Mohon tunggu...
Anugerah Akbar Yudha Adistian
Anugerah Akbar Yudha Adistian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN RM Said Surakarta

Sebuah tujuan tidak akan bisa dicapai tanpa adanya pengorbanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Prinsip-prinsip Perkawinan dari UU No. 1 Tahun 1974 Ditinjau dari Asas-asasnya

21 Februari 2024   13:26 Diperbarui: 21 Februari 2024   14:50 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Dengan asas ini perceraian menjadi lebih rumit dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. Pasal tersebut menegaskan bahwa perceraian hanya dapat diproses melalui pengadilan setelah upaya mendamaikan kedua belah pihak secara langsung tidak membuahkan hasil. Dalam konteks ini, pihak yang mengajukan perceraian diwajibkan untuk melakukan usaha damai terlebih dahulu sebelum mengambil langkah hukum. Hal ini menunjukkan komitmen hukum untuk mendorong penyelesaian konflik melalui mediasi dan dialog, sebelum mengambil tindakan yang lebih drastis seperti perceraian di hadapan pengadilan. Dengan demikian, asas ini tidak hanya mengatur prosedur hukum, tetapi juga mendorong penyelesaian yang damai dan harmonis dalam perkawinan.

4. Asas poligami dibatasi dengan ketat

Asas pembatasan poligami secara ketat diatur dengan tegas dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa seorang pria hanya diizinkan memiliki satu istri, dan sebaliknya, demikian juga bagi seorang wanita. Namun, perlu dicatat bahwa pengadilan dapat memberikan izin khusus dalam keadaan tertentu, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip hukum yang mengatur praktik poligami telah diatur dengan jelas dan ketat, dengan mempertimbangkan kondisi serta kebutuhan yang spesifik dalam masyarakat.

5. Asas kematangan calon mempelai

Asas Kematangan calon mempelai adalah asas yang tercermin dalam Pasal 7 ayat (1,2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menegaskan bahwa perkawinan hanya diperbolehkan jika kedua belah pihak, baik pria maupun wanita, telah mencapai tingkat kematangan sosial tertentu. Hal ini ditegaskan dengan ketentuan bahwa pihak pria harus mencapai usia 19 tahun, sementara pihak wanita harus mencapai usia 16 tahun. Penetapan batas usia ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa kedua belah pihak telah mencapai tingkat kematangan yang cukup untuk memahami dan mengemban tanggung jawab dalam institusi perkawinan. Namun demikian, Pasal 7 ayat (2) juga memberikan fleksibilitas dengan mengizinkan dispensasi bagi mereka yang tidak memenuhi batas usia minimal, yang dapat diajukan melalui proses hukum kepada Pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dispensasi ini mempertimbangkan faktor-faktor tertentu yang mungkin mempengaruhi kematangan sosial individu, namun tetap memperhatikan kepentingan dan perlindungan bagi kedua belah pihak yang akan menjalani perkawinan. Dengan demikian, aspek kematangan sosial dalam regulasi perkawinan bertujuan untuk memastikan bahwa institusi perkawinan dijalankan oleh individu yang telah siap secara sosial dan mental untuk mengemban peran serta tanggung jawabnya dalam kehidupan berumah tangga.

6. Asas Memperbaiki Derajat Kaum Wanita

Asas ibi mengatur tentang adanya perjanjian kawin dan pembagian harta bersama fan prngaturan tentang harta apabila melakukan perceraian. asaini memiliki tujuan yang lebih pada derajat seorang wanita (khususnya pada seorang istri) selain itu perlindungan juga di perhatikan kepada anak. perempuan juga berhak mendapatkan perlindungan, kasih sayang, bahkan nafkah lahir maupun batin dari seorang suami. 

7. Asas Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan yang bertujuan mewujudkan ketertiban perkawinan dalam sebuah aturan negara, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam, maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. "Perkawinan yang tidak dicatatkan akan merugikan kepentingan dan mengancam pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak anak". Sebagai peristiwa hukum, perkawinan tentu berkorelasi langsung dengan anak-anak yang dilahirkan. Baik menyangkut hukum keluarga maupun hak-hak anak yang dijamin sebagai hak asasi manusia.Untuk menghindari hal itu, maka pencatatan perkawinan sebagai elemen penyempurnaan dari suatu perkawinan adalah wajib. pencatatan perkawinan dilakukan oleh masyarakat muslim yaitai di KUA adapun bagi masyarakat non-muslim yaitu di Dinas Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan merupakan pondasi pada sistem hukum perkawinan yang terorganisir dan efisien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun