Mohon tunggu...
Anugrah Rahmatulloh
Anugrah Rahmatulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Researcher

Ketika kita membaca, kita membuka jalan. Ketika kita menulis, kita berbagi cerita. Dan ketika kita berbicara, kita merawat ingatan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Olahraga dan Disabilitas, Bagaimana Kaum Difabel Melampaui Batas?

3 Desember 2018   18:51 Diperbarui: 3 Desember 2018   19:09 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alex Zanardi (kiri) bersama Ralf Schumacher pada perkenalan tim Williams yang akan berlaga di Formula 1 musim 1999 (sumber: autocar.co.uk)

Hal tersebutlah yang kemudian mendorong Komite Olimpiade Internasional (IOC) memasukan Komite Olahraga bagi Tuna Rungu (International Committee of Sport for the Deaf) sebagai bagian dari IOC. Kemudian salah satu sejarah terbesar olahraga bagi kaum difabel terjadi dengan diselenggarakannya Paralimpiade pertama di Roma tahun 1960. 

Gelaran olahraga ini juga merupakan gelaran ke 9 dari The Stoke Mandeville Games. Dengan naik pangkatnya pesta olahraga bagi penyandang disabilitas menjadi ajang Internasional diresapi sebagai bentuk dukungan besar yang diberikan oleh dunia olahraga terhadap eksistensi atlet-atlet difabel. Dalam gelaran awal ini peserta yang berpartisipasi sebanyak 400 atlet dari 23 negara yang bersaing dalam 8 cabang olahraga.

Perkembangan penyelenggaraan pesta olahraga bagi kaum difabilitas kemudian semakin berkembang pada gelaran selanjutnya. Selain itu juga partisipan ditambah. Jika pada awal kemunculannya pesta olahraga ini hanya diikuti oleh korban perang yang mengalami spinal cord injury, pada gelaran selanjutnya kaum disabilitas lain juga atlet dengan kebutuhan khusus mulai diikutsertakan dalam gelaran Paralimpiade yang diadakan berbarengan dengan diselenggarakannya Olimpiade bagi atlet yang normal.

Aturan itu juga yang kemudian mendorong dibentuknya komite olahraga bagi penyandang disabilitas (International Sport Organisation for the Disabled) tahun 1962. Dalam perkembangannya, minimal satu cabang olahraga ditambahkan dalam setiap gelaran Paralimpiade. Hal itu menunjukan semakin banyak atlet yang memiliki kebutuhan khusus untuk ikut berpartisipasi pada berbagai cabang olahraga yang dipertandingkan pada ajang ini. 

Perkembangan dan dukungan bagi atlet difabel juga bukan hanya berlaku pada olahraga musim panas. Sebagai salah satu inovasi juga bentuk dukungan bagi atlet difabel olahraga musim dingin. Maka diadakan pula Paralimpiade musim dingin yang mulai berlangsung tahun 1976 di Ornskoldsvik, Swedia. Penyelenggaraan Paralimpiade musim dingin juga ditujukan sebagai media bagi para atlet difabel pada olahraga musim dingin menunjukan kemampuannya dan meraih prestasi maksimal.

Tak ayal, ajang olahraga terbesar empat tahunan bagi para penyandang disabilitas ini dimanfaatkan oleh kaum difabel sebagai ajang pembuktian bahwa keterbatasan tidak menghalangi mereka untuk mencintai olahraga dan berprestasi. Bisa dibilang, ajang Paralimpiade merupakan media bagi kaum difabel untuk melampaui batas. 

Hal tersebut dibuktikan dengan makin banyaknya cabang olahraga yang diselenggarakan dan atlet yang berpartisipasi. Bahkan lonjakan besar terjadi pada Olimpiade London 2012, yang diikuti oleh 4,237 atlet dari 164 negara yang bertarung pada 20 cabang olahraga. Bahkan hal tersebut bertambah di Rio de Janeiro 2016, dan kemungkinan makin bertambah pada gelaran Paralimpiade 2020 di Tokyo, Jepang.

Atlet penyandang disabilitas juga bukan berlaga pada gelaran Paralimpiade saja, tetapi juga pernah berlaga bahkan dalam Olimpiade bagi atlet-atlet normal. Adapun atlet pertama yang berhasil mengikuti Olimpiade adalah Neroli Fairhall, seorang pemanah difabel asal Selandia Baru yang berlaga di Olimpade Musim Panas Los Angeles tahun 1984. Sejarah kemudian tercipta 28 tahun kemudian ketika Pelari disabilitas asal Afrika Selatan, Oscar Pistorius mengikuti gelaran Olimpiade Musim Panas London 2012. Meskipun menggunakan kaki palsu, Pistorius tetap bisa bersaing dengan atlet-atlet lain yang lebih normal. Bahkan ia menorehkan prestasi denganmasuk semi final pada nomor individu 400 meter.

Atlet lain yang juga bisa mengikuti ajang olahraga bagi atlet normal ialah Pebalap Alessandro Zanardi. Sebelum mengalami kecelakaan pada gelaran CART yang digelarn di Sirkuit Lausitz EuroSpeedway Jerman, 15 September 2001, ia merupakan pebalap yang malang melintang di berbagai gelaran, termasuk aktif di Formula 1 bersama Team Lotus (1993) dan Williams (1999). 

Selepas terkena insiden yang memaksa Zanardi kehilangan kedua kakinya, ia berpindah menjadi atlet paracyclist, atau sepeda bagi penyandang disabilitas. Semenjak menjadi atlet disabilitas, Zanardi telah memenangkan 2 medali perak dan 4 medali emas dalam dua gelaran Paralimpiade Musim Panas (2012 London, 2016 Rio de Janeiro). 

Meksipun telah menjadi atlet disabilitas, Zanardi tidak serta meninggalkan dunia balap mobil yang membesakan namanya, bahkan pada usia 52 tahun, ia masih aktif berlaga di beberapa kejuaraan balap seperti pada tahun 2005-2009 bahkan menjadi Fulltime driver pada gelaran World Touring Car Championship dan memenangkan beberapa seri balapan, juga sempat menjadi test driver tim F1 BMW Williams pada 2006. Terakhir menjadi guest driver pada gelaran DTM (Deutche Tourenwagen Master) 2018 yang dilaksanakan di sirkuit International Marco Simoncelli, Missano Italia dengan hasil finis posisi 13 di race pertama dan posisi 5 di race kedua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun