Ketidakstabilan akibat gejolak ekonomi AS telah meningkatkan kekhawatiran tentang ketergantungan kepemimpinan dan rasionalitas pembenaran untuk mempertahankan posisi hegemoni dolar AS dalam sistem keuangan global. Kekhawatiran tersebut membawa bank sentral secara global mulai merespon dan mengubah sikap beserta perilaku mereka tentang bagaimana menawarkan tren peluang baru yang mencakup seruan untuk dedolarisasi di masa depan.
Diskursus seruan dedolarisasi memang bukanlah nada yang baru. Ketika ekonomi AS terpukul keras setelah krisis finansial global pada tahun 2008, seruan mengurangi penggunaan dolar AS dan meningkatkan kerja sama mata uang lokal untuk mengurangi risiko nilai tukar, risiko utang, dan satuan hitung dalam transaksi lintas batas terus mendapatkan daya tarik.
Tensi geopolitik turut mempercepat momentum dedolarisasi pada hari ini. AS telah menggunakan dolar sebagai senjata pertempuran perang dengan menjatuhkan sanksi keuangan pada Rusia. Penjatuhan sanksi ini menjadi senjata makan tuan bagi AS sendiri dan mendorong negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) untuk menantang hegemoni dolar AS yang dinyanyikan lebih keras akhir-akhir ini.
Secara perspektif jangka panjang, keyakinan single sovereign currency sebagai mata uang utama global semakin menunjukkan tidak sejalan dengan realitas dunia multipolar. Arah evolusi sistem moneter internasional mungkin adalah bahwa berbagai mata uang berdaulat hidup berdampingan, saling memeriksa dan menyeimbangkan, dan bersama-sama melakukan tugas penting untuk menstabilkan.
Yang pasti, tren dedolarisasi bukan dimaksudkan untuk sepenuhnya meninggalkan penggunaan dolar AS, melainkan sebagai respon diversifikasi untuk merangkul berbagai mata uang. Strategi ini ditujukan sebagai semi-isolator guna mengurangi risiko 'panas' dependensi negara terhadap ketergantungan yang berlebihan pada satu mata uang.
Sementara seberapa cepat upaya dedolariasi tetap akan menjadi pertanyaannya terbuka, namun jelas proses dedolarisasi telah mempromosikan kepada sistem yang lebih sehat dan itu tidak dapat dihentikan. Hanya saja, prosesnya bisa panjang dan berliku.
Mengubah DinamikaÂ
Dilema muncul dalam lanskap negara-negara berkembang saat ini akibat ketergantungan dolar AS yang masih lengket, yang membuat mereka rentan terhadap fluktuasi dolar. Saat ada masalah kerentanan ekonomi global, risiko yang paling jelas adalah pelarian modal (capital flight) dan nilai tukar, yang koheren secara rasional membuat ekonomi negara berkembang lebih rentan terhadap krisis dan gangguan.
Ketika dedolarisasi mendapatkan daya tarik dalam lanskap ekonomi global, sayangnya mengatasi ketergantungan dolar AS tidak cukup hanya pada kebijakan domestik. Solusi kolektif diperlukan. Harus ada garis wacana tentang kolektivitas bank sentral dalam konteks global untuk memudahkan rasionalitas domestik dan mengalokasikan risiko secara tertib dalam memastikan kelancaran transisi menuju ekonomi global yang lebih sehat.
Sejalan dengan hal itu, Keketuaan KTT G20 Indonesia tahun lalu mengangkat pengembangan pembayaran lintas negara (cross-border payment) sebagai salah satu agenda prioritas. Sebagai wujud konkretnya, lima bank sentral ASEAN (Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina) menandatangani nota kesepahaman mengenai kerja sama konektivitas pembayaran regional (regional payment connectivity).
Ditandatanganinnya kesepakatan bersama ini adalah komitmen ASEAN dalam berupaya menyediakan sistem pembayaran yang lebih aman, cepat, dan efisien untuk seluruh kawasan, melalui interkonektivitas dan interoperabilitas seperti penggunaan QR code, fast payment, application programming interface, real time gross settlement, dan kerangka kerja data.