Mohon tunggu...
Anuk Kuswanti
Anuk Kuswanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Mangkuk Bakso

9 Januari 2025   14:20 Diperbarui: 9 Januari 2025   14:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga Mangkuk  Bakso 

Karya Anuk Kuswanti

Udin, nama panggilannya. Kebanyakan orang memanggilnya Bang Udin. Bang Udin seorang penjual bakso keliling. Ia sering mangkal di ujung gang yang masuk ke Dusun  Wangkring.

Sehabis asar, Bang Udin sudah siap dengan dagangannya. Kurang lebih satu jam ia mangkal di ujung gang. Setelahnya, ia berkeliling dusun. Tak jarang pula ia beralih ke dusun lain jika dagangannya belum habis.

"Sudah jam 17.00 nih, gak seperti biasanya, baksoku belum laku satu porsi pun," pikir Bang Udin. Dia sudah berkeliling Dusun Wangkring, bahkan sudah dusun sebelahnya. Gang demi gang ia susuri dengan telaten, sambil terus berdoa meminta kelapangan rezeki pada Sang Maha Kaya.

"Bakso... bakso... bakso ...!!!" Teriak Bank Udin membelah kesunyian senja yang berbalut gerimis mengiris. Sampai ujung gang tak satu pun insan memenuhi panggilannya, seolah semua larut di dapur masing-masing dengan aneka rupa kuliner desa.

"Bang Udin lewat! Bang Udin lewat!" Terdengar samar di telinga Bang Udin percakapan anak-anak yang ternyata duduk-duduk di bawah pohon kamboja. Tampak  olehnya tiga anak yang memandangnya penuh makna.

"Kenapa kalian ada di sini, ini sudah hampir magrib?" tanya Bang Udin.

"Kami sedang nunggu ibu pulang, Bang?" jawab anak laki-laki yang paling besar.

"Lha ibumu ke mana?" lanjut Bang Udin.

"Ibu kerja," jawab ketiganya hampir bersamaan.

"Sudah makan belum?" tanya Bang Udin penuh selidik.

"Belum, nunggu ibu pulang, Bang," jawab bocah perempuan.

Lantas dengan cekatan, Bang Udin menyiapkan tiga mangkok berisi bakso. Setelah siap, ia berikan kepada tiga anak tersebut.

"Kami gak punya uang, Bang," kata si sulung.

"Bang Udin beri cuma-cuma. Ayo dimakan, keburu dingin," suruh Bang Udin dengan tulus.

"Tapi ...,  mungkin ibu juga gak bisa bayar, Bang. Biasanya ibu hanya dapat uang untuk beli beras. Terus kami makan dengan sambal atau garam. Jika ibu dapat uang lebih, kami bisa makan dengan  kuah sayur yang dibeli ibu," jelas Adi, si sulung.

Sambil mengelus dada, Bang Udin kembali menyodorkan tiga mangkuk bakso. Ia membujuk mereka untuk mau makan tanpa harus membayar. Hingga akhirnya ketiga anak tersebut dengan lahap menghabiskan bakso. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih.

Bang Udin pun menyuruh mereka segera pulang, hari mulai malam. Sejenak ia memandang kepergian tiga bocah itu. Rasa syukur memenuhi relung kalbu. Selama ini, kedua anaknya tidak pernah kekurangan makan. Sambil melantunkan tahmid dan selawat, ia dorong gerobak bakso keluar gang.

Suara azan magrib berkumandang. Bergegas Bang Udin mengarahkan gerobaknya ke masjid terdekat. Tak seperti biasanya, ia agak kesulitan mencari tempat untuk memarkirkan gerobaknya. Pasalnya, halaman masjid penuh beberapa mobil yang terparkir. Mungkin ada rombongan dari luar kota, pikirnya.

Selepas salat magrib, betapa terkejut Bang Udin. Gerobaknya sudah dikerumuni banyak orang. Mereka antre pengin membeli bakso. Kembali lidahnya berucap syukur. Allah melipatgandakan rezekinya lewat tiga mangkuk bakso.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun