Mohon tunggu...
anton
anton Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S2 Kajian Sejarah FISIP UNNES, Guru SMA

Suka diskusi dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Sejarah Publik bagi Masyarakat dan Pengajaran Sejarah

30 Juni 2024   02:25 Diperbarui: 30 Juni 2024   04:23 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Azkail.com

Dilema Sejarah Publik Bagi Pengajaran Sejarah
Di satu sisi berkembangnya sejarah publik sebagai wujud "demokratisasi" historiografi sangat menggembirakan. Selain melibatkan masyarakat untuk merekonstruksi sejarah, "sejarawan publik" ini memberikan kemudahan akses informasi sejarah bagi masyarakat luas melalui berbagai media yang variatif seperti museum, situs web, film dokumenter, dan kegiatan komunitas. Selain itu sejarah publik juga menyajikan berbagai perspektif yang tidak ditemukan dalam buku teks resmi pemerintah. Misalnya, narasi dari kelompok minoritas yang mungkin diabaikan dalam sejarah mainstream menjadi lebih terlihat. Sudut pandang lokal memberikan pandangan yang lebih intim dan khusus tentang peristiwa sejarah, berbeda dengan narasi nasional yang lebih umum. Kisah individu, seperti pengalaman pribadi atau keluarga, memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu dengan menunjukkan bagaimana peristiwa besar mempengaruhi kehidupan sehari-hari. 

Selain itu pendekatan sejarah publik yang lebih praktis dan langsung memungkinkan peristiwa sejarah dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Misalnya, pelajaran sejarah dapat dihubungkan dengan pengalaman lokal siswa, seperti mengunjungi situs bersejarah di kota mereka atau mempelajari sejarah keluarga mereka sendiri. Ini membuat pembelajaran lebih relevan dan menarik, karena siswa dapat melihat bagaimana sejarah mempengaruhi lingkungan dan kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini membantu siswa untuk lebih memahami dan menghargai pentingnya sejarah dalam konteks kehidupan mereka, membuat pembelajaran sejarah menjadi pengalaman yang lebih bermakna dan personal. 

Sejarah publik juga mendorong pembelajaran aktif melalui berbagai kegiatan interaktif. Kunjungan ke situs bersejarah memungkinkan siswa untuk melihat dan merasakan tempat di mana peristiwa sejarah terjadi. Proyek penelitian lokal mendorong siswa untuk menggali sejarah komunitas mereka sendiri, mengembangkan keterampilan riset dan analisis. Partisipasi dalam acara sejarah seperti rekonstruksi sejarah atau peringatan peristiwa sejarah memberikan pengalaman langsung tentang bagaimana sejarah diperingati dan dihidupkan kembali. Kegiatan-kegiatan ini membuat pembelajaran sejarah lebih menarik dan hidup. 

Problem Metode

Meskipun sejarah publik membantu meningkatkan kesadaran sejarah masyarakat, sejarah publik menghadapi persoalan yang cukup krusial. Beberapa problem yang potensial terjadi antara lain yakni proses rekonstruksi historiografi cenderung mengabaikan metode penelitian secara ketat. Hal ini akan menimbulkan kebingungan dan kerancuan dalam memahami peristiwa sejarah. Rekonstruksi sejarah yang dihasilkan dalam beragam media menimbulkan bias. Misalnya tahun 2014 terjadi pro kontra mengenai buku mengenai Candi Borobudur yang ditulis oleh KH Fahmi Basya. Lewat karyanya yang berjudul Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman yang diterbitkan oleh penerbit Zaytuna tahun 2014, beliau dan tim mengklaim bahwa Candi Borobudur didirikan oleh Jin yang membantu Nabi Sulaiman. 

Mereka menyatakan memiliki bukti yang menghubungkan Candi Borobudur dengan Ratu Boko di Sleman, yang mereka klaim sebagai Ratu Balqis dari zaman Nabi Sulaiman. Mereka menggunakan metode Matematika Islam untuk mendukung klaim ini, serta mengaitkan kata-kata terkait Candi Borobudur dengan teori mereka. Sayangnya klaim ini tidak didukung oleh bukti arkeologis yang kuat. Meskipun terdapat interpretasi dari relief-relief di Borobudur yang menggambarkan kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, belum ada temuan konkret yang mendukung klaim bahwa Nabi Sulaiman secara langsung terlibat dalam pembangunan Candi Borobudur. Meskipun demikian, promosi teori ini telah cukup gencar melalui media sosial, meskipun masih menuai kontroversi dan penolakan dari kalangan lain yang menganggap klaim ini tidak didukung secara ilmiah yang memadai. 

Secara historis, Nabi Sulaiman hidup sekitar 900 SM, sedangkan Candi Borobudur dibangun sekitar abad ke-9 hingga ke-10 Masehi. Perbedaan kronologis ini juga menjadi salah satu titik kontroversi dalam klaim ini, dengan banyak pihak yang menyangkalnya berdasarkan pada kajian ilmiah dan bukti sejarah yang ada (Republika, 2014) Kasus di atas adalah salah satu contoh bahwa terjadi problem metode dalam penulisan sejarah. KH Fahmi Basya tidak menggunakan dengan metode penelitian sejarah yang telah menjadi pakem dalam penelitian sejarah sehingga menimbulkan kecancuan dalam melahirkan hasil karyanya. 

Masyarakat Indonesia yang cendrung suka dengan hal-hal yang sensasional tentu akan mudah percaya dan menerimanya sebagai "kebenaran sejarah". Kasus lainnya yaitu mengenai metode mediumisasi "arwah pelaku sejarah" ke dalam tubuh manusia guna untuk menguak mitos atau sejarah suatu tempat. Kelompok ini percaya bahwa mempelajari sejarah bisa dilakukan dengan bantuan roh halus yang diyakini bisa memberikan keterangan mengenai asal usul suatu tempat. Kelompok ini berupaya mengeksplor dengan melakukan wawancara kepada manusia (mediator) yang dirasuki jin. Ini adalah contoh bahwa semangat melestarikan sejarah jika tidak dilakukan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku akan menimbulkan kerancuan. 

Konflik antar kelompok masyarakat

Meskipun rezim Orde Baru telah berakhir tahun 1998 silam, namun rezim tersebut masih mewarisi stigma-stigma intimidatif. Narasi tunggal versi Orde Baru mematikan dialektika dalam masyarakat. Narasi sejarah pada era ini seolah menjadi "kebenaran" yang tidak boleh dipertanyakan. Stigma komunis akan ditimpakan bagi mereka yang mencoba mempertanyakan atau menggugat kebenaran sejarahnya. Misalnya pada April 2013, diskusi yang diadakan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Jakarta tentang peristiwa 1965 dibubarkan oleh polisi. 

Diskusi ini menghadirkan para penyintas dan peneliti yang mencoba mengungkap lebih banyak fakta mengenai kejadian tersebut. Pembubaran dilakukan dengan alasan acara tersebut dianggap berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban. Pada tahun 2015, beberapa acara yang direncanakan dalam Ubud Writers & Readers Festival di Bali, termasuk diskusi mengenai peristiwa 1965, dibatalkan karena tekanan dari pihak berwenang. Panitia penyelenggara festival terpaksa membatalkan beberapa sesi diskusi yang akan membahas buku tentang tragedi 1965 karena ancaman pencabutan izin acara oleh polisi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun