Nah, hayatilah kini dengan “guru biofil”! Hati-hati manakala roh guru penggerak ke depan disandingkan cuitan Prof. Djoko Saryono (UN Malang) yang mengotakkan 5 figur jenama guru. Gimikkah? Berhalakah? Hasilnya, Prof. Djoko menawarkan figur guru idealis, guru realis, guru pragmatis, guru fatalis, dan guru transaksional.
Terkini, sudah ratusan ribu figur guru penggerak yang dijenamakan Mas Menteri Nadiem. Ada 3 peran penggerak yang mencolok: mendorong tumbuh kembang siswa secara holistik (Profil Pelajar Pancasila); menjadi pelatih (coach)/mentor bagi guru lain untuk pembelajaran yang berorientasi pada siswa; serta menjadi teladan dan agen transformasi bagi ekosistem pendidikan.
Guru penggerak senantiasa dikavling hingga 2024 yang berjumlah kisaran 405.900. Asa guru penggerak menciptakan pemimpin pembelajaran yang dapat mewujudkan Merdeka Belajar demi menjadi Pelajar Pancasila unggul. Semua lini kehidupan guru bergerak! Bergerak!
Ada kalanya saya harus berbagi ilmu tentang buku (bacaan) favorit kepada para guru ASN di Indramayu, Jawa Barat (Dokumen pribadi)
Zaman berubah. Kurikulum berubah. Kompetensi berubah. Pembelajaran berubah. Buku ajar berubah. Peranti (sarana dan prasarana) belajar berubah. Pola dan cara ajar berubah. Semuanya adaptif.
Apakah mindset para guru juga berubah?
Saat inilah momentum guru adaptif ditagih. Visionernya, guru bergerak untuk senantiasa belajar dan selalu belajar berubah. Platform digitalisasi terkuak.
Bilamana gerak-gerik pembelajaran selalu gaduh lagi? Gegas alasan adaptif, dinamis, dan digitalisasi adalah biang kerok yang dijadikan argumen nyinyir atau “mager” para pelaku pendidikan.
Membaca ngiang Mas St Kartono tentang guru merdeka (KR, 9/1) adalah satire yang men-trending-kan jenama profesi. Lantip, lungit, dan sumeh menjadi tipikalnya. Bagi sesama guru yang tidak kebak kawruh tentang dedikasi dan integritas, tentu buru-buru melontar cap jemawa. Angkuh. Jatuhlah moto klasik “digugu lan ditiru” untuk sandangan guru pada era digital ini.
Tak dimungkiri bahwa pembelajaran era digital menelikung sekaligus guru dan siswa. Tidak sedikit guru “mati” yang mengarus dan menghanyutkan diri. Tunaslah pribadi-pribadi semu yang senantiasa menuntut syarat. Sentillah sedikit: semu guru, semu pengajar, semu pendidik. Bahkan, semu mengajar dengan unjuk salindia, aplikasi, atau media gawai.
Nah, gagah dan jemawalah. Akan tetapi, ada mentalitas yang lesap. Di antaranya kegagahan buku-buku teks ajar tidak bisa lagi diandalkan. Cepat-cepatlah kurikulum makin dimerdekakan. Guru ribut ilmu antargenerasi. Institusi menggembosi profesi (apa pun) dengan dalih seragam sertifikasi.