Aktifitas berfilsafat sangat bergantung kepada rasio dan inderawi manusia dalam mencari suatu kebenaran secara objektif. Dengan tradisi berfilsafat tersebut, melahirkan konseptualisasi ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, dan sistematis. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan begitu erat kaitannya dengan filsafat. Keduanya adalah mata rantai yang tidak terpisahkan, karena dengan berfilsafat manusia menggunakan daya pikir, nalar, analisis dan kritis sehingga memilki intelektualitas yang menciptakan suatu dispilin ilmu pengetahuan.
Filsafat Pancasila
       Gagasan Pancasila yang diutarakan oleh Soekarno, menawarkan Pancasila sebagai philosofische Grondslag (dasar, filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka. Teks yang dijadikan rujukan merupakan naskah pidato Soekarno yang ditemukan pada 1 Juni 1945 (Dewantara, 2017).
Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi kolektif (cita-cita bersama) seluruh bangsa Indonesia. Pancasila dikatakan sebagai filsafat karena merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu sistem yang tepat. Notonagoro berpendapat bahwa Filsafat Pancasila ini memberikan pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat Pancasila.
Jika ditilik dari soal tempat, Filsafat Pancasila merupakan bagian dari Filsafat Timur (karena Indonesia kerap digolongkan sebagai Negara yang ada di belahan dunia bagian timur). Sebenarnya, ada banyak nilai ketimuran yang termuat dalam Pancasila, misalnya soal pengakuan akan adanya Tuhan, kerakyatan, keadilan yang diidentikkan dengan paham mengenai 'ratu adil' dan seterusnya. Pancasila juga memuat paham-paham Barat, seperti: kemanusiaan, demokrasi, dan seterusnya. Sebagai sistem filsafat, Pancasila ternyata juga harus tunduk pada formulasi Barat yang sudah mapan sejak dulu. Jika Pancasila mau dipertanggungjawabkan secara sahih, logis, koheren, dan sistematis, maka di dalamnya harus memuat kaidah-kaidah filosofis. Pancasila harus memuat juga dimensi metafisis (ontologis), epistemologis, dan aksiologis.
Secara ontologis, dalam kajian Pancasila sebagai filsafat upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan.
Secara epistomologi, kajian Pancasila sebagai filsafat upaya untuk mencari hakikat sebagai sistem pengetahuan. Sebagai paham epistomologi, Pancasila mendasar pandangannya bahwa ilmu pengetahuan hakikatnya tidak bebas nilai karena kerangka moralitas kodrat manusia yang religius dalam membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini untuk mencapai tingkatan pengetahuan manusia.
Secara aksiologis, kajian Pancasila sebagai filsafat hakikatnya tentang nilai prakis atau pengetahuan mengenai Pancasila. Aksiologis Pancasila mengandung arti bahwa filsafat nilai Pancasila, bahwa bangsa Indonesia sebagai pendukung nilai-nilai Pancasila (Dewantara, 2017).
"Sebagai dalil filsafat", Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:
Aku manusia mengakui bahwa adaku merupakan ada bersama dengan cinta kasih, yang disebut perikemanusiaan.
Perikemanusiaan itu harus kujalani dalam bersama-sama menciptakan, dan menggunakan barang dunia demi keadilan sosial.