Merdeka belajar, merdeka buku, merdeka bercerita adalah pembelajaran favorit anak-anak digital (Sumber ig @kemdikbud.ri: https://www.instagram.com/p/CpL9OOkyR3-/?hl=en)
Tanya: “Masih pentingkah buku-buku bacaan ditulis, dicetak, dan dikonsumsi anak-anak digital? Masih lariskah buku-buku tersebut di sekolahan dan di pasaran? Masih adakah pembaca buku-cetak sebenarnya di tengah gempuran peranti serbamesin aplikasi ini?”
Jawab: “Maaaa. Maaaaa… Masih, kan?”
Pertanyaan ini akan viral jika tidak ada pernyataan valid dari Nadiem Makarim. “Budaya membaca tumbuh dari kemerdekaan anak-anak untuk membaca buku yang menyenangkan dan sesuai minatnya,” tegasnya. Ukuran terkini sungguh pas ketika gerakan Merdeka Belajar, khususnya episode 23, ditaja sebagai program favorit.
Rilis episode ini memfokuskan distribusi buku bacaan bermutu untuk literasi Indonesia. Rilis ini menjadi bukti Semarak Merdeka Belajar makin bernyali dan bernyawa. Sekaligus menepis kritikan sinis tentang darurat stok buku bacaan bermutu secara nasional.
Jika mencukil lembaran sejarah, penyair legendaris, Taufiq Ismail, sukses memuisikan rendahnya budaya baca. Anak-anak bangsa malas baca, miskin referensi, dan rabun buku. Darurat literasi selalu menjadi topik nyinyir dari hulu hingga hilir dinas kependidikan.
Episode 23 menjawabnya. Episode ini disponsori langsung Kemdikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, terutama untuk optimalisasi penilaian buku nonteks pelajaran satuan awal PAUD dan SD. Bukti konkretnya, Kemdikbudristek membuka setidaknya 2 jalur pengadaan buku bacaan bermutu melalui prosedur penilaian secara nasional.
Jalur pertama, Kemdikbudristek menjaring langsung buku-buku penilaian dari para individu penulis. Jalur kedua, jejaring penerbit buku nasional antusias mendaftarkan diri buku-buku bacaan ke Pusat Perbukuan. Kebetulan saya selaku buruh penerbitan yang harus titen terhadap sikon seperti ini.
Para penulis dan editor profesional menyangga mutu penulisan buku dengan legalitas sertifikasi nasional (Dokumen pribadi: saya duduk di baris depan yang nomor 3 dari kanan)
Akhir Maret 2023 agenda tahunan BSKAP dan Pusat Perbukuan mengumumkan penilaian ratusan judul buku nonteks pelajaran untuk mendukung proses pembelajaran. Hasil penilaian buku ini bisa dimaksimalkan untuk melengkapi perpustakaan dan proyek pojok baca secara nasional. Tentunya, buku via penjurian harus ber-ISBN dan ber-HET.
Anak bangsa wajib melek literasi. Anak bangsa diklaim homo digital. Anak bangsa harus melit baca. Anak bangsa hobi membaca. Membaca itu menyenangkan. Bawalah anak bangsa bermimpi bersama buku-buku bermutu.
Via Watna Legimakani, Kepala Sekolah SD Negeri Iyameli, Alor, Nusa Tenggara Timur, yang berdialog dengan Menteri Nadiem, menuturkan bahwa sekolahnya menerima lebih dari 1.600 eksemplar buku dengan 540 judul buku. Saat menerima buku, guru dan siswa di sekolahnya sangat antusias.
“Jadi, saya berpikir, anak ini belum bisa membaca, tapi sudah bisa paham hanya dengan melihat gambar dan sudah bisa berbagi pengetahuan dengan teman-temannya. Manfaat buku ini luar biasa sangat baik, hingga sekarang mereka senang pinjam buku untuk dibawa pulang ke rumah,” ujar Via (https://www.instagram.com/p/CpL9OOkyR3-/?hl=en).
Distribusi buku ke titik-titik kota sebagai antisipasi darurat stok buku bacaan dan rendahnya literasi dasar (Sumber ig @kemdikbud.ri: https://www.instagram.com/p/CpL9OOkyR3-/?hl=en)
Sungguh, manfaat Merdeka Belajar episode 23 ini memanjakan dunia mimpi si anak dengan aneka ragam buku bacaan. Episode 23 ini jitu menjadi program favorit, teristimewa sinergi antara buku, penerbit, murid, guru, sekolah, dan pemerintah yang menyangganya.
Ada 3 pendukung sukses, yaitu pemilihan dan perjenjangan buku sesuai minat dan kemampuan baca anak (sebagai antisipasi minimnya buku di perpustakaan sekolah dan di rak-rak pojok baca setiap kelas); cetak dan distribusi jutaan eksemplar buku untuk daerah 3T; pelatihan dan pendampingan kepada kepala sekolah, guru, pustakawan agar cakap mengelola buku demi minat melek-baca buku si anak.
Setiap generasi zaman pasti melek literasi. Buku bacaan bermutu dan guru begitu bersemuka. Buku dan guru bukanlah pusat pembelajaran. Buku dan guru adalah target orientasi bahwa belajar pasti perlu proses.
Rilis guru merdeka ala Ki Hajar Dewantara hingga model guru penggerak ala Mas Menteri hari ini adalah gimik pikir dinamis. Tak perlu kaget menyikapi laju zaman yang makin kompleks mondial. Justru hayatilah dengan cara pikir positif. Gimik simpelnya adalah visioner. Pun demikian dengan rilis Guru Penggerak yang dibundel program Merdeka Belajar episode 5 tahun lalu.
Eksistensi guru penggerak adalah tren kontekstual yang idealnya kontinu ditagih antartahun. Jangan digiring kembali ke opini “guru nekrofil” (gandrung terhadap benda mati). Berhala! Alih-alih, bukankah tutur lisan “gelar tanpa tanda jasa” sudah dikubur dengan “insan cendekia”?
Nah, hayatilah kini dengan “guru biofil”! Hati-hati manakala roh guru penggerak ke depan disandingkan cuitan Prof. Djoko Saryono (UN Malang) yang mengotakkan 5 figur jenama guru. Gimikkah? Berhalakah? Hasilnya, Prof. Djoko menawarkan figur guru idealis, guru realis, guru pragmatis, guru fatalis, dan guru transaksional.
Terkini, sudah ratusan ribu figur guru penggerak yang dijenamakan Mas Menteri Nadiem. Ada 3 peran penggerak yang mencolok: mendorong tumbuh kembang siswa secara holistik (Profil Pelajar Pancasila); menjadi pelatih (coach)/mentor bagi guru lain untuk pembelajaran yang berorientasi pada siswa; serta menjadi teladan dan agen transformasi bagi ekosistem pendidikan.
Guru penggerak senantiasa dikavling hingga 2024 yang berjumlah kisaran 405.900. Asa guru penggerak menciptakan pemimpin pembelajaran yang dapat mewujudkan Merdeka Belajar demi menjadi Pelajar Pancasila unggul. Semua lini kehidupan guru bergerak! Bergerak!
Ada kalanya saya harus berbagi ilmu tentang buku (bacaan) favorit kepada para guru ASN di Indramayu, Jawa Barat (Dokumen pribadi)
Zaman berubah. Kurikulum berubah. Kompetensi berubah. Pembelajaran berubah. Buku ajar berubah. Peranti (sarana dan prasarana) belajar berubah. Pola dan cara ajar berubah. Semuanya adaptif.
Apakah mindset para guru juga berubah?
Saat inilah momentum guru adaptif ditagih. Visionernya, guru bergerak untuk senantiasa belajar dan selalu belajar berubah. Platform digitalisasi terkuak.
Bilamana gerak-gerik pembelajaran selalu gaduh lagi? Gegas alasan adaptif, dinamis, dan digitalisasi adalah biang kerok yang dijadikan argumen nyinyir atau “mager” para pelaku pendidikan.
Membaca ngiang Mas St Kartono tentang guru merdeka (KR, 9/1) adalah satire yang men-trending-kan jenama profesi. Lantip, lungit, dan sumeh menjadi tipikalnya. Bagi sesama guru yang tidak kebak kawruh tentang dedikasi dan integritas, tentu buru-buru melontar cap jemawa. Angkuh. Jatuhlah moto klasik “digugu lan ditiru” untuk sandangan guru pada era digital ini.
Tak dimungkiri bahwa pembelajaran era digital menelikung sekaligus guru dan siswa. Tidak sedikit guru “mati” yang mengarus dan menghanyutkan diri. Tunaslah pribadi-pribadi semu yang senantiasa menuntut syarat. Sentillah sedikit: semu guru, semu pengajar, semu pendidik. Bahkan, semu mengajar dengan unjuk salindia, aplikasi, atau media gawai.
Nah, gagah dan jemawalah. Akan tetapi, ada mentalitas yang lesap. Di antaranya kegagahan buku-buku teks ajar tidak bisa lagi diandalkan. Cepat-cepatlah kurikulum makin dimerdekakan. Guru ribut ilmu antargenerasi. Institusi menggembosi profesi (apa pun) dengan dalih seragam sertifikasi.
Itulah deret satirenya. Guru tak merdeka. Semu. Digitalisasi membunuh nyali guru. Artinya, siapa pun guru yang tidak peka tersangkut digital, ia tergilas informasi. Hebatnya, informasi terkini adalah humus bagi siswa. Gilanya, tidak sedikit siswa terkini sudah tergila-gila gawai, gandrung medsos, dan mabuk informasi. Jadi, ilmu, pengetahuan, dan wawasan tergres sudah diperangkap alat canggih yang setiap saat bisa diunduh dengan kelincahan jemari.
Karenanya, jadilah guru pembelajar, bukan semata guru pengajar. Bukan zamannya lagi mengelap-lap keemasan Oemar Bakri. Di sinilah misi Merdeka Belajar episode 23 tentang buku bermutu dan episode 5 tentang guru penggerak selalu ditagih kiprahnya.
Camkan lima pesan Mas Menteri kepada guru. Guru dan peserta didik sama-sama pembelajar, sama-sama pendidik. Guru pun harus siap menjadi teladan peserta didik yang baik manakala si peserta didik berperan menjadi “guru cilik”.
Tak butuh ilmu pinunjul bagi guru, tetapi butuh dedikasi dan pelayanan ultima. Sadarilah karitasi sebab guru sebagai pengajar terbaik kini telah digeser penuh oleh digitalisasi “mbah gugel”. Dialah guru paling hebat untuk pemenuhan kognitif. Dia menjadi guru mesin pencari tercepat, terbanyak, terlengkap, terbaru.
Satu sisi mentalitas guru hilang, tergantikan oleh peranti. Solusinya, lompatlah guru. Rebutlah karakter sebab sisi ini tidak dipunyai peranti secanggih apa pun. Guru sebagai pengajar telah “mati” sampai di sini. Guru diakui sebagai jenama atau merek profesi tinggallah mengolah karakter. Karakter manusiawi selalu gagal disisipi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Guru yang berkarakter inilah dicari dan diidolai peserta didik.
Mas Menteri telah mengikrarkan bakat, hobi, dan portofolio menjadi tunggangan pendidikan. Literasi, numerasi, dan karakter menjadi garda meskipun masih abstrak. Hanya guru yang berkarakter pembelajar akan pinunjul. Guru mau bermain banjijamping metani bakat, hobi, dan protofolio peserta didik.
Artinya, jika mau mengeklaim diri seorang guru yang penuh dinamika dan jatmika, silakan keluar dari zona nyaman. Di sanalah Taman Merdeka Belajar dengan status guru merdeka akan tumbuh penuh apresiasi di ranah Merdeka Budaya. Bukan semata-mata gegara ribut hipokrisi karena merebut jatah sertifikasi.
Out of the box, inilah apresiasi guru untuk meraih milestone jauh ke depan. Apresiasilah untuk Mas Guru St Kartono dan J Sumardianta (Yogyakarta) adalah prototipe guru yang diburu Mas Menteri. Nick Saragih (Jakarta), Supadilah (Banten), Bambang Kariyawan dan Riki Utomi (Riau), Ary Yulistiana dan Wagimin (Solo), Budi Wahyono (Semarang), Resmiyati (Klaten), dan Sidik Nugroho (Pontianak) adalah contoh guru petarung yang laik diunggulkan, guru berjenama, guru bersahabat media.
Guru melek-buku, melek-literasi. Idola guru trendi. Inspiratif: “guru visioner menuju insan cendekia berkat buku bacaan bermutu”. Roh Merdeka Belajar dari jiwa Ki Hajar makin bergerak menjadi program transformatif favorit. Salam guru merdeka yang jelas dan pasti akan disangga buku-buku bacaan favorit dari para penerbit bonafit! ***
*) Anton Suparyanta, esais dan staf manajerial buku di penerbit PT Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah
#SemarakkanMerdekaBelajar
#Hardiknas2023
Rujukan:
https://www.instagram.com/p/CpL9OOkyR3-/?hl=en
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/merdeka-belajar
https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/wp-content/uploads/2017/10/flyer_literasi-baca-tulis.pdf
Koran Sindo, “Banji Jamping Guru Visioner”, Jumat, 19 November 2021
Koran Sindo, “Fokus Mutu Literasi untuk Guru Visioner”, Jumat, 14 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H