Mohon tunggu...
Anugrah Roby Syahputra
Anugrah Roby Syahputra Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Ketua Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Utara. Menulis lepas di media massa. Bukunya antara lain Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Staf Ditjen Bea & Cukai, Kemenkeu. Pegiat Forum Lingkar Pena. Penulis lepas. Buku a.l. Gue Gak Cupu (Gramedia, 2010) dan Married Because of Allah (Noura Books, 2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merindukan Natsir Baru

17 Juli 2018   13:49 Diperbarui: 17 Juli 2018   13:54 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang kesadaran berislam di Indonesia sedang meningkat pesat. Survei PEW Research Center yang berpusat di Washington DC pada tahun 2013 menyebutkan bahwa 95% muslim di republik ini menganggap penting agama sebagai standar moral dalam kehidupannya. Bahkan 72% setuju dengan penerapan syariah sebagai hukum formal negara. Maka tak heran beberapa tahun belakangan ini masjid ramai dengan anak muda yang menggelar kajian. 

Komunitas bikers pun kini menggelar agenda subuh berjamaah. Apalagi pasca berjilid Aksi Bela Islam yang disulut penistaan Al-Qur'an oleh Ahok, sebagian umat yang selama ini apatispun tersentak nuraninya. Muaranya merambat ke jalur politik: umat rindu pemimpin saleh, zuhud dan membela agama. Namun konon umat kesulitan menemukan figur ideal itu. Malahan ada yang menyebutnya sebagai utopia yang tak bakal mewujud realita. Benarkah?

Tepat tanggal 17 Juli 1908, seratus sepuluh tahun  lalu, di Kampung Jembatan Berukir, Lembah Gumanti yang sejuk di Solok, Sumatera Barat, Mohammad Idris Sutan Saripado tersenyum kembang menyaksikan Khadijah istrinya melahirkan buah hati mereka. Meski tumbuh dengan menumpang rumah saudagar kopi Sutan Rajo Ameh, bocah lelaki ini kelak menjadi figur penting yang berpengaruh di Indonesia bahkan dunia. 

Pernah memimpin Liga Muslim Sedunia, nama sang anak dicatat Abdullah Al-Aqil dalam Mereka yang Telah Pergi, biografi tokoh pembangun gerakan Islam dunia kontemporer bersama Umar Tilmisani, Muhammad Al-Ghazali, Said Hawwa dan Abul A'la Al-Maududi. Mohammad Natsir namanya. Sebagai pemangku adat kaumnya di Maninjau, ia beroleh gelar Datuk Sinaro nan Panjang.

Kezuhudan yang Memesona

Jujur, santun, dan sederhana, itulah gambaran yang didapat George McTurnan Kahin, guru besar Universitas Cornell Amerika, ketika bertemu dengan Natsir yang pada tahun 1948 itu menjabat sebagai Menteri Penerangan. "Pakaiannya sungguh tidak memamerkan sebagai seorang menteri dari suatu pemerintahan. Malah ia memakai kemeja bertambalan yang belum pernah saya lihat pada pegawai manapun dalam suatu pemerintahan, " kenang Kahin dalam Muhammad Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.

Bukan cuma itu, Natsir juga pernah menolak pemberian Chevrolet Impala yang dibawa tamunya dari Medan. Padahal mobil mewah itu sudah terparkir di depan kediaman mereka dan siap menggantikan mobil pribadi merk DeSoto mereka yang sudah kusam. "Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup, " terang Natsir kepada Lies --sapaan Sitti Muchliesah-, putrinya sebagaimana diceritakannya kepada Tempo pada 2008.

Meskipun menggenggam posisi strategis dalam kabinet, ternyata Natsir lama hidup menumpang di rumah orang. Tahun 1946 awal mereka tinggal di rumah milik Prawoto Mangkusasmito di Kampung Bali, Tanah Abang. Sedangkan ketika pemerintahan berpindah ke Yogyakarta, mereka sekeluarga menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim. Natsir baru menempati rumah sendiri setelah pemerintah menyediakan rumah yang sempit tanpa perabotan di Jalan Jawa. "Kami mengisi rumah itu dengan perabotan bekas," tutur Lies.

Selain itu, tatkala mundur dari jabatan Perdana Menteri pada Maret 1951, sekretarisnya Maria Ulfa menyodorkan catatan sisa dana taktisnya yang lumayan banyak. Anehnya, uang yang jadi haknya itu tak diambil ke kantong pribadi melainkan dilimpahkan kepada kas koperasi karyawan. Sungguh ini merupakan suatu teladan yang mungkin akan sulit ditemukan dalam hari-hari Indonesia yang sulit saat ini.

Bagaimana tidak? Sebab politisi kini tak ubahnya pencari pekerjaan di gedung dewan dan istana. Tak segan berutang untuk modal kampanye demi meraih kursi kekuasaan. Lalu begitu duduk langsung lupa pada setumpuk janji yang diumbarnya. Bukannya bekerja, sebagiannya malah asyik menghamburkan anggaran yang dipungut dari duit rakyat. Padahal, salah satu faktor kehancuran negara yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam magnum opus-nya Muqaddimah adalah kemewahan. Hal ini senada dengan salah satu tipikal manusia Indonesia versi Mochtar Lubis (1977): tidak hemat, boros, senang berpakaian bagus dan berpesta.

Kesantunan Politik

Perseteruan dalam politik adalah keniscayaan. Hanya saja bagaimana mengelola perbedaan agar menjadi rahmat itu membutuhkan seni. Natsir salah satu pelakonnya yang layak diapresiasi. Sebagai pemimpin partai Masyumi, murid A. Hassan ini kerap bersuara lantang tentang berbagai problematika umat. Sementara di Konstituante ada banyak ideologi bersarang. Oleh karenanya, perdebatan adalah hal lumrah baginya.

Misalnya dengan DN Aidit. Ketua Comite Central PKI tersebut sering beradu argumen dengan Natsir. Masing-masing membawa pemikirannya. Sampai-sampai wajah keduanya memerah. Aidit bahkan hampir saja mau melemparkan kursi karena tak tahan emosi. Tapi itu semua hanya di forum persidangan resmi. Isi debatnyapun fokus pada tema yang diangkat. Di kala rehat mereka justru minum kopi bersama, berbincang hangat dan bertukar kabar keluarga. Beberapa kali Natsir juga dibonceng sepeda oleh Aidit untuk pulang ke rumah saat tak ada tumpangan. Romantis sekali.

Beda dengan politisi zaman sekarang yang tak jarang melempar fitnah, menyerang lawan bukan dengan kritik program tapi ad hominem: menyerbu sisi-sisi pribadi untuk kepentingan kampanye hitam. Selain dengan Aidit, pendiri suratkabar Pembela Islam ini selalu berdebat keras dengan Ketua Partai Katolik Indonesia (Parkindo), Ignatius Joseph Kasimo. Bila Natsir acap menyitir Al-Qur'an, 

pun selalu mengutip ayat-ayat Alkitab. Suhu di ruang Konstituante jadi memanas. Namun begitu selesai sidang, semua mendingin kembali. Canda dan tawa berderai lagi. Tampak senyum merekah di sana-sini.  Saat Natal pun, Natsir tak sungkan sowan ke rumah lawan debatnya itu untuk menjalin silaturahmi.  Layaklah  beliau terkenal dengan filsafat politiknya, "Carilah kemenangan dalam politik, tetapi musuh tak merasa dikalahkan."

Pasca retaknya hubungan Masyumi dengan Sukarno, perwakilan PNI di parlemen selalu menggoyang kabinet Natsir. Dua kali PNI memboikot sidang sehingga tak memenuhi kuorum. Pada tanggal 22 Januari1951, parlemen yang didominasi PNI menyampaikan mosi tidak percaya dan mendapat kemenangan sehingga pada tanggal 21 Maret 1951, Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Walau dicerca demikian dahsyatnya, ketika salah satu pimpinan PNI Ki Sarmidi Mangunsarkoro meninggal, Natsir tetap pergi melayat dan menangis di rumah duka. Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak. Majalah terbitan Masyumi, Abadi mewartakannya di halaman utama dengan judul, "Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro".

Masya Allah. Seperti oase di zaman kini dimana masih ada politisi nasional yang enggan bertatapmuka dengan lawan politiknya karena kesumat lama. Betapa menawannya akhlak penerima Faisal Award ini mengejawantahkan rahmatan lil alamin. Tak kalah berjiwa besarnya lagi, meski pernah dipenjara Sukarno dan partai besutannya dibubarkan, ia tak pernah menjelek-jelekkan sang proklamator di hadapan orang lain.

 Di rapat pekanan Petisi 50 yang menggugat monopoli filsafat Pancasila oleh Orde Baru, Chris Siner Key Timu mengaku Natsir tak pernah menyinggung nama Soekarno sedikitpun. "Dari situ saja sangat terlihat sifat kenegarawanannya itu, " tulisnya dalam 100 Tahun Mohammad Natisr: Berdamai dengan Sejarah.  

Semangat Persatuan

Kekuatan yang paling mencolok dari seorang Natsir adalah semangat persatuannya. Seperti pasca penyerahan kedaulatan dari Belanda. Sesuai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, kita hidup dalam sistem federal bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun hanya beberapa hari RIS dibentuk, demonstrasi merebak di mana-mana. Malang, Sukabumi, Jakarta, Makassar dan Sumatera Timur bergejolak. Negara di ambang disintegrasi nyata. 

Dia tak ingin republik hancur dilindas perang. Natsirpun berinisiatif membuka pintu dialog. Hasilnya, muncullah Mosi Integral gagasan Natsir. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang bersama Senat dan Parlemen RIS, Presiden Sukarno membacakan Piagam Pembentukan NKRI. Lalu pada 17 Agustus 1950, diumumkanlah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah proklamasi kedua kita yang sekaligus sebagai pernyataan bubarnya 16 negara bagian, termasuk RI, dan melebur ke dalam negara baru bernama NKRI.

Selain peduli pada persatuan bangsa, Natsir juga serius menyoroti soliditas internal umat Islam. Ia mengingatkan bahwa ukhuwah islamiyah tak bisa ditumbuhkan dengan mendirikan berbagai organisasi dengan Anggaran Dasar dan kartu anggota, semboyan dan poster-poster belaka.

 "Diperlukan daya cipta para pemimpin untuk berijtihad, diperlukan pekerja lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai dan bersedia meniadakan diri (demi tegaknya ukhuwah -pen)," pesan Natsir yang dihimpun dalam Mas'oed Abidin dalam Dakwah Komprehensif. Menurut Natsir, harus ada  ketulusan dari elit umat untuk berintrospeksi dan mengambil inisiatif untuk mengikat kembali tali persaudaraan yang putus dengan mengesampingkan ego kelompok. Tentu nasehat ini masih sangat relevan untuk kita dewasa ini.

Di samping itu, di tengah harapan umat yang membuncah akan hadirnya pemimpin peduli Islam, Natsir patut dijadikan teladan bagi kita. Perjuangannya juga merupakan cemeti bagi politisi muslim agar tak ragu untuk menyuarakan aspirasi kaumnya. Coba simak bagaimana Natsir mengkritik Soekarno yang memuja Sekularisme ala Mustafa Kemal di Turki dalam Capita Selecta-nya, "Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgasana, dikelilingi oleh "haremnya" menonton tari "dayang-dayang". 

Terbayang olehnya yang duduk mengepalai "kementerian kerajaan", beberapa orang tua bangka memegang hoga (pipa, -pen)". Padahal menurut Natsir "Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktik." Terdengar seperti dongeng, kan? Tidak. Ini nyata. Kita merindukan Natsir baru untuk melanjutkan kejayaan republik ini.

               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun