Mohon tunggu...
Anton Sudibyo
Anton Sudibyo Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis kampung

penyayang keindahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ganjar Pranowo, Penerus Kedekatan NU dan Soekarno

31 Januari 2021   22:49 Diperbarui: 31 Januari 2021   23:32 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TEPAT hari ini 31 Januari 2020 Nahdlatul Ulama berulang tahun ke 95. Menariknya, peringatan berdirinya organisasi massa Islam terbesar di Nusantara ini dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Bukan tanpa sebab. Kedekatan NU dan PDIP telah dimulai sejak berdirinya Republik ini. Soekarno sebagai ayah Ketua Umum PDIP Megawati telah bahu membahu dengan ulama-ulama NU seperti Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Wahid Hasyim.

Ada satu cerita sejarah yang tidak banyak diketahui. Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Bung Karno sowan ke Kiai Hasyim Asy’ari. Lalu beliau memberikan masukan, sebaiknya proklamasi dilakukan pada hari Jumat pada Ramadhan. Jumat itu Sayyidul Ayyam (penghulunya hari), sedangkan Ramadhan itu Sayyidus Syuhrur (penghulunya bulan). Hari itu tepat 9 Ramadhan 1364 H, bertepatan dengan 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Bahkan NU memberi gelar istimewa pada Soekarno sebagai Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah. Yang artinya pemimpin pemerintahan di masa darurat. Gelar itu membuat kebijakan-kebijakan Bung Karno, sebagai pemimpin pemerintahan di masa darurat, mengikat secara sah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Gelar tersebut disahkan dalam Muktamar NU Tahun 1954 di Surabaya.

Tidak hanya di masa lalu. Kedekatan warga Nahdliyin dan kaum nasionalis terus terpelihara hingga 75 tahun Indonesia merdeka. Persaudaraan dan sikap saling mendukung ini terus berkelindan. Hingga menjadikan keduanya karakter pemersatu bangsa melawan segala macam ideologi yang mencoba merongrong Pancasila dan keutuhan NKRI.

Megawati sendiri dalam peringatan harlah NU secara virtual itu juga berpesan agar seluruh kader PDIP meneruskan apa yang sudah dibangun oleh Soekarno dan tokoh besar NU di masa lalu.

"Kedekatan Bung Karno dengan kiai dan warga Nahdliyin akan saya teruskan dalam tindakan dan telah saya amanahkan kepada seluruh kaum nasionalis, juga para kader dan simpatisan PDI-P," kata Megawati.


Artinya, Megawati ingin para kadernya, di semua level agar terus membangun kedekatan dengan warga Nahdliyin. Tidak hanya sekadar bersilaturahmi dalam event resmi, tapi juga berkomunikasi secara intens untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.

Namun persoalannya, sebaris kalimat dari Megawati yang sepertinya mudah ini sangat sulit diwujudkan oleh para pemimpin di negeri ini. Contoh saja, tidak banyak kepala daerah (baik dari PDIP maupun partai lain) yang mampu menjalin komunikasi yang baik dengan para kyai. Jangankan sowan untuk silaturahmi atau ngaji ke pondok, diundang haul atau acara resmi saja banyak yang hanya mewakilkan. Mereka hanya datang ketika menjelang pemilihan kepala daerah saja. Alias, muncul ketika ada pamrihnya.


Nah, salah satu pemimpin yang bisa mengejawantahkan perintah Megawati sekaligus meneruskan titah Soekarno adalah Ganjar Pranowo. Satu hal yang tidak bisa disangkal adalah bagaimana Gubernur Jateng ini menggelar Jateng Bershalawat hampir setiap bulan. Ia mengundang kyai dan habib seperti Habib Syech, Habib Lutfi bin Yahya, Gus Muwafiq, Gus Miftah, atau KH Munif Zuhri untuk bergantian mengisi pengajian. Puluhan ribu jamaah memadati acara yang dilaksanakan berpindah-pindah tempat keliling Jawa Tengah.

Ganjar dan KH Maemon Zubair (alm) di Ponpes Sarang Rembang. Foto: FB Kabar Dulur Ganjar 
Ganjar dan KH Maemon Zubair (alm) di Ponpes Sarang Rembang. Foto: FB Kabar Dulur Ganjar 
Ganjar juga dikenal dekat dengan dengan Almarhum KH Maemun Zubair, Sarang, Rembang. Bahkan gubernur berambut putih ini menggandeng putera Kyai Maemun, Taj Yasin, sebagai wakilnya di periode kedua memimpin Jawa Tengah.

Contoh lain, Habib Lutfi dan Ganjar bahkan pernah memimpin apel kebhinekaan dengan ribuan santri pada 30 November 2016 di Lapangan Pancasila Simpanglima Semarang. Apel itu diulangi lagi 2019 di Semarang dan September 2020 di masa pandemi ini dengan pelaksanaan secara terbatas di Solo.

Kedekatan keduanya menjadikan berbagai macam persoalan teratasi. Contoh termutakhir ketika Ganjar berhasil membujuk Habib Lutfi untuk membatalkan acara Maulud Nabi besar-besaran di masa pandemi. Acara Maulud Nabi itu akhirnya dilaksanakan secara terbatas, tidak sampai terjadi pengumpulan massa besar seperti di Petamburan Jakarta yang membuat Riziq Sihab dipenjara.

Kedekatan ulama umara yang sedemikian erat juga tercermin dari kejadian pembatalan pengajian Gus Miftah. Kyai muda gondrong ini ditelepon Ganjar di tengah-tengah acara pengajian. Hasilnya Gus Miftah setuju mempercepat pengajiannya di Pekalongan dan membatalkan pengajian di Pemalang. Gus MIftah manut saja, bahkan ketika orang-orang menggunjingkan seolah-olah ada masalah antarkeduanya, satu postingan Gus Muftah di Instagram meluluhlantakkan asumsi orang. Gus Miftah memasang foto dirinya bersama Ganjar disertai kepsen: “Cintaku pada Pak Ganjar seperti Corona, apa itu, tidak nampak tapi sangat serius”

Ganjar dan Gus Miftah dalam Seminar Kebangsaan Graha IAIN Surakarta. Foto: Humas Jateng 
Ganjar dan Gus Miftah dalam Seminar Kebangsaan Graha IAIN Surakarta. Foto: Humas Jateng 
Keduanya juga sering terlihat bersama, bahkan di satu acara pengajian di Pondok Ora Aji Jogja, Ganjar dan Gus Miftah gojlog-gojlogan layaknya sahabat lama.

Pun dengan KH Mustofa Bisri alias Gus Mus, Ganjar kerap sowan untuk meminta petunjuk serta wejangan. Kedekatan mereka dikarenakan Ganjar mengagumi sosok kyai sekaligus sastrawan-budayawan itu. Ganjar beberapa kali membacakan puisi Gus Mus dalam acara resmi.

Salah satunya puisi berjudul 'Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana'. Puisi ini pernah menuai polemik. Satu kelompok bernama Forum Umat Islam Bersatu menuding Ganjar menyudutkan Islam dengan puisi itu. Namun FUIB kecele. Mereka baru mengetahui puisi itu karya Gus Mus dan akhirnya meminta maaf.

KH Munif Zuhri Demak juga acap dikunjungi Ganjar. Bersama beberapa ulama lain, Ganjar dan Mbah Munif menggagas jihad medsos ketika berkumpul di Ponpes Girikusumo Mranggen, Kabupaten Demak, Rabu (16/12/2020). Jihad medsos ini adalah satu upaya baru untuk melawan gerakan dan paham radikalisme yang marak bersebaran di dunia maya.

Ganjar dan Gus Mus. Foto: Berita Ganjar Pranowo
Ganjar dan Gus Mus. Foto: Berita Ganjar Pranowo
Kedekatan Ganjar dan ulama NU tidak ujuk-ujuk atau baru sekarang saja. Media sudah ada yang membahas sejak 2017 lalu.

Tapi jauh sebelum itu, bahkan sebelum menjadi gubernur, Ganjar memang sudah dekat dengan NU. Bagi yang belum tahu, istri Ganjar, Siti Atikoh Supriyanti adalah putri dari H.Supriyadi, tokoh NU Purbalingga. Kakeknya adalah KH Hisyam A Karim pendiri Pondok Pesantren PP Riyadus Sholikhin Kalijaran, Karanganyar Purbalingga. KH. Hisyam adalah sosok ulama besar sekaligus pejuang kemerdekaan yang memimpin para santri melawan penjajah Belanda. Soal KH Hisyam bisa dibaca di tulisan Kompasiana ini. 


Kedekatan ulama dan umara inilah yang diinginkan Megawati untuk meneruskan semangat kedekatan Soekarno dan NU. Karena hanya dengan bersatunya nasionalis dan relijius inilah, Indonesia mampu menatap dan menyelesaikan setiap tantangan yang dihadapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun