***
Rembulan baru saja menggamit lengan malam, mengajak meniti lintasan waktu, sesekali mengerling ke arah bintang-bintang, saling bersapa ajak bertegur atau sekedar berbagi senyum cahaya. Di lain kesempatan, ia menyibak awan yang sudah seperti bunglon saja, kadang putih kadang ungu dan sekali waktu gelap hitam, di celahnya ia mengintip keadaan di bumi.
Mobil berplat kuning itu, perlahan meninggalkan Terminal Kota. Daeng Rappe menarik handuk yang sedari tadi memeluk erat lehernya, disekanya beberapa bulir keringat di keningnya. Rupanya hawa AC yang mulai menyebar ke ruang mobil itu belum jua mampu menghalau panas dari dalam tubuhnya, setelah hampir setengah hari tadi berlarian mengejar-ngejar penumpang, berebut muatan dengan sesama sopir atau kenek di terminal yang tak rapi itu. Bibirnya kini membentuk sebuah senyum, tersungging di wajah yang tidak lagi berkeringat dan sudah agak bersih setelah beberapa daki yang terbentuk dari debu dan menggumpal lekat di sana telah berpindah tempat ke handuk kecil yang sudah berubah warna kecoklatan itu, padahal tiga bulan yang lalu handuk berbahan kain murahan itu warnanya putih bersih, dibelinya sama Daeng Caya, janda penjual kopi hitam di pojok terminal.
Senyumnya adalah senyum puas, karena mobilnya berisi penuh muatan pertanda rezeki berlimpah hari ini. Begitulah pekerjaannya, sebagai sopir angkutan umum yang saban hari berangkat dan pulang dari desa ke kota mengantar penumpang dengan mobil kecil bermuatan 10 orang itu. Padahal sejatinya mobil ini berkapasitas 8 orang saja, tapi entahlah penumpang seperti enjoy saja duduk berhimpit dengan penumpang lainnya. Daeng Rappe meminum beberapa teguk air mineral, kemudian mulailah ia bercerita seperti kebiasaannya, mencoba mencari kawan ngobrol dalam perjalanan, berusaha meringankan penat lelahnya dan sebagai cara agar kantuk tidak mudah menyerang.
“Alhamdulillaah, setelah hampir sebulan naik turun pulang pergi dari desa ke kota, baru kali ini mobil saya penuh,” lagi Daeng Rappe mengumbar senyum, menoleh ke lelaki muda yang duduk di sebelah kirinya berharap ada respon. Yang ditoleh malah asyik bermain gadget.
Diam...
“Cari penumpang sekarang susahnya minta ampun, penumpang selalu jadi rebutan, belum lagi jika harus adu mulut dengan calo yang mengaku-ngaku sebagai pemilik muatan. Paling parah jika ada sopir yang mesti berkelahi atau malah meregang nyawa hanya karena mempertahankan penumpang yang susah payah didapatnya, tetapi malah direbut calo karena dianggap belum ada setoran dan banyak lagi peristiwa yang menyedihkan lainnya. Tapi mau apalagi, begitulah kerasnya kehidupan di terminal.”
Diam...
“Tapi begini-begini bersyukurlah saya ini, masih bisa jalan terus, selalu saja ada yang numpang, masih ada yang sudi sama saya, padahal di luar sana ada banyak mobil yang lebih bagus, lebih besar dan mungkin fasilitasnya lebih oke, jumlahnya pun tak terhitung lagi. Iya, mobil angkutan sepertinya memang tidak dibatasi, menjamur bahkan mungkin sudah lebih banyak dari penumpang. Moga-moga sih sopir angkut kayak saya ini tidak ikut ikut diblokir, seperti nasib tukang ojek yang di Gojek itu, kabarnya sudah dilarang....”
Diam...
Tiba-tiba, sebuah mobil putih yang berjalan pelan di depannya dengan sticker besar di kaca belakangnya bertuliskan “WHITE CAR COMMUNITY” berbelok ke arah kiri, tak ayal membuatnya terperanjat dan mengerem dadak mobilnya. Penumpangnya sama ikut tersentak, mungkin sebagian terbangun dari tidurnya.
“wuuu, mobil baru kok ndak ada seinnya. Apa memang begitu ya, itu club mobil apa geng mobil sih. Seperti geng motor yang senangnya melabrak aturan, baginya peraturan lalu lintas itu tidak ada, seenaknya saja.”
Diam...
“Sekarang ini, hukum sepertinya sudah tidak dianggap lagi. Bisa dilihat pagi hari atau sepulang sekolah, anak-anak berseragam sekolah ugal-ugalan di jalan ndak pakai helm, apakah mereka itu sudah punya SIM? tapi kok ya polisi diam saja? Memang aneh hukum dan peraturan sekarang, khususnya di jalanan. Anak kecil dibonceng tanpa pengaman yang memadai seperti helm, padahal yang membonceng itu mungkin orangtuanya, lengkap dengan helm pengamannya. Bulan ramadhan dan hari Jumat lumrah kita saksikan orang-orang leluasa berkendara di jalanan tanpa memakai helm, cukup memakai peci saja, dan sepertinya Polantas membiarkan saja. Bak pesawat tempur berlalu begitu saja, bahkan ada yang cuek menyalip patroli Polisi. Syukur-syukur kalo akibat ulahnya itu ndak terjadi kecelakaan.”
Diam...
Ia menarik nafas dan menghembusnya pelan, ia baru saja sadar telah membuat kesalahan.
“Pantas mobil itu seperti terengah saat berpapasan tadi, rupanya lampu jauh mobil ini sudah menempel di jidat pengemudinya, dan sudah pasti menyilaukan matanya. Kasihan.... Dulu, waktu masih jadi tukang ojek, dua kali pernah nyaris celaka gara-gara buta disemprot lampu sorot jauh. Ufffhhh...” Ia menarik nafas dengan kuat lagi dan lalu menghamburkannya kuat-kuat sembari mematukkan kepalanya di jok kursi dengan tatap tetap awas ke depan. Diliriknya pemuda di sampingya, rupanya ia sudah terlelap. Ia menggeleng, namun masih saja ia mengoceh kali saja penumpang di kursi belakang ada yang tanggap. Begitu yang ada di benaknya.
Diam...
Terdengar lamat-lamat sirene ambulans, makin lama makin dekat dan suara raung sirenenya semakin jelas di telinga membuat merinding jadinya, dengan cekatan ia memperlambat laju mobilnya dan memberi jalan mobil ambulans itu. Sepintas dilihatnya beberapa mobil ikut melaju kencang menyusul di belakang mobil ambulans, tiga atau mungkin empat dan di antaranya ada pula yang berplat kuning.
“Jangan coba-coba ikut ambulans jika bukan 1 meter, atau paling jauh 2 meter di belakangnya. Saya juga pernah coba ikut membuntuti ambulans, maksudnya sih untuk menghindari lalulintas padat, eh malah ngos-ngosan. Jadi lebih baik cari amannya saja, mobil ambulans juga bisa kecelakaan kok, yah seperti berita di tipi kemarin itu, awalnya 1 orang meninggal menjadi 7 orang, 5 pengantar jenazah tambah sopir ambulans ikut jadi mayat akibat kecelakaan beruntun yang ikut melibatkan mobil antar jenazah itu.”
Diam...
Daeng Rappe membelokkan mobilnya masuk ke sebuah Pertamina, sebenarnya jarum penunjuk bahan bakar masih ada di posisi tengah, tapi begitulah kebiasaannya sebelum tiba di kampung Daeng Rappe akan mengisi full tangki mobilnya, ini juga dimaksudkan untuk berjaga-jaga saja biar besok start dari kampung bisa tenang tanpa khawatir mobil kekurangan BBM. Sambil mengisi bensin, terlihat ia bercakap-cakap dengan seorang yang lagi antre di belakangnya dan sepertinya sangat akrab. Setelah bayar, ia pamit dengan pemilik mobil bertampang pejabat itu, si pejabat membalas dengan senyum dan melambaikan tangannya. Daeng Rappe duduk di belakang kemudi, melajukan kendaraannya melanjutkan ceritanya.
“Bapak-bapak yang tadi itu Bos di kota, nah... mobil yang dipakainya itu mobil jabatan, mmm... maksudnya mobil dinas, tapi lihat platnya diubah jadi plat hitam. Saya heran deh, lihat kebanyakan kendaraan dinas berplat merah, tidak motor, tidak mobil asal mo masuk pertamina, ganti plat cadangan dulu... hahaha, Indonesia...” Ia terbahak, seperti kelucuan baru saja menggelitik perutnya, kemudian memandang cermin di atasnya, memantau keadaan penumpang di belakang. Tapi karena remang-remang, ia tak bisa melihat apa selain mendengar dengkur pemuda di sebelahnya.
Diam...
*
Esok harinya, di halaman depan sebuah koran berita kota terpampang headline dengan judul besar-besar “KECELAKAAN MAUT DI TAPAL DESA”. Diberitakan bahwa sebuah mobil angkutan umum mengalami kecelakaan berujung maut yang menewaskan seluruh penumpang termasuk pengemudinya yang diketahui bernama Daeng Rappe. Menurut saksi mata yang melihat peristiwa itu, bahwa mobil itu berusaha menghindari dua motor yang saling kejar dari arah berlawanan yang ditengarai sebagai aksi balap liar yang memang kerap terjadi di tempat itu.
***
Lembah Permai, 2012 2015
(Anugerah Os)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H