Saya dan amak (panggilan untuk ibu saya) telah lama hidup terpisah karena saya harus melanjutkan kuliah di kota, meninggalkan amak di desa yang berjarak satu provinsi jauhnya. Dikarenakan jarak yang cukup jauh dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli tiket pesawat, jadi kami hanya bertemu setahun sekali jika beruntung. Hanya pada perayaan lebaran saja saya bisa bertemu dengan amak, itu pun tidak selalu demikian, terkadang pada perayaan lebaran kami hanya saling menyapa melalui telepon seluler.
Tapi hingga kini, amak masih saja selalu memperhatikan hal-hal kecil, terutama menanyakan saya sedang berada di mana, sedang melakukan apa, apakah sudah makan siang atau belum dan hal-hal sepele lainnya, seolah-olah saya adalah anak kecilnya tak peduli sebesar apa pun saya sekarang, saya akan tetap menjadi putri kecil amak.
Suatu waktu, tepatnya beberapa bulan yang lalu, amak mendapat rezeki untuk berkunjung ke kota tempat saya tinggal, katanya ada sanak saudara yang hendak melakukan hajatan pernikahan untuk anak tertuanya. Amak telah lama menantikan momen itu, dan rajin menabung akhir-akhir ini agar bisa membeli tiket pesawat untuk bertemu dengan keluarga sekaligus juga menemui saya, "Sekalian, kan biar hemat" kata amak waktu itu, meski hanya dari seberang telephone genggam saya bisa merasakan kegembiraan dari suara amak, sudah lama kami tidak berjumpa, amak rindu sangat katanya.
Begitu tiba di bandara siang hari, saya segera menjemput amak, kota ini terlalu luas dan asing bagi amak yang usianya sudah mulai senja, ia takut tersesat katanya, jadi saya harus menjemputnya lebih awal, takut amak khawatir jika menunggu terlalu lama di bandara.
Saya lalu membawa amak di kamar kontrakan yang selama ini saya tempati, tidak luas, hanya sekitar 3 x 3 meter dengan satu lemari dan kasur lantai. Saya sempat khawatir kalau-kalau tempat saya tidak nyaman buat amak, karena terlalu sempit dan lagi kami harus berbagi ruang dengan barang-barang saya yang kesemuanya tidak bisa dimasukkan ke dalam lemari pakaian.
"Yang penting amak ketemu kamu nak, itu sudah cukup, tak peduli amak tidur di mana, amak hanya rindu kamu" Kata amak sambil memeluk saya begitu kami tiba di kamar kontrakan yang saya tinggali selama beberapa tahun ini.
Tak lama setelah amak tiba, ia lalu sibuk mengitari dan merapikan setiap sudut di kamar saya, yang hari itu memang sangat berantakan belum sempat dirapikan. Meski saya beberapa kali melarang amak dan menyuruhnya beristirahat saja setelah melakukan perjalanan jauh, tapi amak nampaknya sangat menikmati merapikan baju-baju saya satu persatu dengan lamban namun teliti.
Saya terdiam memandangi amak dari sudut ruangan, garis wajahnya semakin lelah termakan usia, gerakannya semakin melamban, amak sudah benar-benar menua. Selagi sibuk memperhatikan amak, saya terkaget saat amak mengajak saya mengobrol tiba-tiba, mungkin juga tidak tiba-tiba hanya saja perhatian saya sedang melayang hari itu.
"Sepertinya amak harus membeli kerudung putih untuk dipakai ke acara nikahan kakak sepupumu, kerudung amak sudah menguning, rasanya tidak pantas lagi dipakai ke acara yang ramai seperti itu. Nanti kamu temani amak yah ke pasar di dekat sini."
Hati saya seperti teriris perih mendengar ucapan amak, dulu amak selau memperhatikan pakaian apa yang harus saya kenakan di hari raya, sekalipun keuangan pas-pasan tapi amak selalu memastikan saya dan adik-adik saya punya setidaknya satu baju baru untuk dikenakan di hari raya. Tapi setiap kali saya tanya "kenapa amak tidak beli baju baru juga?"Amak hanya akan tersenyum dan berkata baju lebaran amak masih bagus, masih cantik.
Ah, seandainya saja saya bisa membelikan amak kerudung cantik, saya ragu kegembiraan amak menerima pemberian saya itu bisa lebih dari kegembiraan saya karena akhirnya bisa juga memberikan hadiah untuk amak. Atau mungkin saja amak justru akan berkta "Untuk kamu saja, kamu lebih membutuhkannya, amak masih bisa pakai kerudung yang lama." Seperti yang selalu amak katakan saat menawarinya untuk membeli beberapa pakaian untuk dirinya sendiri.
"Nak, waktu salat ashar sudah masuk, amak mau salat dulu. Ditaro di makan alat salatnya nak?"
Mendengar amak, saya segera beranjak mencarikannya alat salat dari dalam lemari, kemudian meletakkan sepasang mukenah dan selembar jilbab segi empat berwarna biru yang sudah mulai usang di atas kasur lantai. Sambil menunggu amak selesai berwudu di luar kamar, karena kamar saya tidak menyatu dengan kamar mandi dan tempat berwudu jadi amak harus berwudu di luar. Kemudian saya menyusul, karena kami hanya punya sepasang mukenah jadinya harus bergantian salatnya. Saya membiarkan amak salat lebih dulu.
Setelah memakai sepasang mukenah dan bersiap untuk salat, amak memandangi saya dengan alis berkerut, "Sepertinya kamu salah sambil sajadah nak" sambil mengangkat jilbab yang tadi saya letakkan bersama sepasang mukenah di atas kasur lantai, "Mana sajadahmu?" Tanya amak lagi.
"Jilbab itu untuk sajadah amak, saya tidak punya sajadah" saya menjawab amak dengan senyuman. Lalu membentangkan jilbab berwarna biru itu tepat di depan amak.
***
Setelah salat saya menemani amak ke pasar untuk membeli kerudung, akan ia kenakan besok saat acara pernikahan kakak sepupu saya. Kebetulan tidak jauh dari tempat tinggal saya ada pasar tradisional yang buka sampai sore menjelang magrib.
Amak berkeliling ke lapak yang menjual kerudung, menanyakan harga sambil menyentuh bahan kerudung yang hendak ia beli, amak berpindah dari satu lapak ke lapak yang lain, agar bisa menemukan yang cocok untuk amak kenakan, katanya. Begitu tiba pada lapak yang menjual kerudung-kerudung cantik, amak melihat-lihat dan menanyakan harganya, sang penjual pun menawari amak kerudung yang menurut saya sangat cantik dengan renda dan manik-manik di seluruh tepiannya, sangat cocok untuk dikenakan di acara resmi seperti resepsi pernikahan. "Amak kan sudah tua, tidak cocok kalau pakai yang terlalu mewah, takut kelihatan norak nantinya, jadi amak mau cari yang biasa saja." Kata amak kemudian.
Setelah berkeliling hampir satu jam, amak sempat mampir ke lapakan yang menjual peralatan salat, setelah menanyakan harga beberapa sajadah yang berbeda, amak membeli satu sajadah bulu berwarna biru navy yang halus. Amak segera membayar dan laki-laki paru baya yang menjual sajadah segera mengantongi belanjaan amak dan menyerahkannya dengan senyum santun lalu diterima amak dengan ucapat terimakasih.
"Ayo nak, kita pulang saja!" Kata amak setelah mengambil kantong plastik hitam berisi belanjaannya tadi.
"Loh, amak kan belum beli kerudung? Amak cari saja dulu, saya tidak buru-buru kok" kataku meyakinkan amak.
"Tidak usah, sepertinya tidak ada yang cocok dengan amak, amak pakai kerudung yang ada saja, masih bagus kok, kita pulang saja!" katanya lebih yakin.
Saya menurut saja, tidak ingin mendebat amak, padahal jelas-jelas banyak kerudung yang bagus yang mungkin cocok untuk amak kenakan, tapi amak justru membeli sajadah, padahal itu bisa amak beli nanti saja, bukankah yang penting sekarang adalah membeli kerudung untuk acara penting yang membuat amak sampai jauh-jauh datang kemari? Tapi mendebat amak bukanlah pilihan yang baik, saya hanya menurut saja dan kembali pulang bersama amak.
Keesokan harinya sebelum berangkat ke rumah saudara amak yang hendak mengadakan hajatan itu, amak memberikan saya sehelai sajadah yang kemarin amak beli, "Gunakan untuk salat nak, sajadah yang bagus akan membuatmu betah berlama-lama sujud, dan nyaman juga kalau kamu salat. Ingat selalu salat lima waktumu yah!" kata amak sambil memelukku erat.
Saya masih sambil terpaku mendengar amak, "Amak akan menginap beberapa hari di rumah saudara, kamu tak perlu mengantar amak, carikan saja angkutan umum yang bisa mengantar amak ke sana!" Kata amak kemudian, dan saya masih terdiam memandangi amak yang sambil mengusap pudak saya perlahan. "Kamu belajar saja yang rajin yah!" Kata amak kemudian.
Bagaimana mungkin Tuhan bisa menciptakan seorang perempuan dengan cinta begitu besar? Amak memberikan lebih dari yang pernah saya harapkan, bahkan lebih dari apa yang bisa ia berikan untuk dirinya sendiri, bagaimana mungkin ada manusia dengan perhatian sebesar itu? Hari itu saya menerima hadiah sehelai sajadah bulu yang halus dari amak, sekaligus menerima hadiah istimewa dari Tuhan sepanjang umur saya dengan menjadikan saya lahir dari rahim seorang ibu yang penuh cinta kasih seperti amak.
Saya tau, amak tidak jadi membeli kerudung karena uangnya tidak cukup jika harus membeli sajadah juga, tapi amak bisa saja hanya membeli kerudung untuk dirinya sendiri, apalagi untuk dikenakan di hari yang istimewa seperti itu. Â Lagi-lagi karena cinta amak tak ada habis-habisnya, yang membuatnya selalu memprioritaskan saya di atas kepentingannya sendiri.
Tak peduli sebesar apapun saya, akan tetap menjadi anak perempuan kecil amak, yang akan selalu menerima cinta tak terhingga dari amak. Jika diperkenankan meminta pada Tuhan, saya hanya ingin diberi banyak kesempatan untuk memberikan cinta pada amak, sekalipun sadar takkan pernah bisa memberi cinta sebesar yang saya terima dari amak sepanjang hidup saya.
Terima kasih amak, terima kasih Tuhan!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H