Wacana pemberitaan ihwal "prostitusi online" di Padang sedang hangat diperbincangkan saat ini. Pemberitaan ini bertambah viral ketika ada sosok "Andre Rosiade" selaku anggota DPR RI fraksi Gerindra Dapil Sumbar dan adanya strategi "penjebakan PSK".Â
Wow, PSK saja dijebak ya, para koruptor bisa juga apa tidak, ya?Â
Namun, di balik itu semua terdapat dua fakta yang wajib menjadi perhatian khalayak, yaitu (1) adanya praktik tindak patriarki dan (2) tameng agama sebagai pembenar atas segala salah. Maksud kedua hal tersebut adalah sebagai berikut.
1. Praktik Patriarki
Dalam KBBI, kata "patriarki" dapat bermakna mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa "perempuan" sering dimarginalisasi demi kepentingan dan tujuan tertentu.Â
Mengapa demikian? Ya, hal itu terjadi karena kebiasaan mayoritas orang atau lingkungan masyarakat menempatkan "perempuan" sebagai objek. Jadi, hal apa pun tentang "perempuan" pasti menarik untuk diperbincangkan.Â
Misalnya, jika ada kasus pelecehan seksual, yang disalahkan adalah "baju perempuan" dengan analogi "permen, bungkus, dan lalat".Â
Hal lain misalnya, apabila seorang perempuan menegur atas pelecehan verbal terhadap dirinya, yang diterima justru label "perempuan galak/ sensitif". Disadari atau tidak, masih ada saja masyarakat yang belum bisa terlepas dari candu patriarki.Â
Sama halnya dengan pemberitaan "penjebakan PSK di Padang", perhatikan setiap judul media massa yang memuat kasus tersebut. Kebanyakan media massa, baik cetak maupun daring, sering mengglorifikasi "perempuan". Dalam konteks ini adalah pekerja seks di Padang.Â
Jika diperhatikan lebih, penulisan subjek pada klausa judul pemberitaan selalu diawali dengan PSK atau perempuan dan keterlibatan mucikari atau laki-laki jarang diekspos. Di berbagai media massa diterangkan bahwa PSK tersebut memiliki anak, telanjang saat digerebek, biaya yang dikeluarkan untuk PSK tersebut. Jelas sudah pemberitaan lebih condong menarasikan sisi PSK (perempuan) ketimbang mucikari (laki-laki).Â
Adanya patriarki juga terlihat jelas saat video pengrebekan hotel. Di video tersebut terlihat seluruh anggota penggerebekan adalah laki-laki. Parahnya, ada anggota DPR ada di situ (laki-laki) dan tidak melarang tindakan apa pun demi menghargai hak perempuan, dalam hal ini adalah PSK yang digerebek.Â
Pembaca seharusnya tidak perlu candu hanya memuat literasi dari media massa tertentu saja. Jangan hanya lihat wacana pemberitaan dari sisi kepolisisan atau pihak penggerebek saja, tetapi juga dari pengakuan PSK tersebut. Hal ini penting agar masyarakat tidak mudah terbawa oleh provkasi dan meningkatkan sikap skeptis terhadap segala hal sebelum ada fakta-fakta valid.
2. Kedok Agama
Saat ini, banyak orang yang cenderung "haus pujian/sanjungan dan lebih memilih menghindar atau bersikap antikritik. Artinya, kritik dipandangnya sebagai suatu penghakiman atas kesalahan.Â
Padahal, esensi kritik adalah membuka jalan untuk bertindak lebih benar. Seperti halnya yang dilakukan oleh Andre, sebagai anggota DPR dari fraksi Gerindra yang pernah mengutarakan dukungannya atas RUU PKS, seharusnya Andre mengetahui betul adanya hak perempuan yang sengaja dirampas atas penggerebekan tersebut.Â
Dilansir dari www.malangtimes.com, salah satu orang yang sengaja memesan pekerja seks tersebut telah dilayani di kamar mandi, baru kemudian terjadi penggerebekan. Selain itu, pada saat bersamaan, handuk hotel tidak ada di tempat. Hal tersebut yang disayangkan oleh pekerja seks yang merasa sengaja dijebak dan dipermalukan.Â
Saat dimintai keterangan atas kejadian yang mengundang banyak perhatian masyarakat ini, Andre justru dengan lantang menjawab bahwa hal ini (penggerebekan) merupakan jawaban atas keresahan masyarakat. Artinya, dirinya membenarkan bahwa tidak ada yang perlu dipersoalkan atas penangkapan mucikari dan PSK tersebut walaupun ada unsur mempermalukan pihak tertentu.Â
Andre juga menuturkan bahwa dirinya tidak ingin Kota Padang terkena azab karena maksiat merajalela. Alasan dengan bungkus Tuhan tersebut tampaknya kurang diterima oleh warganet. Melakukan prediksi "azab", menghakimi "hal maksiat" bukan kapasitas persona.Â
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sangat penting bagi masyarakat untuk berliterasi, setop budaya patriarki, dan jika berbicara gama, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah "muliakanlah perempuan" sebagaimana Agamamu berbicara.Â
Fakta-fakta harus dibeberkan, tetapi mempermalukan orang bukan tindakan yang bisa dibenarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H