Beberapa waktu yang lalu sepulang dari mengunjungi ibu saya, kami sekeluarga mampir ke salah satu rumah makan di kota saya yang letaknya tepat di pinggir jalan utama. Warung makan ini menjual ayam goreng dan soto ayam sebagai salah satu menu utamanya. Jujur setiap kali pulang kerja saya cukup penasaran dengan warung ini karena terlihat cukup ramai. Dan akhirnya kesampaian juga keinginan saya mencicipi makanan di sana.
Saat tiba di rumah makan, seorang pegawai menanyakan kepada saya pesanan kami sekeluarga. Saya pun memesan 1 porsi nasi ayam dan nasi bebek untuk suami dan anak sementara saya sendiri memesan soto ayam. Nah, rupanya di tempat makan ini sistemnya pelanggan mengambil sendiri nasi sementara lauknya nanti diantarkan kepada pembeli. Bagi yang makannya banyak hal ini cukup menguntungkan sih karena tidak ada tambahan biaya jika mengambil nasi dengan porsi besar.
Begitu menu dihidangkan, kami pun langsung menyantapnya. Sesuai dugaan saya, menu masakan di warung ini terbilang enak. Bahkan suami yang biasanya cerewet soal makanan juga mengakui kalau menu sotonya enak. Anak-anak saya cukup lahap makan terutama si bungsu yang terus-terusan minta disuapi dengan ayam goreng yang dibagi 2 dengan kakaknya.
Setelah menyelesaikan makan, saya pun menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Kasir menghitung total pesanan makan malam kami dan menyebutkan angka yang muncul. "Enam puluh lima ribu rupiah," begitu katanya pada saya. Saya pun membuka dompet dan menyerahkan selembar uang seratus ribu pada kasir tersebut. Sayangnya ternyata mesin kasir tersebut tidak memiliki kembalian untuk uang saya.
"Mbak ada lima belas ribu nggak? Saya nggak ada kembalian?" tanya kasir itu kepada saya. Maksudnya meminta uang lima belas ribu itu agar dia bisa memberikan kembalian Rp. 50.000,00 kepada saya.
Saya menggeleng. "Nggak ada, Mbak. Memang di sini nggak bisa pakai QRIS?" Saya balik bertanya kepada kasir.
Kali ini giliran kasir itu yang menggeleng. Kasir itu kemudian menyerahkan uang lima puluh ribu kepada saya dan meminta saya menukarkan uang tersebut ke tukang parkir yang ada di pinggir jalan. Meski terdengar seenaknya, saya pun mengikuti saran dari kasir warung makan itu. Â
Sebelum mendatangi tukang parkir, saya putuskan untuk membeli gulali dari seorang wanita tua yang berjualan di depan warung makan. Kebetulan anak saya sebelumnya sudah meminta saya untuk membelikan cemilan manis tersebut. Karena kebetulan saya sedang mencari uang kembalian jadi sekalian saja saya belikan gulali untuk kedua anak saya.Â
Namun ternyata sama dengan kasir di warung makan, wanita penjual gulali juga tidak memiliki uang kembalian untuk saya. Harga dari gulali itu sendiri adalah lima ribu rupiah dan saya membeli 2 buah jadi setidaknya saya akan mendapat kembalian empat puluh ribu rupiah. Pada akhirnya saya pun mendatangi tukang parkir untuk memecah uang lima puluh ribu milik saya.
"Nggak ada juga, Bu," begitu kata tukang parkir saat saya menanyakan apakah saya bisa menukar uang kepadanya. Saya pun setengah curhat kepada tukang parkir tentang warung makan yang tidak memiliki QRIS itu sebagai pilihan pembayaran.Â
"Memang itu warung makannya aneh banget. Bayar pakai debit aja nggak bisa. Padahal warung di sebelahnya sudah bisa bayar pakai QRIS," komentar tukang parkir setelah mendengar cerita saya.
"Wah padahal sekarang orang-orang kebanyakan bayar nggak pakai cash lagi, ya, Pak," sahut saya yang diiyakan oleh tukang parkir.
Di tengah kebingungan saya, suami akhirnya turun tangan dengan mendatangi warung kecil di samping tempat kami makan dan membeli 2 minuman. Ternyata di warung itu malah ada kembalian dari uang yang saya miliki. Saya pun kembali mendatangi kasir untuk membayarkan kekurangan dari makan malam kami sebelumnya.
***
Sepulang dari makan malam, saya pun bercerita kepada suami tentang kejadian lain terkait uang kembalian yang saya alami 2 hari sebelumnya. Jadi ceritanya sore itu sepulang kerja saya mampir ke salah satu kawasan nongkrong di kota Banjarmasin yang cukup ramai dikunjungi anak muda setiap harinya. Rencananya hari itu saya akan bertemu dengan beberapa teman blogger. Sayangnya saat saya tiba di lokasi teman yang saya tunggu ini belum datang. Teman pertama masih menunggu jemputan sementara teman satu lagi ternyata baru tiba di hotel setelah terbang dari Jakarta.
Sambil menunggu mereka datang, saya pun memutuskan membeli segelas kopi dan roti untuk mengisi perut. Saat itu saya membayar pesanan tersebut dengan uang cash karena kebetulan memang sedang ada uang di dompet. Selama kurang lebih 30 menit saya menunggu teman-teman saya ini sambil menikmati pemandangan di sekitar. Kawasan ini dulunya adalah deretan ruko yang terbengkalai yang kemudian satu per satu berubah menjadi kafe kecil. Mulanya hanya ada satu warung kopi lalu seiring dengan meningkatnya kepopulerannya satu per satu kafe lain pun bermunculan dan menjadikannya kawasan yang ramai dikunjungi anak muda di sore dan malam hari.
Setelah hampir 1 jam menunggu, saya akhirnya memutuskan pulang karena hari sudah semakin sore sementara saya harus menjemput kedua anak saya di rumah tetangga tempat mereka dititipkan. Saat kembali ke motor saya di tempat parkir, baru saya sadar kalau ternyata saya tidak ada uang kecil untuk membayar parkir. Di dompet saya hanya ada uang seratus ribu yang rasanya tidak elok diberikan kepada tukang parkir.Â
Saya lihat di depan motor saya ada penjual pentol bakso dan saya pun memutuskan untuk membeli beberapa tusuk pentol untuk memecah uang saya. Sayangnya ternyata penjual pentol juga tidak memiliki kembalian untuk 5 buah pentol seharga Rp. 5000,00 yang saya beli. Saya semakin bingung. Masa iya sih saya harus mampir ke warung lain untuk belanja lagi? pikir saya dalam hati. Nah, rupanya sama seperti kasir di warung makan, penjual pentol secara tak diduga menyarankan saya untuk menukar uang kepada tukang parkir yang ada di depan saya.Â
"Memang pamannya ada uang kembaliannya?" tanya saya kepada penjual pentol bakso.Â
"Ada. Coba aja tanya orangnya," jawab penjual pentol.
Saya pun berjalan ke arah tukang parkir yang berdiri tak jauh dari motor saya. Saya serahkan uang seratus ribu yang saya miliki dan begitu tukang parkir itu membuka tasnya tampak ada cukup banyak uang di sana. Bukan hanya uang 2 ribuan yang biasanya dibayarkan untuk parkir motor namun juga uang puluhan ribu yang mungkin didapat dari parkir mobil yang datang ke kawasan tersebut. "Ya elah tahu gitu tadi mending langsung bayar parkir aja pakai uang seratus ribu," kata saya dalam hati setelah menerima uang dari paman parkir tersebut. Akhirnya setelah menukar uang saya kembali ke penjual pentol untuk membayar pentol yang saya makan.Â
Dari dua kejadian yang saya alami terkait uang kembalian ini, ada satu hal yang saya pelajari yakni tentang bagaimana sebuah rezeki kadang memiliki jalannya sendiri untuk datang kepada kita. Saat makan di warung makan bersama keluarga, saya harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli gulali kepada wanita yang berjualan di sana padahal saya tidak berencana untuk membelinya. Namun rupanya Allah dengan caranya sendiri membuat saya membeli gulali tersebut untuk diberikan kepada anak saya. Lalu dari kejadian berikutnya Allah juga dengan caranya sendiri menyampaikan rezeki penjual pentol lewat saya yang tidak memiliki uang kecil untuk bayar parkir. Begitulah misteri rezeki. Allah menyampaikan kepada siapapun yang dikehendakinya dan telah menjamin rezeki setiap umatnya. Â
Demikian sedikit cerita dari saya semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H