Globalisasi merupakan fenomena dari kemjuan teknologi informasi yang berkembang sangat pesat. Interaksi antar manusia lewat dunia maya bisa dilakukan dalam waktu sekejap melampaui batas-batas negara. Berkembangnya berbagai platform media sosial berdampak besar terhadap persebaran informasi. Seseorang bisa berbicara dan saling berdialog lintas usia, lintas profesi, lintas gender, lintas ormas, lintas negara, dan lain sebagainya secara langsung (live streaming).
Seseorang berkesempatan mengomentari apa saja di luar dari latar belakang kepakarannya. Selain itu berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (Artificial intelegent) sejak beberapa tahun yang lalu berpotensi melahirkan informasi yang manipulatif. Disatu sisi massifnya interaksi masyarakat dalam dunia maya memberikan banyak kemudahan arus informasi, namun disisi lain kondisi itu berpotensi melahirkan distorsi atau bias informasi. Jika di era sebelumnya (1945-1998) informasi diakses dan disebarkan secara monopolistik (misalnya; perusahaan media dan siaran resmi negara), kini seseorang bisa menjelajah kemana saja dalam dunia maya lalu membagikanya kepada warganet dalam satu waktu melalui akun medsos (media sosial).
Bermodalkan ponsel pintar (smartphone) dan kuota internet mereka bisa menerima dan menyebarkan informasi ke seluruh dunia. Ponsel pintar adalah sumber informasi utama dalam kehidupan di era baru ini. Semua kebutuhan manusia yang meliputi aktifitas politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan bisa diakses melalui teknologi mutahir ini. Selain itu warganet memiliki kesempatan yang begitu luas dan intens untuk saling berinteraksi memberikan dan menerima informasi tanpa dibatasi sekat-sekat sosial. Jika diera sebelumnya arus informasi didominasi secara oligarkis, kini setiap individu telah berubah menjadi agen atau media itu sendiri.
Penggunaan smartphone dan akses informasi yang terkandung di dalamnya menunjukkan bahwa konektivisme digital telah membawa perubahan mendalam pada peradaban dan kebudayaan manusia. Pada awal abad ke-17, Rene Descartes, yang didorong oleh rasa keraguan, menemukan bahwa eksistensi manusia bergantung pada kemampuan berpikir. Pemikiran Bapak Filsafat Modern ini diungkapkan dalam doktrin "cogito ergo sum," yang berarti "aku berpikir maka aku ada." Pada abad ke-21 ini, doktrin tersebut telah disitir dan dimodifikasi, sehingga koneksi digital kini menjadi penentu eksistensi manusia. "Aku terkoneksi maka aku ada" (Handojoseno, 2016).
Medsos bukan hanya sebagai alat untuk berinteraksi satu dengan yang lain, fungsinya ini semakin variatif yakni sebagai sumber pendapatan baru yang sangat menjanjikan. Akselerasi materi yang dihasilkan dari dunia digital (medsos) sangat besar meruntuhkan mindeset-mindset profesi lama yang telah mapan. Medsos juga memberikan dampak yang sangat besar bagi dunia pendidikan dalam hal ini pengajaran sejarah. Otoritas dalam menyebarkan informasi di era baru ini semakin terdegradasi. Era baru ini memungkinkan semua orang menciptakan panggungnya sendiri sebagai sarana eksistensi diri meskipun mengabaikan esensi.
Menguatnya minat masyarakat umum terhadap sejarah sangat menggembirakan sekaligus mengandung dilema. Sebagian ahli menilai bahwa kebutuhan akan identitas diri merupakan konsekuensi di era globalisasi yang penuh dengan kecanggihan teknologi. Persaingan secara global akan memacu individu atau sekelompok individu mengali identitasnya. Apalagi pencarian itu dipermudah dengan bantuan teknologi sehingga jawaban yang mereka butuhkan bisa terpenuhi. Globalisasi yang menuntut keseragaman universal yang seringkali tidak mampu melihat keunikan manusia yang beragam. Kondisi itu menuntut bahwa suatu persoalan dilihat dengan satu kacamata. Padahal masyarakat memiliki latar belakang dan sejarahnya yang unik.
Dengan demikian dengan menggali identitasnya maka persoalan dalam masyarakat bisa diselesaikan secara bijaksana. Di satu sisi "kegagalan" pendidikan formal dalam menjawab kebutuhan pengetahuan masyarakat mendorong mereka mencari altenatif lain yang dianggap lebih menarik dan mudah dijangkau. Pelajaran sejarah yang selama ini identik dengan "kekakuan dan membosankan" telah digantikan oleh media-media lain di luar kurikulum pendidikan yang lebih menarik. Selain itu munculnya komunitas-komunitas sejarah di setiap daerah semakin memperkaya variasi pengajaran sejarah. Komunitas-komunitas ini dengan kemasan yang menarik bahkan mengambil kesempatan ini sebagai sarana mempromosikan wilayahnya masing-masing (histopreneur).
Komunitas-komunitas ini secara swadaya melibatkan masyarakat untuk melestarikan sejarah dan kebudayaan lokal sebagai daya tarik wisata. Perkembangan tersebut tentu mengembirakan melihat masyarakat semakin sadar akan pentingnya melestarikan sejarah dan "menjualnya" untuk menarik minat wisata. Dimana akan berdampak pada perbaikan ekonomi masyarakat setempat. Suatu wilayah yang ramai dikunjungi masyarakat terpicu untuk mengembangkan ciri khasnya seperti produksi kerajinan tangan, kuliner tradisional (khas), pakaian khas, dan lain sebagainya.
Simbiosis mutualisme ini tentu semakin melestarikan budaya dan sejarah masyarakat setempat dari ancaman globalisasi. Selain sebagai daya tarik sejarah juga dianggap memiliki relevansi dalam menjawab persoalan publik. Meskipun mereka bukanlah sejarawan, mereka manjadikan sejarah sebagai pisau analisis dalam menyelesaikan persoalan masyarakat. Sifatnya yang terbuka memungkinkan narasi sejarah bisa ditulis oleh siapa saja dengan beragam latar belakang dan kepentingan. Banyak contoh "sejarawan" bukanlah orang yang terdidik untuk menjadi sejarawan. Mereka berasal dari beragam profesi seperti wartawan, guru, politisi, sastrawan dan lain sebagainya. Mereka menulis sejarah dengan bahasa sehari-hari, tidak menggunakan istilah teknis sehingga mudah dipahami masyarakat umum (Koentowijoyo, 2005: 21)
Berkembangnya sejarah publik menunjukan bahwa sejarah telah menjadi kebutuhan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan. Namun demikian beragamnya latar belakang tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Narasi itu bisa menjadi "pesanan" demi keuntungan sepihak dan merugikan pihak lainnya. Narasi sejarah bisa menjadi senjata untuk memanipulasi fakta yang sebenarnya. Dalam dunia pengajaran narasi sejarah yang "liar" bisa menimbulkan kontoversi bagi perserta didik. Apalagi jika narasi tersebut tidak melandaskan pada tujuan pendidikan serta kurikulum yang ditetapkan oleh negara itu sendiri. Narasi sejarah tersebut akan berpotensi bertolak belakang dengan kepentingan nasional.
Dilema Sejarah Publik Bagi Pengajaran Sejarah
Di satu sisi berkembangnya sejarah publik sebagai wujud "demokratisasi" historiografi sangat menggembirakan. Selain melibatkan masyarakat untuk merekonstruksi sejarah, "sejarawan publik" ini memberikan kemudahan akses informasi sejarah bagi masyarakat luas melalui berbagai media yang variatif seperti museum, situs web, film dokumenter, dan kegiatan komunitas. Selain itu sejarah publik juga menyajikan berbagai perspektif yang tidak ditemukan dalam buku teks resmi pemerintah. Misalnya, narasi dari kelompok minoritas yang mungkin diabaikan dalam sejarah mainstream menjadi lebih terlihat. Sudut pandang lokal memberikan pandangan yang lebih intim dan khusus tentang peristiwa sejarah, berbeda dengan narasi nasional yang lebih umum. Kisah individu, seperti pengalaman pribadi atau keluarga, memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu dengan menunjukkan bagaimana peristiwa besar mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Selain itu pendekatan sejarah publik yang lebih praktis dan langsung memungkinkan peristiwa sejarah dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Misalnya, pelajaran sejarah dapat dihubungkan dengan pengalaman lokal siswa, seperti mengunjungi situs bersejarah di kota mereka atau mempelajari sejarah keluarga mereka sendiri. Ini membuat pembelajaran lebih relevan dan menarik, karena siswa dapat melihat bagaimana sejarah mempengaruhi lingkungan dan kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini membantu siswa untuk lebih memahami dan menghargai pentingnya sejarah dalam konteks kehidupan mereka, membuat pembelajaran sejarah menjadi pengalaman yang lebih bermakna dan personal.
Sejarah publik juga mendorong pembelajaran aktif melalui berbagai kegiatan interaktif. Kunjungan ke situs bersejarah memungkinkan siswa untuk melihat dan merasakan tempat di mana peristiwa sejarah terjadi. Proyek penelitian lokal mendorong siswa untuk menggali sejarah komunitas mereka sendiri, mengembangkan keterampilan riset dan analisis. Partisipasi dalam acara sejarah seperti rekonstruksi sejarah atau peringatan peristiwa sejarah memberikan pengalaman langsung tentang bagaimana sejarah diperingati dan dihidupkan kembali. Kegiatan-kegiatan ini membuat pembelajaran sejarah lebih menarik dan hidup.
Problem Metode
Meskipun sejarah publik membantu meningkatkan kesadaran sejarah masyarakat, sejarah publik menghadapi persoalan yang cukup krusial. Beberapa problem yang potensial terjadi antara lain yakni proses rekonstruksi historiografi cenderung mengabaikan metode penelitian secara ketat. Hal ini akan menimbulkan kebingungan dan kerancuan dalam memahami peristiwa sejarah. Rekonstruksi sejarah yang dihasilkan dalam beragam media menimbulkan bias. Misalnya tahun 2014 terjadi pro kontra mengenai buku mengenai Candi Borobudur yang ditulis oleh KH Fahmi Basya. Lewat karyanya yang berjudul Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman yang diterbitkan oleh penerbit Zaytuna tahun 2014, beliau dan tim mengklaim bahwa Candi Borobudur didirikan oleh Jin yang membantu Nabi Sulaiman.
Mereka menyatakan memiliki bukti yang menghubungkan Candi Borobudur dengan Ratu Boko di Sleman, yang mereka klaim sebagai Ratu Balqis dari zaman Nabi Sulaiman. Mereka menggunakan metode Matematika Islam untuk mendukung klaim ini, serta mengaitkan kata-kata terkait Candi Borobudur dengan teori mereka. Sayangnya klaim ini tidak didukung oleh bukti arkeologis yang kuat. Meskipun terdapat interpretasi dari relief-relief di Borobudur yang menggambarkan kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, belum ada temuan konkret yang mendukung klaim bahwa Nabi Sulaiman secara langsung terlibat dalam pembangunan Candi Borobudur. Meskipun demikian, promosi teori ini telah cukup gencar melalui media sosial, meskipun masih menuai kontroversi dan penolakan dari kalangan lain yang menganggap klaim ini tidak didukung secara ilmiah yang memadai.
Secara historis, Nabi Sulaiman hidup sekitar 900 SM, sedangkan Candi Borobudur dibangun sekitar abad ke-9 hingga ke-10 Masehi. Perbedaan kronologis ini juga menjadi salah satu titik kontroversi dalam klaim ini, dengan banyak pihak yang menyangkalnya berdasarkan pada kajian ilmiah dan bukti sejarah yang ada (Republika, 2014) Kasus di atas adalah salah satu contoh bahwa terjadi problem metode dalam penulisan sejarah. KH Fahmi Basya tidak menggunakan dengan metode penelitian sejarah yang telah menjadi pakem dalam penelitian sejarah sehingga menimbulkan kecancuan dalam melahirkan hasil karyanya.
Masyarakat Indonesia yang cendrung suka dengan hal-hal yang sensasional tentu akan mudah percaya dan menerimanya sebagai "kebenaran sejarah". Kasus lainnya yaitu mengenai metode mediumisasi "arwah pelaku sejarah" ke dalam tubuh manusia guna untuk menguak mitos atau sejarah suatu tempat. Kelompok ini percaya bahwa mempelajari sejarah bisa dilakukan dengan bantuan roh halus yang diyakini bisa memberikan keterangan mengenai asal usul suatu tempat. Kelompok ini berupaya mengeksplor dengan melakukan wawancara kepada manusia (mediator) yang dirasuki jin. Ini adalah contoh bahwa semangat melestarikan sejarah jika tidak dilakukan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku akan menimbulkan kerancuan.
Konflik antar kelompok masyarakat
Meskipun rezim Orde Baru telah berakhir tahun 1998 silam, namun rezim tersebut masih mewarisi stigma-stigma intimidatif. Narasi tunggal versi Orde Baru mematikan dialektika dalam masyarakat. Narasi sejarah pada era ini seolah menjadi "kebenaran" yang tidak boleh dipertanyakan. Stigma komunis akan ditimpakan bagi mereka yang mencoba mempertanyakan atau menggugat kebenaran sejarahnya. Misalnya pada April 2013, diskusi yang diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Jakarta tentang peristiwa 1965 dibubarkan oleh polisi.
Diskusi ini menghadirkan para penyintas dan peneliti yang mencoba mengungkap lebih banyak fakta mengenai kejadian tersebut. Pembubaran dilakukan dengan alasan acara tersebut dianggap berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban. Pada tahun 2015, beberapa acara yang direncanakan dalam Ubud Writers & Readers Festival di Bali, termasuk diskusi mengenai peristiwa 1965, dibatalkan karena tekanan dari pihak berwenang. Panitia penyelenggara festival terpaksa membatalkan beberapa sesi diskusi yang akan membahas buku tentang tragedi 1965 karena ancaman pencabutan izin acara oleh polisi.
Pada Oktober 2018, seminar sejarah di Universitas Negeri Malang (UNM) yang mengangkat tema "Perubahan dan Kesinambungan Historis Dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran" dibatalkan. Pembatalan ini terjadi setelah para penggagas acara dituduh berafiliasi dengan kelompok komunis. Pembatalan ini disesalkan oleh banyak akademisi, termasuk Asvi Marwan Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menekankan bahwa kegiatan akademik harus bisa berlangsung tanpa intimidasi. Hal serupa juga seminar bertajuk "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66" yang di gelar oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun. Sayangnya seminar itu dibubarkan oleh pihak kepolisian dan didukung oleh masyarakat yang tidak mengerti persoalan 65. Kesalahpahaman yang bisa jadi sengaja dilakukan oleh kelompok tertentu yang mengatakan bahwa seminar itu ingin membangkitkan kembali ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme.
Panitia seminar menjelaskan bahwa seminar itu bertujuan untuk melihat pelanggaran hak mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang dialami banyak sekali orang pada 1965, dimana korban tidak semuanya terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia) (Tirto.id, 17 September 2017). Stigma PKI juga dialami oleh pegiat sejarah, Yunantyo Adi Setyawan ketika berusaha mengadvokasi bangunan bersejarah peninggalan bangunan Sarekat Islam di Semarang tahun 2022. Kendati sudah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya pada tahun 2014, namun stigma terkait PKI masih kuat ditimpakan kepada siapa saja yang membahasnya. Pernah suatu waktu, Yunantyo akan menggunakan Gedung Sarekat Islam Semarang guna menggelar pameran karya penyair Wiji Thukul, akan tetapi dia justru dituduh PKI. (Kompas, 7 Juli 2022).
Sejarah publik memungkinkan masyarakat terlibat dalam pembuatan narasi sejarahnya sendiri sehingga mereka akan memiliki rasa memiliki dalam membangun identitas yang relevan melekat pada komunitasnya tersebut. Memang sejarah publik dengan beragam variasi media yang digunakan telah menjadi alternatif dalam memahami sejarah secara menyenangkan. Selama ini, pembelajaran sejarah di sekolah kurang begitu diminati oleh peserta didik. Pelajaran sejarah dianggap sebagai pelajaran yang membosankan karena seolah-olah cenderung "hafalan". Bahkan kebanyakan siswa menganggap bahwa pelajaran sejarah tidak membawa manfaat karena kajiannya adalah masa lampau. Tidak memiliki sumbangan yang berarti bagi dinamika dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pelajaran sejarah hanya dianggap sebagai pelajaran pelengkap, apalagi mata pelajaran ini tidak di ujikan secara nasional. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang semakin menyempitkan gerak langkah pembelajaran sejarah, yakni dengan semakin kecilnya porsi jam pelajaran sejarah di sekolah. Tidak mengherankan jika prestasi belajar sejarah siswa juga cenderung kurang memuaskan. Jika dilihat dari sisi ini memang sejarah publik telah berhasil menarik minat masyarakat dalam memahami sejarah.
Sejarah publik dalam berbagai aktivitasnya jelas memiliki kontribusi dalam menanamkan kesadaran sejarah dan mengembangkan kemampuan berpikir sejarah bagi masyarakat. Meski itu hanya dalam kategori dan dalam bentuk sederhana sekalipun. Hal ini dapat dimaknai sebagai proses belajar sepanjang hayat di masyarakat dan tidak memiliki batasan waktu selesainya (long life education), karena sejarah publik berada di ruang masyarakat sepenuhnya. Dari perspektif pendidikan sejarah, di beberapa negara-negara maju, dimana sejarah publik telah berkembang dan menjadi bagian yang sama pentingnya dengan ilmu sejarah dan pendidikan sejarah, telah ada upaya kolaborasi sebagai bentuk perluasan sejarah kepada khalayak yang lebih luas. Seperti model pembelajaran berpikir sejarah layaknya seorang sejarawan (historical thinking like a historian) yang mengajak peserta didik memposisikan diri berpikir layaknya seorang sejarawan agar dapat lebih memahami sejarah (Christen & Mighetto, 2004); (Wineburg, Martin, & MonteSano, 2012). Ada juga yang melakukan kontekstualisasi sejarah dengan pendekatan sejarah publik, agar sejarah menjadi lebih dekat dengan peserta didik (Kyvig, 1991) (Kian Amboro, 2020: 37-38).
Meskipun begitu bias kepentingan dalam penciptaan narasi sejarah ini menimbulkan potensi kerancuan jika berhadapan dengan aturan-aturan kurikulum pendidikan nasional. Sebagaimana yang disampaikan oleh Djoko Suryo terkait dengan indikator pembelajaran sejarah yaitu: (1) pembelajaran sejarah memiliki tujuan, substansi, dan sasaran pada segi-segi yang bersifat normatif; (2) nilai dan makna sejarah diarahkan pada kepentingan tujuan pendidikan daripada akademik atau ilmiah murni; (3) aplikasi pembelajaran sejarah bersifat pragmatik, sehingga dimensi dan substansi dipilih dan disesuaikan dengan tujuan, makna, dan nilai pendidikan yang hendak dicapai yakni sesuai dengan tujuan pendidikan; (4) pembelajaran sejarah secara normatif harus relevan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional; (5) pembelajaran sejarah harus memuat unsur pokok: instruction, intellectual training, dan bertanggung jawab pada masa depan bangsa; (6) pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan fakta pengalaman kolektif dari masa lampau, tetapi harus memberikan latihan berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang dipelajarinya. Pendidikan sejarah, selain bertugas memberikan pengetahuan sejarah (kognitif), tetapi juga untuk mengenalkan nilai-nilai luhur bangsanya (afektif).
Pendidikan sejarah akan mampu menumbuhkan sikap nasionalisme apabila diselenggarakan mengacu pada upaya pencapaian tujuan kurikulum yang salah satunya adalah pembentukan sikap nasionalisme. Oleh karena itu, legalitas pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional harus menekankan aspek-aspek penting materi pelajaran sejarah, dimana kurikulum harus menekankan: pentingnya pembelajaran sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa; sebagai sarana pembangunan bangsa secara mendasar; menanamkan national consciousness dan Indonesian hood sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; perspektif sejarah the past-present future sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; historical consciousness pada masa revolusi kemerdekaan; membentuk semangat nasionalisme; dan rumusan sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lalu hingga masa kini (Djoko Suryo, 2005: 2).
Pembelajaran sejarah di sekolah memiliki fungsi pragmatis sebagai pembentuk identitas dan eksistensi bangsa. Sebab selain pengetahuan kesejarahan yang bersifat kognitif, pembelajaran sejarah menyimpan pendidikan nilai untuk pembentukan kepribadian bangsa dan sikap. Nilai-nilai tersebut antara lain nasionalisme, persatuan dan kesatuan, pantang menyerah, tanggung jawab, religius, dan keluhuran. Pembelajaran sejarah dituntut untuk mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai tersebut. Sartono Kartodirdjo mengatakan, merosotnya kesadaran nasionalisme di kalangan pelajar, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan terhadap sejarah (Kartodirdjo, 1999:2324).
Interpretasi yang beragam (alternatif) pada narasi sejarah publik akan berpotensi memicu konflik antara narasi sejarah versi kurikulum nasional dengan narasi sejarah versi komunitas atau kelompok tertentu. Narasi sejarah versi kurikulum nasional venderung bersifat politis dan selektif. Benturan kepentingan daerah dengan kepentingan nasional bisa memicu konflik yang rumit. Apalagi jika terdapat kepentingan politis sekelompok orang seperti perbuatan makar yang mendelegitimasi otoritas pemerintah. Tentunya mereka menggunakan sejarah publik sebagai upaya propaganda yang berbahaya. Jika narasi sejarah versi pemerintah dianggap kurang update terhadap penelitian baru, kurang mengakar pada budaya lokal yang beragam, maka narasi sejarah versi pemerintah semakin tertinggal dan usang dan berjarak bagi masyarakat. Siswa mungkin menjadi bingung atau skeptis terhadap kebenaran sejarah ketika mendapati perbedaan antara apa yang mereka pelajari di sekolah dan apa yang mereka temukan di sumber-sumber sejarah publik.
Kondisi ini menciptakan ketegangan antara pendidikan formal dan pengalaman siswa di luar kelas, serta menantang otoritas dan kredibilitas pendidikan nasional. Sejarah versi pemerintah dirumuskan dalam kurikulum yang ketat, sedangkan sejarah versi komunitas (sejarah publik) sifatnya lebih terbuka dan cenderung berfokus pada fakta. Implementasi Kurikulum 2013 secara rinci menjelaskan mengenai panduan dalam pebulisan buku sejarah. Buku panduan sejarah SD, SMP dan SMA memiliki tujuan dan terget peserta didik yang berbeda. Adapun sejarah publik tidak mempertimbangan itu semua. Sejarah publik cenderung "membongkar fakta" sehingga jika tidak diatur sedemikian rupa justru akan berbehaya terhadap mentalitas siswa secara psikologis. Pada peristiwa-peristiwa yang berbau kekerasan dan perang bahkan genosida, tidak relevan jika disampaikan pada jenjang siswa tertentu karena secara psikologi akan mengganggu mentalitas. Oleh sebab itu sejarawan publik juga perlu kolaborasi dengan pemerintah dalam merumuskan narasi sejarah publik dengan narasi sejarah versi pemerintah sehingga terjadi sinkronisasi yang saling melengkapi.
Sejarawan publik tidak bisa berjalan sendiri demi mengejar fakta sejarah an sich namun juga mempetimbangkan kepentingan nasional dan psikologis peserta didik. Misalkan dalam rumusan pemerintah pengajaran sejarah bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam beberapa aspek kunci. Pertama, tujuannya adalah menumbuhkan kesadaran nasionalisme yang kuat dalam diri peserta didik, sehingga mereka memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, serta dapat mengimplementasikan empati dan perilaku toleran dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata pelajaran ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada peserta didik mengenai diri mereka sendiri, masyarakat, serta proses terbentuknya bangsa Indonesia dari masa lampau hingga masa kini dan masa depan yang terus berproses.
Selain itu, tujuannya juga mencakup pengembangan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter individu, masyarakat, dan bangsa. Ketiga, mata pelajaran Sejarah Indonesia bertujuan untuk membangun kesadaran peserta didik terhadap pentingnya konsep waktu, tempat, dan ruang dalam memahami perubahan serta keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia. Keempat, tujuannya adalah menumbuhkan apresiasi dan penghargaan terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau. Kelima, mata pelajaran ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking) yang menjadi dasar bagi kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan inovatif peserta didik. (Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014).
Kesadaran sejarah dan kemampuan berpikir sejarah yang telah ditumbuhkan melalui mata pelajaran sejarah secara formal di sekolah, akan terus dirawat dan dijaga oleh sejarah publik di luar sekolah. Sejarah publik menjadi bagian dari usaha sadar dan terencana membelajarkan masyarakat tentang sejarah dengan tujuan "menguatkan" kesadaran sejarah dan "menajamkan" kemampuan berpikir sejarah yang telah dilakukan oleh lembaga pendidikan formal (sekolah). Sehingga pendidikan sejarah yang dilakukan oleh sejarah publik bersifat komplementer, pelengkap, atau tambahan dari pendidikan sejarah formal, tetapi tetap memberikan kontribusi dalam usaha pencapaian tujuan pendidikan sejarah. Oleh karena itu, sejarah publik dapat menjadi bagian dari pendidikan sejarah di masyarakat secara non-formal. Sinergi antara pendidikan sejarah formal dengan pendidikan sejarah non-formal ini tentu akan membantu mewujudkan kondisi masyarakat pebelajar sejarah. Masyarakat yang berkesadaran sejarah dan memiliki kemampuan berpikir sejarah, bijak, arif serta berorientasi ke masa depan dalam menjalani kehidupannya (Kian Amboro, 2020: 38).
SUMBER REFERENSI:
Amboro, Kian. "Sejarah Publik dan Pendidikan Sejarah bagi Masyarakat." HISTORIS: Jurnal Sejarah, vol. 5, no. 1, Juli 2020
Bramantyo, Kresno. Public History dalam Konteks Pembangunan Bangsa: Esai-Esai Kecil dalam Kesejarahan. Yogyakarta: Penerbit Pelangi, 2017. Bramantyo, Kresno. “Sejarah Publik di Indonesia.” Kompasiana, 2017
Handojoseno, A. (2016). Aku Terkoneksi Maka Aku Ada: Perspektif Pedagogi Berbasis Koneksi di Era Digital. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Dikutip oleh Hendra Kurniawan dalam Jurnal Sejarah dan Budaya, 14 (2), 2020, hlm. 1-13
Koentowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang. 2005
Republika. "Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman oleh KH Fahmi Basya," 2014.
Suryo, Djoko. “Tujuan Pembelajaran Sejarah dan Pembentukan Nasionalisme.” Jurnal Pendidikan Sejarah, 2005.
Tirto.id. “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66.” 17 September 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H