Kata "moral" berasal dari Bahasa Latin, yakni mos yang berarti kebiasaan atau adat (zonareferensi.com). Sementara itu, menurut KBBI V, moral memiliki pengertian salah satunya adalah ajaran tentang baik atau buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan lain-lain.Â
Dari sini sangat jelas terdeteksi bahwa "moral" tidak berada pada ranah benar-salah. Artinya, ranah baik/ buruk memiliki preferensi yang berbeda antarsatu manusia.
Nah, baru-baru ini publik heboh dengan munculnya konten mengatasnamakan moral dengan pembahasan yang penuh bias. Dalam akun Youtubenya, Lutfi Agizal mencoba mencari validasi atas pemikirannya tentang kontribusi kata "anjay" dalam merusak moral bangsa Bersama narasumber seorang ahli bahasa, Dr. Tommi Yuniawan, M.Hum.Â
Beberapa hal yang cenderung membuat bias dari Lutfi Agizal adalah adanya kesalahan penalaran dalam beberapa fakta yang dipaparkan narasumber, Dr. Tommi Yuniawan, M.Hum. Kesalahan penalaran Lutfi Agizal adalah sebagai berikut.
1. Narasumber menjelaskan bahwa "fenomena bahasa" terjadi sebagai bentuk ekspresi bahasa yang digunakan untuk berinteraksi. Dijelaskan pula bahwa manusia tidak homogen, tetapi heterogen yang menjadikan bahasa juga heterogen.Â
Selain itu, adanya perubahan wujud bahasa secara gramatikal yang seharusnya "anjing" menjadi "anjay" dan beberapa kata lainnya pasti bermunculan dan tidak bisa dilarang sehingga penyebarannya meluas.Â
Pendapat ini kemudian oleh Lutfi direspons dengan pertanyaan "Apakah anjay merupakan plesetan kata anjing?" Respons ini dinilai tidak sepenuhnya menjangkau esensi penting yang disampaikan narasumber.Â
Pertanyaan ini juga mengindikasikan bahwa Lutfi tidak sedang melakukan diskusi terbuka, tetapi hanya mencari validasi benar/ salah dari kata "anjay" yang akan dikaitkannya ke ranah moral.
2. Selanjutnya, pertanyaan Lutfi tentang ketepatan mengagungkan sesuatu dengan kata "anjay" dijelaskan oleh narasumber bahwa kata "anjay" tidak bisa terlepas dari "konteks makna". Penjelasan ini sedikit terpotong oleh asumsi Lutfi yang menegaskan bahwa "anjay" pasti bermakna "anjing".Â
Kemudian, dijelaskan lagi oleh narasumber bahwa ada kategori makna, yaitu makna lugas dan kiasan/ tidak langsung yang seluruhnya terkait dengan afektif atau nilai rasa yang dipengaruhi konteks tertentu.Â
Dari penjelasan narasumber tersebut dapat diidentifikasi bahwa kata tertentu bisa bermakna lain dari makna yang tertuang dalam kamus dengan memperhatikan konteks nilai rasa.
Dalam hal ini, kesalahan penalaran Lufti adalah menanyakan ihwal tepat/ tidak tepat, layak/ tidak layak, pantas/ tidak pantas, boleh/ tidak boleh yang disajikan tanpa indikator-indikator tertentu sehingga narasumber pun tidak bisa menjawab lantang dengan pilihannya karena berada pada ranah abstrak yang dipengaruhi konteks.Â
Selain itu, pemilihan judul dalam kontennya (NGOMONG ANJAY BISA MERUSAK MORAL BANGSA) dan narasumber juga perlu dikaji ulang. Akan menjadi lebih berhubungan apabila judul yang ditampilkan diubah jadi "Fenomena Bahasa, Mengenal Kata Anjay dari Pakarnya" atau "Anjay, Santuy, Kepo dalam Perspektif Bahasa".Â
Selain itu, diskusi yang diniatkan berbau edukatif ini supaya tidak menjurus penggiringan opini sensitif didukung dengan keterbukaan persepsi pembuat konten, bukan pencarian pembenaran keresahan pribadi.
Topik kedua setelah kontroversi kata anjay adalah kasus yang menyeret Zaki dan Zara atas beredarnya video yang menurut Zara tidak sengaja diunggah. Video tersebut dinilai publik tidak pantas dipertontonkan dan banyak pihak memberikan kecaman terhadap video tersebut.Â
Respons publik ini dirasa berlebihan jika dimaknai sebagai ajang pembelajaran bagi Zara. Pasalnya, banyak komentar yang cenderung menyerang personal Zara atau justru menyebarkan video tersebut sambil mengolok-olok, mengaitkan kekecewaan publik terhadap peran Zara dalam film "Dua Garis Biru", sampai muncul pernyataan "pilih good looking atau good attitude"?
Dari kedua permasalahan yang sudah dijelaskan, yakni kata anjay dan kasus Zaki-Zara, diindikasikan bahwa masyarakat menaruh kepercayaan besar kepada publik figur sebagai cerminan moralitas ideal. Detailnya, publik figur merupakan desain persona sempurna yang dinginkan sebagian besar masyarakat.Â
Padahal, kembali lagi, fokus perbaikan moralitas bukan dalam hal penghentian karier seseorang, melainkan pemikiran kritis yang seharusnya dimiliki setiap orang. Maka dari itu, diperlukan banyak literasi, proses berpikir kritis, dan konten edukatif yang benar-benar mengedukasi.
Sejatinya, moralitas tidak berada pada pundak publik figur saja, tetapi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H