Nama:Â
1. Anugerah Akbar Yudha Adistian (22121079)
2. Gufron Ali Purnomo (222121067)
Pada UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah:
Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974
Pada pasal tersebut terdapat asas-asas yaitu: Asas sukarela, Asas partisipasi keluarga, Perceraian dipersulit, Poligami dibatasi dengan ketat, Kematangan calon mempelai, Memperbaiki derajat kaum Wanita, dan Asas pencatatan perkawinan
1. Asas Sukarela
Asas sukarela adalah prinsip yang sangat fundamental dalam institusi perkawinan. Ini mencakup kesepakatan sukarela antara kedua pasangan yang akan menikah serta kesediaan sukarela dari orang tua yang bertindak sebagai wali. Prinsip ini menekankan pentingnya persetujuan dan kesepakatan dari semua pihak yang terlibat dalam proses pernikahan, baik dari kedua calon pasangan maupun dari pihak keluarga yang berperan dalam proses tersebut. Keberadaan asas sukarela menjamin bahwa perkawinan dibangun atas dasar kesepakatan dan kerelaan, yang merupakan fondasi kuat untuk hubungan yang sehat dan harmonis dalam rumah tangga.
2. Asas partisipasi keluargaÂ
Dalam asas ini, pentingnya partisipasi keluarga dalam memberikan restu terhadap pernikahan dijelaskan secara rinci. Terutama bagi individu yang berusia di bawah 21 tahun, baik pria maupun wanita, adanya keterlibatan dan persetujuan keluarga menjadi syarat utama sebelum pernikahan dilakukan. Ketentuan ini diatur dengan detail dalam Pasal 6 ayat (2, 3, 4, 5, dan 6) Undang-Undang Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih dari sekadar aturan hukum formal, peraturan ini menegaskan pentingnya keterlibatan serta dukungan keluarga dalam proses pernikahan, yang menjadi landasan bagi keharmonisan dan kesuksesan hubungan pernikahan di masa yang akan datang.
3. Asas perceraian dipersulitÂ
 Dengan asas ini perceraian menjadi lebih rumit dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. Pasal tersebut menegaskan bahwa perceraian hanya dapat diproses melalui pengadilan setelah upaya mendamaikan kedua belah pihak secara langsung tidak membuahkan hasil. Dalam konteks ini, pihak yang mengajukan perceraian diwajibkan untuk melakukan usaha damai terlebih dahulu sebelum mengambil langkah hukum. Hal ini menunjukkan komitmen hukum untuk mendorong penyelesaian konflik melalui mediasi dan dialog, sebelum mengambil tindakan yang lebih drastis seperti perceraian di hadapan pengadilan. Dengan demikian, asas ini tidak hanya mengatur prosedur hukum, tetapi juga mendorong penyelesaian yang damai dan harmonis dalam perkawinan.
4. Asas poligami dibatasi dengan ketat
Asas pembatasan poligami secara ketat diatur dengan tegas dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa seorang pria hanya diizinkan memiliki satu istri, dan sebaliknya, demikian juga bagi seorang wanita. Namun, perlu dicatat bahwa pengadilan dapat memberikan izin khusus dalam keadaan tertentu, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip hukum yang mengatur praktik poligami telah diatur dengan jelas dan ketat, dengan mempertimbangkan kondisi serta kebutuhan yang spesifik dalam masyarakat.
5. Asas kematangan calon mempelai
Asas Kematangan calon mempelai adalah asas yang tercermin dalam Pasal 7 ayat (1,2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menegaskan bahwa perkawinan hanya diperbolehkan jika kedua belah pihak, baik pria maupun wanita, telah mencapai tingkat kematangan sosial tertentu. Hal ini ditegaskan dengan ketentuan bahwa pihak pria harus mencapai usia 19 tahun, sementara pihak wanita harus mencapai usia 16 tahun. Penetapan batas usia ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa kedua belah pihak telah mencapai tingkat kematangan yang cukup untuk memahami dan mengemban tanggung jawab dalam institusi perkawinan. Namun demikian, Pasal 7 ayat (2) juga memberikan fleksibilitas dengan mengizinkan dispensasi bagi mereka yang tidak memenuhi batas usia minimal, yang dapat diajukan melalui proses hukum kepada Pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dispensasi ini mempertimbangkan faktor-faktor tertentu yang mungkin mempengaruhi kematangan sosial individu, namun tetap memperhatikan kepentingan dan perlindungan bagi kedua belah pihak yang akan menjalani perkawinan. Dengan demikian, aspek kematangan sosial dalam regulasi perkawinan bertujuan untuk memastikan bahwa institusi perkawinan dijalankan oleh individu yang telah siap secara sosial dan mental untuk mengemban peran serta tanggung jawabnya dalam kehidupan berumah tangga.
6. Asas Memperbaiki Derajat Kaum Wanita
Asas ibi mengatur tentang adanya perjanjian kawin dan pembagian harta bersama fan prngaturan tentang harta apabila melakukan perceraian. asaini memiliki tujuan yang lebih pada derajat seorang wanita (khususnya pada seorang istri) selain itu perlindungan juga di perhatikan kepada anak. perempuan juga berhak mendapatkan perlindungan, kasih sayang, bahkan nafkah lahir maupun batin dari seorang suami.Â
7. Asas Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan yang bertujuan mewujudkan ketertiban perkawinan dalam sebuah aturan negara, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam, maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. "Perkawinan yang tidak dicatatkan akan merugikan kepentingan dan mengancam pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak anak". Sebagai peristiwa hukum, perkawinan tentu berkorelasi langsung dengan anak-anak yang dilahirkan. Baik menyangkut hukum keluarga maupun hak-hak anak yang dijamin sebagai hak asasi manusia.Untuk menghindari hal itu, maka pencatatan perkawinan sebagai elemen penyempurnaan dari suatu perkawinan adalah wajib. pencatatan perkawinan dilakukan oleh masyarakat muslim yaitai di KUA adapun bagi masyarakat non-muslim yaitu di Dinas Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan merupakan pondasi pada sistem hukum perkawinan yang terorganisir dan efisien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H