Mohon tunggu...
Anto Sugiharto
Anto Sugiharto Mohon Tunggu... Insinyur - Profesional Migas

..Just ordinary man, mantan ekspat, peminat sejarah migas, teknologi penerbangan dan dunia militer.. "Peristiwa tertulis lebih abadi dibanding yang terucap"

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Prabumulih, Kota Minyak Historis yang Terus Berkarya

26 Mei 2021   11:30 Diperbarui: 1 Agustus 2021   07:18 3776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman edukasi migas memamerkan berbagai peralatan asli operasi migas berlokasi di tengah-tengah area komperta (foto: penulis)

“Bumi seinggok sepemunyian" begitulah julukan kota ini. Sering diartikan seiring sejalan, namun mungkin saja memiliki makna lain. Prabumulih dikenal sebagai salah satu situs rintisan industri hulu perminyakan di tanah air sejak era kolonial yang tetap produktif hingga sekarang dan menjadi basis operasi kegiatan eksplorasi produksi migas di Wilayah Kerja Pertamina Sumatra Selatan dan sekitarnya.

Adanya kompleksitas dalam kegiatan operasional produksi dari lapangan-lapangan migas yang mayoritas berkategori ‘vintage (mature), brownfield dan depleted’ ditambah kerumitan geologi bawah permukaan serta sering ditemuinya kendala" non-teknis, semuanya menjadi 'tantangan' sekaligus faktor 'menarik' dalam pengelolaan migas di daerah ini. 

Dengan berbagai tantangan tersebut, tak heran Prabumulih menjadi salah satu kawah candradimuka bagi pekerja Pertamina untuk menimba pengetahuan praktis dan mengembangkan pengalaman lapangan terbaik dalam berbagai disiplin ilmu dunia perminyakan. Tercatat banyak pimpinan puncak perusahaan BUMN migas ini yang pernah ‘dilahirkan’ dari sini.

Dalam dunia migas, area PRABUMULIH dikenal sebagai Kelompok Palembang Selatan (KPS) karena merupakan daerah penghasil lapangan migas penting di area selatan dari Cekungan Sumatra Selatan (CSS). Kota  ini memang dikelilingi lapangan migas kecil maupun besar, baik yang ditemukan oleh perusahaan minyak di era kolonial semasa rintisan maupun ditemukan sendiri oleh Pertamina, mitra kerjanya atau kontraktor PSC lain.

Tonggak awal kelahiran industri migas di Cekungan minyak Sumatra Selatan sebenarnya terjadi menjelang pergantian abad ke-19 - tepatnya tahun 1896, lewat penemuan minyak pertama hasil pemboran sumur dangkal KPM-1 oleh kongsi MEPM (Muara Enim Petroleum Maatschappij) di daerah Kampung Minyak, berjarak sekitar 95 km dari kota Prabumulih. Daerah tersebut sekarang berada di wilayah administratif kabupaten Muara Enim. Pemboran sumur 'minyak itam' ini didanai oleh sindikasi beberapa kongsi dagang asal Prancis yang disebut Palembang Syndicate dipimpin oleh Boissevain, seorang investor besar Belanda dan dimotori juga oleh pionir industri perminyakan kolonial bernama J.W. IJzerman, yang dikenal juga sebagai penggagas pendirian kampus ITB (THS) di Bandung. Lokasi sumur monumental KPM-1 berada didekat lipatan antiklin tererosi "coffer fold" yang menghasilkan rembesan minyak di permukaan sebagai petunjuk lokasi pemboran sumur tersebut. 

Kesuksesan di Kampung Minyak akhirnya mengantarkan Sumatra Selatan memasuki era industri perminyakan dunia dan menempati urutan ke tiga di tanah air setelah penemuan komersial pertama di Cekungan migas Sumatra Utara tepatnya di desa Telaga Said (Pangkalan Brandan) tahun 1885 dan Darat 1887,  disusul penemuan di Kuti-Anyar-Ledok-Lidah-Kawengan di Cepu dan Jawa Timur sekitar tahun 1888-1893. 

Berkaca dari kesuksesan MEPM tersebut, maka usaha pencarian “emas hitam” semakin menjangkau daerah yang lebih luas di daratan Sumatra Selatan namun masih mengandalkan pemboran di dekat antiklin pada lokasi-lokasi rembesan minyak permukaan atau semburan gunung lumpur (mud vulcano) yang populer sebagai metode “creekology”. 

Secara perlahan teknologi eksplorasi juga mulai diperkenalkan di dunia pencarian minyak sekitar tahun 1920-an dan 1930-an termasuk di wilayah Indonesia lewat penggunaan peralatan dan metode geofisika (gravimetri, seismik refleksi, torsion balance dan well logging).

Di pembukaan abad ke-20, industri perminyakan nusantara makin menggeliat. Sejumlah lapangan minyak baru turut ditemukan di Sumatra Selatan, diantaranya Babat (1902), Suban Jeriji (1902), Sungai Taham (1903) dan Karang Ringin (1903). 

Untuk mengolah hasil produksi dari ladang-ladang minyak tersebut maka BPM (De Bataafsche Maatschappij) yang merupakan perusahaan minyak swasta kolonial Belanda kemudian membangun kilang Plaju di bantaran Sungai Musi bagian timur kota Palembang. Kilang Plaju mulai beroperasi tahun 1906 dengan kapasitas penyulingan dua puluh ribu barel minyak per hari, menjadikannya terbesar di Asia Tenggara kala itu.

Memasuki dekade awal abad ke-20, BPM- anak perusahaan Royal Dutch Shell, sudah mengantongi lisensi pencarian minyak di 44 wilayah konsesi Hindia Belanda yang bermitra dengan 18 perusahaan asing untuk mengerjakan wilayah konsesi yang sangat luas. 

Di antara mitra BPM itu terdapat nama NKPM (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) yaitu perusahaan konsorsium multinasional BPM dengan SONJ (Standard Oil of New Jersey) asal Amerika Serikat. NKPM mendapat mandat 'operatorship' melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi minyak bumi di sebagian wilayah Cekungan Sumatra Selatan bertetangga dengan konsesi BPM.

Daerah Ogan, Pendopo, Kuang, Lembak, Iliran termasuk sebagian wilayah Prabumulih  menjadi fokus pencarian NKPM . Daerah-daerah konsesi NKPM itu awalnya dianggap kering karena tidak ada indikasi rembesan minyak permukaan namun dikemudian hari ternyata terbukti kaya akan minyak setelah dibor tepat pada struktur antiklinnya menembus lapisan-lapisan reservoir formasi Muara Enim dan Air Benakat (regresif) hingga Talang Akar (transgresif). Struktur-struktur lapangan penemu minyak itu sekarang lebih dikenal dengan Tren Limau dan Tren Prabu yang terbentuk dari kelurusan dua tren paralel struktur geologi antiklin (tinggian antiklinorium) memanjang berarah barat laut – tenggara.

Suasana komperta prabumulih tahun 1955. Terlihat bangunan lama mesjid Darussalam yang berada diatas bukit kecil menjadi salah satu landmark kala itu. Deretan bangunan panjang di bagian depan foto sekarang telah berubah menjadi rumah-rumah pegawai dengan desain bangunan yang relatif baru (sumber: KITLV Collection).
Suasana komperta prabumulih tahun 1955. Terlihat bangunan lama mesjid Darussalam yang berada diatas bukit kecil menjadi salah satu landmark kala itu. Deretan bangunan panjang di bagian depan foto sekarang telah berubah menjadi rumah-rumah pegawai dengan desain bangunan yang relatif baru (sumber: KITLV Collection).

Tak diketahui tepatnya kapan kota Prabumulih sendiri mulai menjadi basis operasi perminyakan di masa kolonial. Namun bila ditelurusi lebih jauh maka BPM-lah yang melanjutkan rintisan pencarian minyak di wilayah selatan cekungan minyak  ini setelah sebelumnya mengakuisisi (M&A) beberapa kongsi minyak kecil yang lebih dahulu beroperasi di Sumatra Selatan yaitu MEPM- perusahaan penemu minyak pertama di daerah Kampung Minyak; Sumpal (Sumatra-Palembang) Petroleum Company dan Musi Ilir Petroleum Company antara tahun 1904-1906. Praktis BPM menjadi satu-satunya operator di wilayah ini hingga tahun 1910-an, sebelum datangnya pecahan grup Standard Oil yaitu SONJ dari Amerika tahun 1912. Lewat tekanan politis pemerintah AS kepada Belanda dengan politik resiprokal "MLA" (Mineral Leasing Act) 1920 atas persaingan ekspansi global dengan Royal Dutch Shell (induk BPM), NKPM akhirnya bisa mendapatkan konsesi pertamanya di Sumatra Selatan namun di daerah" yang dianggap "kering". Di tahun 1916 NKPM berhasil menemukan minyak pertama di lapisan-lapisan batupasir dangkal regresif, sayangnya dinilai kurang ekonomis karena memiliki ketebalan yang tipis dengan penyebaran terbatas serta cadangan yang kecil.

Kegiatan eksplorasi lanjutan oleh BPM dilakukan di sekitar Sungai Lematang  dimulai sekitar tahun 1910-an dan berlangsung selama beberapa dekade hingga dilakukan pemboran sumur dan akhirnya ditemukan lapangan” minyak baru di area selatan cekungan, termasuk lapangan Limau tahun 1928. Ini berarti Prabumulih menjadi basis operasi dan penampungan minyak BPM setidaknya diawali sekitar periode 1920-1930an, hampir satu abad silam.

Tonggak besar perkembangan industri perminyakan di Sumatra Selatan terjadi saat lapangan Talang Akar -berjarak sekitar 50 km barat laut kota Prabumulih, ditemukan secara tidak sengaja tahun 1922 ketika NKPM mengebor sumur Talang Akar No.6 yang terlanjur menembus lapisan batupasir transgresif penyimpan minyak yang sebelumnya bukan menjadi target pemboran. Enam tahun kemudian penemuan berlanjut dengan lapangan Pendopo, struktur ekstension dari lapangan Talang Akar sehingga sering disebut lapangan Talang Akar Pendopo (TAP).

Kedua lapangan ini pernah menorehkan catatan penting sebagai lapangan dengan produksi terbesar di Asia Tenggara sebelum terjadi perang dunia II namun akhirnya disalip oleh produksi lapangan Minas dan Duri di Riau pada era 1950-an. Kota Pendopo saat itu menjadi basis operasi perminyakan perusahaan NKPM yang bertransformasi menjadi STANVAC atau PT. Stanvac Indonesia (PTSI) setelah kemerdekaan RI.

Kegiatan eksplorasi semakin berkembang oleh NKPM dan BPM kendati keduanya tetap menjadi 'rival'. Berkat aktivitas eksplorasi yang intensif, sejumlah lapangan minyak akhirnya ditemukan di sekitar kota Prabumulih dalam waktu yang berdekatan diantaranya Gunung Kemala dan Talang Jimar tahun 1937, disusul lapangan Ogan, Tanjung Tiga dan Lembak di tahun-tahun berikutnya serta terakhir Prabumulih Barat tahun 1953. 

Lokasi lapangan tersebut berada hampir tepat di bawah pemukiman padat kota Prabumulih yang sekarang berpopulasi 200 ribu jiwa ini. Puluhan penemuan struktur migas lainnya terjadi namun lokasinya berada cukup jauh dari kota Prabumulih, diantaranya lapangan Kuang Selatan, Benakat Timur, Beringin, Musi, Sopa and Tapus, semuanya ditemukan di era Pertamina. 

Mengingat nilai strategis Prabumulih bagi  pundi-pundi ekonomi dan taktik militer pemerintahan kolonial, Belanda kemudian membangun sebuah lapangan terbang alternatif selain Talang Betutu (SMB II - Palembang P1) yang dinamakan Karangendah (Palembang P2) tahun 1941. Lapangan terbang di Gelumbang dekat kota Prabumulih ini berperan penting menjadi tempat evakuasi militer dan sipil pihak sekutu saat terjadi invasi pasukan Jepang ke Palembang tahun 1942. Semasa pendudukan jepang yang singkat antara 1942-1945 sendiri tidak banyak catatan mengenai kegiatan operasional perminyakan di Prabumulih . Namun yang jelas pemerintahan Jepang berupaya mencegah terjadinya hiatus  produksi minyak dari daerah-daerah penghasil yang penting seperti halnya Sumatra Selatan, karena tujuan utama invasi mereka ke nusantara sebenarnya adalah menguasai sumber minyak, karet dan bahan tambang itu sendiri. 

Di era awal kemerdekaan, setelah sebelumnya sempat dikuasai oleh pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam laskar PERMIRI, akhirnya Prabumulih-Pendopo dan ladang-ladang minyak BPM-STANVAC dapat direbut kembali oleh Belanda lewat agresi militer pertama “operation product” tahun 1947. Perebutan ladang minyak itu tentu tidak mudah karena pihak pejuang kemerdekaan RI berupaya keras mempertahankan kota dan aset strategis milik bangsa di awal kelahirannya tersebut dengan berbagai taktik termasuk menggunakan 'senjata minyak' yang dibakar di sekitar ladang Talang Jimar untuk menghambat laju aksi militer Belanda stoottroepen yang datang dari arah Palembang.

Setelah dikuasai kembali oleh pihak Belanda, hingga tahun 1950-an Kota Prabumulih masih menjadi basis operasional perusahaan BPM atau afiliasi perusahaannya, hingga akhirnya ladang-ladang minyak dan asset-asset lainnya dinasionalisasi (baca: dibeli pemerintah RI) tahun 1957/1958 dan menjadi bagian asset Pertamina.

TOPONIMI KOTA PRABUMULIH

Sejumlah referensi menyebutkan bahwa asal usul nama Prabumulih berasal dari istilah “Mehabung Uleh” yg berarti tanah meninggi. Tanah ini ditemukan saat para leluhur lokal berabad-abad lalu melakukan pencarian lokasi bermukim di dataran yang lebih tinggi di sekitar pedataran sungai. 

Prabumulih secara geomorfologi memang berada pada pedataran rendah bergelombang dengan ketinggian lereng berkisar antara 10-50 m dan dilewati oleh beberapa sungai- dimana yang terbesar adalah Sungai Lematang yang mengalir menuju induknya yaitu Sungai Musi.

Sepanjang perjalanannya Prabumulih sebenarnya mengalami proses pergantian nama berulang kali. Awalnya disebut ”MEHABUNG ULEH” dan berganti “Pehabung Ule”. Lalu pada jaman Belanda berganti lagi menjadi “Peraboeng Ngoele” dan terakhir pada masa Jepang berkuasa menjadi “Peraboe Moelih”. Setelah dilakukan penyesuaian ejaan maka namanya menjadi “Prabu Mulih” yang dipakai hingga sekarang.

Di masa awal kemerdekaan RI, Prabumulih masih berstatus kecamatan sebagai bagian dari Kawedanaan Ogan Lematang di Kabupaten Muara Enim. Kecamatan ini membawahi beberapa marga (suku) yang dipimpin oleh Pasirah (setara kepala marga sekaligus wakil pemerintahan). Seiring pertumbuhan pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk, Prabumulih meraih status menjadi kota administratif tahun 1982 dan selanjutnya sejak 2001 mengalami pemekaran sehingga berganti status lagi menjadi pemerintah kota yang terpisah dari Kabupaten Muara Enim.

Sebagian warga Prabumulih masih mengusahakan penghidupan di bidang pertanian, perkebunan dan komoditas agraris lain dengan produk unggulan adalah karet, sawit dan nanas. Buah nanas asal Prabumulih ini konon populer di tahun 1980-an, sehingga sejak saat itu mendapat julukan pula sebagai kota nanas di Sumatera Selatan.

Dari sisi akses transportasi antar kota, posisi Prabumulih yang berada di jantung propinsi Sumatra Selatan menjadi lintasan Trans-Sumatra lintas tengah dari arah ibukota Palembang menuju Bengkulu dan Jambi serta menuju kota-kota lain di sekitarnya seperti Muara Enim, Lahat dan Lubuk Linggau. Begitu pula dengan rute sebaliknya menuju ke kota Baturaja, Kotabumi dan Lampung hingga Pelabuhan Bakauheni.

Gedung baru Kantor Pusat Pertamina EP Asset 2 (sumber: penulis)
Gedung baru Kantor Pusat Pertamina EP Asset 2 (sumber: penulis)

WARISAN HISTORIS INDUSTRI MIGAS NASIONAL

Salah satu spot ‘landmark’ di kota Prabumulih yang bernilai historis adalah area pusat penampungan minyak (PPP) dan kantor pusat Pertamina Prabumulih  di Jalan Sudirman yang dulu sering disebut gedung Bengkok. 

Menurut cerita penduduk sekitar, di jaman Belanda gedung bengkok yang sekarang di depannya terdapat monumen jack pump (pompa angguk) itu dikenal sebagai tempat orang-orang ‘pintar’ bekerja –  mungkin saja karena di masa itu banyak ahli geologi perminyakan (terutama ahli paleontologi dan stratigrafi) yang pernah bekerja di Prabumulih dan Plaju, sebut saja nama Dr. H. Kupper, Dr. Van Thiel, Dr. O. Renjz, Dr. August Tobbler dan Dr. J.Verdam.

Dimasa lalu memang Prabumulih merupakan basis kegiatan operasi lapangan sekaligus menjadi tempat penampungan minyak sementara bagi perusahaan BPM sebelum dikirim ke Plaju untuk diolah, sehingga di Prabumulih berkumpul ahli-ahli perminyakan yang datang dari berbagai negara - mayoritas dari negeri Belanda sendiri. Sementara kantor induk administrasi sekaligus fasilitas pengolahan minyak dari ladang milik perusahaan berlokasi di kota Plaju. Di tempat yang berdekatan, fasilitas produksi Sungai Gerong yang dibangun tahun 1926 menjadi markas dan tempat pengolahan (kilang) minyak dari ladang-ladang milik perusahaan konsorsium NKPM.

Spot historis lainnya adalah eks kompleks perumahan pegawai BPM atau sekarang menjadi perumahan pegawai Pertamina EP yang lebih populer disebut KOMPERTA. Komplek ini memiliki ciri khas rumah-rumah model klasik berlanggam art deco yang sebagian besar dibangun di era keemasan perusahaan kolonial tersebut (1940-1950 an), namun ada juga klaster bangunan baru di beberapa bagian komplek ini.

Dari beberapa cerita pegawai Pertamina yang lama bekerja di Prabumulih, Komperta seluas 125 ha ini menjadi favorit turis-turis asing khususnya warga Belanda yang ingin bernostalgia mengenang saat mereka atau leluhurnya bekerja dan tinggal disini. Salah satu tempat kunjungan mereka adalah sebuah sekolah dasar dekat lapangan golf di bagian sayap barat komperta.

Stasiun kereta api Prabumulih menjadi spot menarik lainnya. Dibangun oleh perusahaan swasta Belanda “Zuid Sumatra Spoorwagen” tahun 1915, awalnya menjadi sarana pengangkutan hasil bumi dengan rute Kertapati-Prabumulih sepanjang 78 km dan rute Prabumulih-Muara Enim (73 km). Diantara jejak masa silam yang masih tersisa terdapat cerek dan tangki bundar pengisian air untuk loko uap yg dapat ditemui di sekitar lingkungan kantor stasiun. Kereta api penumpang rute Prabumulih – Kertapati menjadi opsi alternatif moda transportasi karyawan migas atau keluarganya untuk bepergian ke kota Palembang terutama saat libur akhir pekan.

Selain spot historis terdapat pula spot modern yaitu museum Migas bertema tiga-dimensi (3D) yang konon satu-satunya di Indonesia dan baru diresmikan tahun 2018 lalu. Di museum ini dipamerkan berbagai peralatan asli untuk kegiatan operasi pencarian migas yang dipadukan dengan lukisan realisme sehingga mengilustrasikan situasi aslinya.

Kota Prabumulih dan Pendopo di Sumatra Selatan masa kini mungkin dapat disandingkan dengan kota Cepu di Jawa Tengah; Sanga-sanga, Balikpapan dan Tarakan di Kalimantan Timur; Duri dan Lirik di Riau; Sorong di Papua Barat ataupun kota-kota rintisan minyak historis lain di nusantara yang masih aktif ‘berkarya’.

Saat ini Prabumulih merupakan salah satu lumbung migas nasional sebagai basis operasi dan andalan produksi (terutama gas) dari Pertamina EP Asset 2 (sekarang bernama PHR). Selain menjadi produsen migas untuk kepentingan komersial, Pertamina  turut berupaya memenuhi sendiri kebutuhan energi fosil bagi masyarakat terutama di sekitar lingkungan operasi perusahaan. Maka Prabumulih pun bersama kota-kota lain di Indonesia termasuk menjadi prioritas penggunaan Jargas (jaringan gas) yaitu gas pipa yang dialirkan dari produksi lapangan gas terdekat bagi sekitar 42.000 sambungan rumah tangga, menjadikan Prabumulih sebagai kota pengguna jargas terbesar Indonesia.

Semoga daerah Prabumulih dapat terus “berkarya” mengalirkan migasnya bagi ketahanan energi dalam negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun