Mohon tunggu...
Anung Anindita
Anung Anindita Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Bahasa Indonesia SMP Negeri 21 Semarang

twitter: @anunganinditaaal instagram: @anuuuung_

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pentingnya Pendidikan Seks dan Peran Keluarga serta Pengaruh Komentar Masyarakat dalam Film "Dua Garis Biru"

26 Desember 2019   07:16 Diperbarui: 26 Desember 2019   07:18 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok pri diedit dan diolah dari pin.it

Masih ingatkah film penuh pro-kontra bahkan sebelum penayangannya di bioskop? Yup, Dua Garis Biru, film yang dirilis pada 11 Juli 2019 lalu, mendapat tuduhan-tuduhan tentang dampak dan isi film yang dilabel "buruk". Boleh kiranya melontarkan kritik terhadap sesuatu hal, tetapi atas dasar kelogisan alasan.

Nah, kalau melemparkan tuduhan padahal ditayangkan saja belum, kiranya bukanlah tindakan yang tepat. Dari film ini, ada tiga hal yang perlu mendapatkan garis bawah: pendidikan seks, peran keluarga, dan komentar masyarakat. Ketiganya ditampilkan dalam film ini secara tersirat, tetapi mudah terbaca.

1. Pendidikan Seks

Saat ini, Pemerintah sedang gencar melakukan "blurring" terhadap apa pun yang berbau seks, mulai dari acara televisi sampai bioskop. Bahkan, dalam RKUHP Pasal 481 dan 483 terlihat jelas bahwa tindakan seperti penyuluhan tentang seks cenderung terbatasi. Pelarangan-pelarangan tanpa alasan yang jelas seperti ini justru akan menimbulkan stigma bahwa pembicaraan tentang seks adalah hal yang tabu. Dampaknya, orang akan dicap cabul jika berdiskusi tentang seks atau masih ada yang memercayai bahwa berenang bersama lawan jenis bisa menghasilkan janin. Contohnya dalam film Dua Garis Biru ini,

Bima dan Dara tidak mendapatkan informasi tentang bahaya kehamilan usia dini karena pelajaran di sekolah hanya berfokus pada reproduksi tanpa meyentuh esensi realita kehidupan atau Bima yang tidak mengetahui fungsi kondom atau cara membaca test pack. Dewasa ini, anak-anak tidak lagi perlu ditutup matanya lalu diarahkan ke kanan atau kiri. Mereka perlu membuka mata dan mengetahui arah kanan atau kiri. Sama halnya waktu yang tidak bisa ditahan, begitu pula teknologi dan kemajuannya, maka mereka perlu pengetahuan, kelogisan berpikir supaya tidak salah melangkah. Namun, bagaimana mungkin bisa memahami jika akses menuju "tahu" saja dibatasi? 

2.  Peran Keluarga

Dalam film Dua Garis Biru terlihat bahwa peran keluarga menjadi sangat penting, terlebih dalam memberikan dukungan saat masalah datang. Awalnya, keluarga Dara tidak bisa menerima kenyataan bahwa anak perempuan sulungnya hamil di luar nikah. Lalu, kehadiran keluarga Bima yang walaupun berat hati menerima keadaan Dara, hingga kedua keluarga ini perlahan menguatkan Dara dan Bima. Sama halnya seperti musibah, terkadang hadirnya tidak disangka dan menerpa siapa saja tanpa rencana, itu pun terjadi kepada Dara dan Bima.

Hadirnya janin dalam perut Dara seolah menampar kehadiran keluarga yang seharusnya terbuka dengan diskusi, ramai dengan percakapan, riuh dalam harmonis. Seolah kedua orang tua, baik Dara maupun Bima, tidak bisa lagi menyalahkan dosa kepada mereka berdua karena menjadi orang tua adalah tanggung jawab seumur hidup maka hal terbaik yang bisa dilakukan orang tua mereka adalah menjaga keduanya, Dara dan Bima.

Dari sini, kiranya terbaca bahwa ihwal yang ingin disampaikan dalam Dua Garis Biru adalah keluarga sebagai rumah tempat meleburkan tangis, menyederhanakan permasalahan, menguatkan tanggung jawab, dan menghangatkan keadaan. Selayaknya, keluarga tidak hanya mendikte tentang banyak hal, tetapi juga mampu mendengarkan berbagai masukan. 

3. Komentar Masyarakat

Dalam Dua Garis Biru diperlihatkan perlakuan berbeda dialami Dara dan Bima dalam kehidupan sosialnya, penjauhan. Manusia sebagai makhluk sosial berarti saling membutuhkan orang lain. Namun, pernyataan itu tidak bisa dimaknai bahwa setiap orang berhak mencampuri urusan orang lain. Misalnya, pembiaran terhadap tindakan KDRT yang dialami tetangga sebelah rumah dan pemberian cemoohan kepada seorang perempuan yang hamil di luar nikah.

Tentunya, kedua respons tersebut sangat salah. Terkadang, masyarakat terlalu sibuk mengomentari orang lain dengan segala keburukannya tanpa mengetahui detail masalahnya. Sampai saat ini masih saja ada komentar bahwa "tidak seharusnya adik menikah mendahului kakaknya" atau melabeli seseorang dengan frasa "perawan tua" atau yang lainnya. Kita perlu mengetahui bahwa komentar yang dilemparkan dengan gampang tersebut dapat memberikan dampak yang luar biasa berat kepada subjeknya.

Bahkan, ada suatu kejadian ketika seorang Ibu mampu bertahan hidup dengan anak perempuan dan satu cucunya tanpa adanya menantu dengan bahagia, tetapi respons masyarakat justru menghakimi sikap sang Ibu yang dinilai "terlalu memaklumi kesalahan anaknya yang hamil di luar nikah" tanpa mengetahui jelas apa-apa saja yang akhirnya membuat mereka bertiga kuat. Kita perlu belajar untuk menganggap "biasa saja" terhadap pilihan hidup orang lain dengan pikiran terbuka sehingga kita tidak terlalu mudah menghujat atau berkomentar buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun