Di era awal kemerdekaan, setelah sebelumnya sempat dikuasai oleh pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam laskar PERMIRI, akhirnya Prabumulih-Pendopo dan ladang-ladang minyak BPM-STANVAC dapat direbut kembali oleh Belanda lewat agresi militer pertama “operation product” tahun 1947. Perebutan ladang minyak itu tentu tidak mudah karena pihak pejuang kemerdekaan RI berupaya keras mempertahankan kota dan aset strategis milik bangsa di awal kelahirannya tersebut dengan berbagai taktik termasuk menggunakan 'senjata minyak' yang dibakar di sekitar ladang Talang Jimar untuk menghambat laju aksi militer Belanda stoottroepen yang datang dari arah Palembang.
Setelah dikuasai kembali oleh pihak Belanda, hingga tahun 1950-an Kota Prabumulih masih menjadi basis operasional perusahaan BPM atau afiliasi perusahaannya, hingga akhirnya ladang-ladang minyak dan asset-asset lainnya dinasionalisasi (baca: dibeli pemerintah RI) tahun 1957/1958 dan menjadi bagian asset Pertamina.
TOPONIMI KOTA PRABUMULIH
Sejumlah referensi menyebutkan bahwa asal usul nama Prabumulih berasal dari istilah “Mehabung Uleh” yg berarti tanah meninggi. Tanah ini ditemukan saat para leluhur lokal berabad-abad lalu melakukan pencarian lokasi bermukim di dataran yang lebih tinggi di sekitar pedataran sungai.
Prabumulih secara geomorfologi memang berada pada pedataran rendah bergelombang dengan ketinggian lereng berkisar antara 10-50 m dan dilewati oleh beberapa sungai- dimana yang terbesar adalah Sungai Lematang yang mengalir menuju induknya yaitu Sungai Musi.
Sepanjang perjalanannya Prabumulih sebenarnya mengalami proses pergantian nama berulang kali. Awalnya disebut ”MEHABUNG ULEH” dan berganti “Pehabung Ule”. Lalu pada jaman Belanda berganti lagi menjadi “Peraboeng Ngoele” dan terakhir pada masa Jepang berkuasa menjadi “Peraboe Moelih”. Setelah dilakukan penyesuaian ejaan maka namanya menjadi “Prabu Mulih” yang dipakai hingga sekarang.
Di masa awal kemerdekaan RI, Prabumulih masih berstatus kecamatan sebagai bagian dari Kawedanaan Ogan Lematang di Kabupaten Muara Enim. Kecamatan ini membawahi beberapa marga (suku) yang dipimpin oleh Pasirah (setara kepala marga sekaligus wakil pemerintahan). Seiring pertumbuhan pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk, Prabumulih meraih status menjadi kota administratif tahun 1982 dan selanjutnya sejak 2001 mengalami pemekaran sehingga berganti status lagi menjadi pemerintah kota yang terpisah dari Kabupaten Muara Enim.
Sebagian warga Prabumulih masih mengusahakan penghidupan di bidang pertanian, perkebunan dan komoditas agraris lain dengan produk unggulan adalah karet, sawit dan nanas. Buah nanas asal Prabumulih ini konon populer di tahun 1980-an, sehingga sejak saat itu mendapat julukan pula sebagai kota nanas di Sumatera Selatan.
Dari sisi akses transportasi antar kota, posisi Prabumulih yang berada di jantung propinsi Sumatra Selatan menjadi lintasan Trans-Sumatra lintas tengah dari arah ibukota Palembang menuju Bengkulu dan Jambi serta menuju kota-kota lain di sekitarnya seperti Muara Enim, Lahat dan Lubuk Linggau. Begitu pula dengan rute sebaliknya menuju ke kota Baturaja, Kotabumi dan Lampung hingga Pelabuhan Bakauheni.
WARISAN HISTORIS INDUSTRI MIGAS NASIONAL