Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kukira Kita Sempurna

17 Maret 2020   00:23 Diperbarui: 17 Maret 2020   01:02 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Anung Anindita

Bertemu tanpa adanya unsur kesengajaan, berbeda kepribadian, sering mendebat sebelum sepakat, dilabel sebagai pasangan aneh nan lucu, kukira kita sempurna.

Saling melengkapi, memberi, mendukung, kukira kita sempurna.

Jauh dari kriteria pasangan ideal, melaju pelan menuju tahun ke tahun, penuh dengan hantaman dan olokan, tetapi kita bahagia, kukira kita memang sempurna.

Layaknya bangunan yang lelah dibangun dengan tangan dan kucuran keringat sendiri, lalu tiba-tiba kau empaskan pukulan hebat hingga rata dengan tanah. Tidak adil.

"Kita bisa membangunnya kembali, kita bisa." doktrinku kepadanya. Namun, aku tak mendengar secuil pun suara. Aku tahu kau pandai berhemat suara, tetapi kali ini aku butuh kau bicara. Kau hadirkan hening yang lagi-lagi selalu tak kusuka.

"Apa aku harus menunggu?" ucapku pelan di hadapan cermin. Kuyakinkan hatiku untuk teguh bersamamu. Namun, kau suguhkan terus menerus hening yang memang tak kusuka. Sama sekali tak kutahu salahku apa, permasalahannya apa, dan harus berbuat apa.

Saat ini, kamu adalah satu-satunya alasanku meneteskan hujan setiap hari. Dalam ruangan yang semakin mendung, kutangisi perginya. Dengan mantap, kau berbalik badan dari arahku dan melangkah maju tanpa sedikit pun menoleh aku yang ada di belakang.

"Carilah yang bisa membuatmu bahagia karena aku tak cukup bisa untuk mewujudkannya." ucapnya melemah menyerah. Sama seperti dirinya waktu lalu, aku mematung, berdiri, tidak ke mana-mana.

Memandang ke arahmu yang semakin buram karena bulir yang hampir-hampir ingin jatuh. Kau hanya melihat dengan angkuh, tanpa maaf, tanpa salah. Kau pun berbalik arah sebelum akhirnya bulir itu jatuh.

Aku pun tak bisa lagi merasakan apa itu cinta. Hati terasa tak sanggup lagi menggetarkan sebuah rasa. Tak ada seorang pun yang mampu mengangkatku naik ke atas karena sampah dalam memoriku terlalu berat untuk ditanggalkan. Aku pun memilih tanpa lelah melakukan pekerjaan yang semestinya kulakukan.

Pelan-pelan, kupercayakan lelah untuk membungkus keinginanku untuk terus mencintaimu. Tak ada lagi potret-potret indah penuh tawa di tembok, meja, atas almari, tetapi masih tersisa di hati.

Bagaimana cara melepaskan seluruhnya? Selama aku bernapas, aku masih bisa menemukannya dalam kenangan dan aku membenci itu. Mengingatnya adalah perjalanan menuju sedih dan air mata. Sudah satu tahun ini, tiada hari tanpa keringnya pipi. Selalu ada aja alasanku untuk berlinang memuja kesedihan.

Terkadang aku bertanya, "Kamu di mana?" atau terbesit ingin, "Bisakah kita kembali bersama" yang berkali-kali kutepis. Mungkin, ini pertanda aku kurang lelah dalam bekerja. Akan kuabdikan diriku untuk rumah sakit yang sudah melindungi sedihku sejauh ini. Akan kutaruh lelah yang lebih banyak lagi agar aku bisa langsung tdiur tanpa repot memikirkannya.

"Janganlah kau puja lelah atau kau keluarkan air mata untuk sesuatu yang tidak pantas mendapatkannya. Kamu berharga, kamu berhak bahagia. Kau lihat, langit malam ini? Gelap, tetapi akan terang esok. Percayalah, kamu akan mendapatkan terangmu. Jadi, jangan kau tutup bola matamu dengan kesedihan." ucap salah satu orang yang setengah kusayang.

Tak pernah kujujur bahwa aku sedikit mengharapkannya untuk menemani dan menahan sedihku setiap hari. Aku terlalu takut jika aku menyakitinya. Aku pun takut mengalami kegagalan yang sama. Maka, tak kuakui rasa yang mengetuk pelan itu. Kutepis saja hingga akhirnya mungkin orang itu pergi. Namanya, El, seorang penyiar radio. Tidak heran kata-katanya sedikit banyak membujuk, merayu.

"Rosss, Rosaaaa ...!!!" aku mendengar panggilan itu seksama dan berpikir akankah menoleh. Aku masih duduk di atas ranjang putih, memandang tanpa arah.

"Rosssa, please." ucapnya lagi pelan. Aku menoleh ke arah itu. Suara itu kudengar lagi, aku takut candu saat ini. Kuhanya menatap, dia menangis tersedu-sedu. Aku masih menatapnya di balik pintu. Berulang kali dia memanggil, kuputuskan turun dan menuju lebih dekat.

"Aku baik saja, jangan cengeng!" kataku sambil tersenyum. Dia menangis lebih kencang. Aku benar-benar menahannya untuk tidak jatuh, pipiku harus kering. Kukuatkan tatapanku. Kuulangi kata-kataku tadi dengan senyuman lagi. Lalu, kuputuskan kembali ke ranjang karena aku merasa sangat lemah dan tulang seakan tak kuat menyangga.

Aku merebahkan diri, berguling ke kiri dan menangis.

Terima kasih, kalian berdua sudah mewarnai hidupku sebelum akhirnya henti. Kutemukan sunyi yang sesungguhnya, kususuri jalan bahagiaku yang sebenarnya bersama Tuhan. Kalian harus bahagia.

Salam,                                                                                

      Rossa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun