Mohon tunggu...
Anugrah Rahmatulloh
Anugrah Rahmatulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Researcher

Ketika kita membaca, kita membuka jalan. Ketika kita menulis, kita berbagi cerita. Dan ketika kita berbicara, kita merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebudayaan Tidak Akan Pernah Mati, Sekalipun di Tengah Pandemi

22 April 2020   12:10 Diperbarui: 22 April 2020   12:19 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan Teater jadi salah satu yang terdampak Covid-19 (Sumber: gudeg.net)

Dalam menjalani kehidupan, masyarakat tidak akan pernah lepas dari budaya yang menjadi sebuah identitas. Selain itu, budaya ada dalam masyarakat sebagai sistem untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Budaya juga sering digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam hubungan antar masyarakat. 

Dengan demikian, maka tidak heran jika Clye Kluckhohn mendefinisikan budaya sebagai salah satu cara menghadapi permasalahan. Melalui tulisan berjudul Mirror for Man, ia mendefinisikan budaya salah satunya sebagai seperangkat orientasi standar yang dilakukan untuk menghadapi masalah yang berulang.

Definisi tersebut menekankan bahwa berbagai permasalahan bisa diselesaikan melalui pendekatan kebudayaan. Apa yang dikatakan Kluckhohn juga menyiratkan bahwa berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat merupakan hal yang terus berulang-ulang. Selain menjadi sebuah solusi, nyatanya kebudayaan juga sangat mudah untuk mendapatkan dampak dari berbagai permasalahan tersebut. Terutama jika permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat berkaitan dengan gejala alam, atau gejala kesehatan, seperti pandemi.

Hari ini, dunia sedang diuji dengan munculnya pandemi Covid-19. Diawali dari ditemukannya ratusan kasus di Republik Rakyat Tiongkok sejak Desember tahun lalu, perlahan-lahan penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut menyebar ke berbagai penjuru dunia dan tidak pandang bulu. Banyak negara terkena dampak dari penyakit tersebut, bahkan negara seperti Amerika Serikat, Italia, serta Spanyol "tumbang" menghadapi serbuan pandemi Covid-19. Indonesia termasuk salah satu yang terdampak Covid-19. 

Sejak ditemukan kasus pertama pada awal Maret lalu, pandemi ini kemudian dengan cepat menyebar hingga memberikan berbagai dampak, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun kebudayaan. Khususnya terhadap kebudayaan, dampak pandemi ini mempengaruhi berbagai sektor. Baik pelaku seni, institusi budaya, maupun kehidupan di masyarakat itu sendiri.

Covid-19 dan Dampaknya terhadap Kebudayaan 

Seperti yang kita ketahui, Covid-19 menjadi salah satu pandemi yang menyebar dengan cepat. Biasanya, virus ini dapat menyebar melalui kontak fisik, sehingga salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah ialah membatasi kontak fisik yang diturunkan pada sebuah istruksi bernama Physical Distancing atau pembatasan/penjarakan fisik. 

Istilah yang sempat dikenal dengan Social Distancing ini merupakan suatu upaya membatasi berkumpulnya orang banyak, menutup gedung-gedung serta membatalkan berbagai acara (Public Health Departement Santa Clara Valley Health & Hospital System). Tentunya, dengan membatasi berkumpulnya masyarakat dan berbagai acara yang dibatalkan menimbulkan dampak yang besar bagi berbagai sektor kebudayaan.

Sejak diberlakukannya pembatasan fisik di Indonesia, berbagai permasalahan mengenai budaya dan kebudayaan tidak henti-hentinya bermunculan. Berbagai kasus pengucilan dan penolakan terhadap pasien terjangkit, terduga Covid-19 maupun tenaga kesehatan terjadi di berbagai daerah. Ketakutan masyarakat akan penyebaran Covid-19 menimbulkan suatu sikap yang tidak seharusnya dilakukan. 

Padahal, para pasien maupun tenaga kesehatan membutuhkan dukungan kuat serta membutuhkan bantuan dari masyarakat. Hal ini menunjukan budaya gotong royong terkikis oleh ketakutan yang berlebihan. Selain itu, dampak Covid-19 terhadap kebudayaan juga berdampak besar pada perkembangan seni dan budaya, agenda-agenda kebudayaan, serta promosi budaya yang dilakukan di Indonesia.

Berbagai agenda kebudayaan yang sedianya dilakukan pada bulan Maret hingga April kemudian ditunda. Beberapa diantaranya ialah rencana promosi budaya yang dilakukan oleh penari Likurai asal Nusa Tenggara Timur yang akan berangkat ke Australia ditunda. 

Dilansir dari kanal berita Radio Republik Indonesia (18/3) lalu, rekomendasi keberangkatan enam penari Likurai tidak dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belu karena efek dari wabah Covid-19. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Bidang Kebudayaan, Hendrikus Andrada. Dalam pernyataannya kepada RRI, beliau menyatakan bahwa rekomendasi tersebut dihasilkan dari rapat yang dilakukan serta komunikasi yang dijalin dengan pemerintah Kabupaten Belu.

Penundaan keberangkatan para Penari Likurai hanya salah satu dari berbagai penundaan aktivitas kebudayaan maupun promosi budaya, yang juga mengikuti kebijakan penutupan berbagai situs budaya maupun museum yang dijalankan berbarengan dengan masa pembatasa fisik. Hal tersebut berdampak besar terhadap kehidupan para pelaku seni dan budaya. 

Dengan diberlakukannya pembatasan fisik, tentunya berpengaruh juga terhadap berbagai agenda kebudayaan yang melibatkan para pelaku seni dan budaya. Mereka yang memiliki mata pencaharian di bidang seni budaya, baik penari, pemain teater, pelukis, maupun sebagainya mulai merasakan semakin terbatasnya ruang untuk mengekspresikan seni dan budaya yang dimiliki yang juga berpengaruh terhadap pemasukan mereka. Ditundanya berbagai acara berarti penghasilan yang mereka terima juga ikut terpengaruh. Hal tersebut tentu menimbulkan ancaman besar bagi para pelaku seni dan budaya yang juga merupakan pegiat budaya.

Dalam beberapa sektor, proses kreatif para pelaku akan mulai tersendat karena kurangnya sokongan finansial yang dimiliki oleh mereka. Seperti diketahui, beberapa sektor seperti seni tari, seni teater, maupun seni lukis terkadang membutuhkan media yang tidak sedikit dan tidak murah untuk mengeksekusi ide dan inovasi yang muncul dalam setiap proses kreatif. 

Hal ini juga tentu menghambat kegiatan seni dan budaya dalam skala masyarakat. Terlebih, jika yang mengalaminya ialah kelompok masyarakat menengah kebawah. Hal tersebut tentu tidak boleh dibiarkan, karena dapat berpengaruh pada dua hal yang vital, yaitu kesadaran budaya dan eksistensi budaya itu sendiri. 

Dengan berbagai kesulitan yang ada, maka para pelaku seni akan berpikir bahwa apa yang dijalaninya tidak menghasilkan apa-apa, sehingga mereka perlahan-lahan akan meninggalkan kebudayaan yang mereka miliki karena tidak memberikan dampak yang baik. 

Dampak buruknya, bukan tidak mungkin kebudayaan yang berkembang melalui berbagai tampilan seni tersebut tidak berkembang dan punah di kemudian hari. Selain itu, para pegiat budaya yang berada di lingkungan situs budaya maupun museum juga memiliki dampak yang sama.

Upaya Bersama dalam Menjaga Kebudayaan Agar Tetap Eksis

Perlu penanganan yang serius untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut. Salah satunya ialah melalui pemerintah. Sejauh ini, langkah-langkah yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan sudah tepat. Terdapat berbagai kebijakan yang dilakukan untuk mempertahankan para pekerja seni dan budaya agar tetap beraktivitas dan juga bertahan. Kebijakan yang pertama kali diluncurkan ialah pendataan para pelaku seni dan budaya yang terdampak Covid-19. 

Berdasarkan rilis yang diterima National Geographic Indoneisa (7/4) lalu, Ditjen Kebudayaan Hilmar Farid menyatakan pendataan tersebut sudah dilakukan sejak 3 April 2020 melalui surat edaran Ditjen Kebudayaan serta berbagai kanal media sosial yang dimiliki oleh Kemendikbud dan jajarannya (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab/Kota, Balai Penanaman Nilai Budaya, Balai Pelestarian Cagar Budaya, dst). 

Hingga berita ditayangkan, pelaku seni yang terdaftar sudah mencapai 40.081 dan berpotensi bertambah. Nantinya, bagi pelaku seni dan budaya yang memiliki penghasilan dibawah 10 juta, akan mendapat bantuan yang disalurkan melalui jalur Program Keluarga Harapan (PKH) maupun jalur lain yang dikoordinasikan dengan Kementerian perekonomian.

Adapun bagi para pelaku seni dan budaya yang memiliki penghasilan mulai dari 10 Juta keatas serta memiliki akses internet yang memadai digandeng oleh Ditjen Kebudayaan untuk mengisi berbagai project penampilan seni dan budaya melalui plaform daring "Budaya Saya". 

Dalam pantauan di kanal Youtube Budaya Saya (22/4), sejak lebih dari sebulan yang lalu berbagai acara dilaksanakan oleh Ditjen Kebudayaan dan melibatkan berbagai pekerja seni. Bermacam-macam acara seperti diskusi kebudayaan #KreatifDisaatSulit, kelas tari dan penampilan tari, pertunjukan musik daring, penampilan teater daring dan berbagai agenda yang dapat membantu pelaku seni dan budaya mewujudkan proses kreatifnya.

Selain itu, para pekerja seni dan budaya juga mendapat tempat dalam program "Belajar di Rumah" yang merupakan kerja sama antara Kemdikbud dan TVRI. Melalui program tersebut, berbagai hasil kebudayaan dalam bentuk dokumenter, atau penampilan pembacaan dongeng ditampilkan sebagai materi belajar bagi para siswa yang sedang melakukan pembelajaran di rumah. 

Hal lain yang dilakukan oleh jajaran Kemdikbud seperti BPCB maupun pengelola museum, sudah mulai menyediakan tur museum daring yang memungkinkan masyarakat bisa merasakan tur di museum tanpa harus pergi ke lokasi. Beberapa museum seperti Museum Nasional dan Museum Sangiran bahkan sudah dilengkapi dengan penjelasan dari para pemandu museum.

Tentunya, bukan hanya pemerintah yang harus menyelamatkan kebudayaan agar tetap eksis ditengah pandemi. Hal yang sama harus dilakukan oleh para pekerja seni dan budaya maupun masyarakat sendiri. Febby Febriandi dari BPNB Kepulauan Riau memberikan beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi berbagai permasalahan pandemi dengan pendekatan budaya. Cara ini juga dinilai efektif untuk menjaga eksistensi budaya di masyarakat.

  • Membuat materi kampanye melawan pandemi berbasis budaya lokal. Salah satu media efektif adalah penyampaian melalui folklore. Dengan menggunakan cerita rakyat, nyanyian rakyat maupun bentuk folklore yang lain sebagai media kampanye tentu akan lebih dipahami dan ditaati oleh masyarakat karena terdapat memori kolektif yang mempersatukan masyarakat. Selain itu, pembuatan materi kampanye ini menjadi salah satu media proses kreatif para pelaku seni dan budaya dalam tataran masyarakat terkecil.
  • Keterlibatan pemimpin adar atau agensi lokal lain sangat membantu proses mempertahankan kebudayaan. Melalui pemimpin adat, berbagai himbauan serta langkah-langkah penanganan Covid-19 serta usaha menjaga kebudayaan dapat lebih didengar dan ditaati oleh masyarakat karena kepercayaan penuh terhadap pemimpin adat masing-masing.
  • Adanya stimulus yang melahirkan aturan adat untuk mensukseskan kampanye penanganan Covid-19 maupun menjaga kebudayaan. Dengan adanya aturan-aturan secara lokal, memudahkan masyarakat untuk lebih menjaga dan mengembangkan kebudayaan ditengah keterbatasan. Selain itu, aturan dengan tingkatan lokal lebih didengar masyarakat karena besarnya kedekatan emosional antara pemimpin dengan masyarakat. Sehingga kebudayaan akan tetap bertahan ditengah terjangan pandemi.

Kebudayaan memang terkena dampak yang luar biasa dengan adanya pandemi, dari perubahan tingkah laku masyarakat hingga terancamnya eksistensi kebudayaan itu sendiri. 

Tetapi, dengan berbagai usaha yang dilakukan serta sinergitas yang terjalin antara pemerintah, pekerja seni dan budaya serta masyarakat, maka kebudayaan akan tetap hidup di masyarakat. 

Kebudayaan tidak akan pernah mati dengan kondisi sedarurat apapun. Jika kembali mengutip definisi budaya menurut Kluckhohn, usaha menjaga kebudayaan saat ini menjadi perangkat yang digunakan oleh masyarakat untuk menghadapi berbagai permasalahan ke depan.

Sumber:
Asy, Ferdianus. 2020. "Dampak Covid-19, Tim Budaya Penari Likurai Belu NTT Batal ke Australia" dalam

rri.co.id (diakses pada 22 April 2020, pukul 07.30)

Febriyandi, Febby. 2020. "Penanganan Wabah Covid-19 dengan Pendekatan Budaya" dalam

kebudayaan.kemdikbud.go.id (diakses pada 22 April 2020, pukul 07.14)

Kluckhohn, Clyde. 1949. Mirror for Man: The Relation of Anthropology to Modern Life. Toronto: Whittlesey House

Muhammad, Fikri. 2020. "Seniman Terkena Dampak Covid-19, Ditjen Kebudayaan Lakukan Pendataan" dalam

nationalgeographic.grid.id (diakses pada 22 April 2020, pukul 08.00)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun