermasalah jika gaji istri lebih besar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H