Dari penjelasan narasumber tersebut dapat diidentifikasi bahwa kata tertentu bisa bermakna lain dari makna yang tertuang dalam kamus dengan memperhatikan konteks nilai rasa.
Dalam hal ini, kesalahan penalaran Lufti adalah menanyakan ihwal tepat/ tidak tepat, layak/ tidak layak, pantas/ tidak pantas, boleh/ tidak boleh yang disajikan tanpa indikator-indikator tertentu sehingga narasumber pun tidak bisa menjawab lantang dengan pilihannya karena berada pada ranah abstrak yang dipengaruhi konteks.Â
Selain itu, pemilihan judul dalam kontennya (NGOMONG ANJAY BISA MERUSAK MORAL BANGSA) dan narasumber juga perlu dikaji ulang. Akan menjadi lebih berhubungan apabila judul yang ditampilkan diubah jadi "Fenomena Bahasa, Mengenal Kata Anjay dari Pakarnya" atau "Anjay, Santuy, Kepo dalam Perspektif Bahasa".Â
Selain itu, diskusi yang diniatkan berbau edukatif ini supaya tidak menjurus penggiringan opini sensitif didukung dengan keterbukaan persepsi pembuat konten, bukan pencarian pembenaran keresahan pribadi.
Topik kedua setelah kontroversi kata anjay adalah kasus yang menyeret Zaki dan Zara atas beredarnya video yang menurut Zara tidak sengaja diunggah. Video tersebut dinilai publik tidak pantas dipertontonkan dan banyak pihak memberikan kecaman terhadap video tersebut.Â
Respons publik ini dirasa berlebihan jika dimaknai sebagai ajang pembelajaran bagi Zara. Pasalnya, banyak komentar yang cenderung menyerang personal Zara atau justru menyebarkan video tersebut sambil mengolok-olok, mengaitkan kekecewaan publik terhadap peran Zara dalam film "Dua Garis Biru", sampai muncul pernyataan "pilih good looking atau good attitude"?
Dari kedua permasalahan yang sudah dijelaskan, yakni kata anjay dan kasus Zaki-Zara, diindikasikan bahwa masyarakat menaruh kepercayaan besar kepada publik figur sebagai cerminan moralitas ideal. Detailnya, publik figur merupakan desain persona sempurna yang dinginkan sebagian besar masyarakat.Â
Padahal, kembali lagi, fokus perbaikan moralitas bukan dalam hal penghentian karier seseorang, melainkan pemikiran kritis yang seharusnya dimiliki setiap orang. Maka dari itu, diperlukan banyak literasi, proses berpikir kritis, dan konten edukatif yang benar-benar mengedukasi.
Sejatinya, moralitas tidak berada pada pundak publik figur saja, tetapi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H