Mohon tunggu...
anton
anton Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa S2 Kajian Sejarah FISIP UNNES, Guru SMA

Suka diskusi dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Sejarah Publik bagi Masyarakat dan Pengajaran Sejarah

30 Juni 2024   02:25 Diperbarui: 30 Juni 2024   04:23 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Oktober 2018, seminar sejarah di Universitas Negeri Malang (UNM) yang mengangkat tema "Perubahan dan Kesinambungan Historis Dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran" dibatalkan. Pembatalan ini terjadi setelah para penggagas acara dituduh berafiliasi dengan kelompok komunis. Pembatalan ini disesalkan oleh banyak akademisi, termasuk Asvi Marwan Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menekankan bahwa kegiatan akademik harus bisa berlangsung tanpa intimidasi. Hal serupa juga seminar bertajuk "Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66" yang di gelar oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun. Sayangnya seminar itu dibubarkan oleh pihak kepolisian dan didukung oleh masyarakat yang tidak mengerti persoalan 65. Kesalahpahaman yang bisa jadi sengaja dilakukan oleh kelompok tertentu yang mengatakan bahwa seminar itu ingin membangkitkan kembali ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme. 

Panitia seminar menjelaskan bahwa seminar itu bertujuan untuk melihat pelanggaran hak mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang dialami banyak sekali orang pada 1965, dimana korban tidak semuanya terlibat PKI (Partai Komunis Indonesia) (Tirto.id, 17 September 2017). Stigma PKI juga dialami oleh pegiat sejarah, Yunantyo Adi Setyawan ketika berusaha mengadvokasi bangunan bersejarah peninggalan bangunan Sarekat Islam di Semarang tahun 2022. Kendati sudah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya pada tahun 2014, namun stigma terkait PKI masih kuat ditimpakan kepada siapa saja yang membahasnya. Pernah suatu waktu, Yunantyo akan menggunakan Gedung Sarekat Islam Semarang guna menggelar pameran karya penyair Wiji Thukul, akan tetapi dia justru dituduh PKI. (Kompas, 7 Juli 2022).

Sejarah publik memungkinkan masyarakat terlibat dalam pembuatan narasi sejarahnya sendiri sehingga mereka akan memiliki rasa memiliki dalam membangun identitas yang relevan melekat pada komunitasnya tersebut. Memang sejarah publik dengan beragam variasi media yang digunakan telah menjadi alternatif dalam memahami sejarah secara menyenangkan. Selama ini, pembelajaran sejarah di sekolah kurang begitu diminati oleh peserta didik. Pelajaran sejarah dianggap sebagai pelajaran yang membosankan karena seolah-olah cenderung "hafalan". Bahkan kebanyakan siswa menganggap bahwa pelajaran sejarah tidak membawa manfaat karena kajiannya adalah masa lampau. Tidak memiliki sumbangan yang berarti bagi dinamika dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pelajaran sejarah hanya dianggap sebagai pelajaran pelengkap, apalagi mata pelajaran ini tidak di ujikan secara nasional. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang semakin menyempitkan gerak langkah pembelajaran sejarah, yakni dengan semakin kecilnya porsi jam pelajaran sejarah di sekolah. Tidak mengherankan jika prestasi belajar sejarah siswa juga cenderung kurang memuaskan. Jika dilihat dari sisi ini memang sejarah publik telah berhasil menarik minat masyarakat dalam memahami sejarah. 

Sejarah publik dalam berbagai aktivitasnya jelas memiliki kontribusi dalam menanamkan kesadaran sejarah dan mengembangkan kemampuan berpikir sejarah bagi masyarakat. Meski itu hanya dalam kategori dan dalam bentuk sederhana sekalipun. Hal ini dapat dimaknai sebagai proses belajar sepanjang hayat di masyarakat dan tidak memiliki batasan waktu selesainya (long life education), karena sejarah publik berada di ruang masyarakat sepenuhnya. Dari perspektif pendidikan sejarah, di beberapa negara-negara maju, dimana sejarah publik telah berkembang dan menjadi bagian yang sama pentingnya dengan ilmu sejarah dan pendidikan sejarah, telah ada upaya kolaborasi sebagai bentuk perluasan sejarah kepada khalayak yang lebih luas. Seperti model pembelajaran berpikir sejarah layaknya seorang sejarawan (historical thinking like a historian) yang mengajak peserta didik memposisikan diri berpikir layaknya seorang sejarawan agar dapat lebih memahami sejarah (Christen & Mighetto, 2004); (Wineburg, Martin, & MonteSano, 2012). Ada juga yang melakukan kontekstualisasi sejarah dengan pendekatan sejarah publik, agar sejarah menjadi lebih dekat dengan peserta didik (Kyvig, 1991) (Kian Amboro, 2020: 37-38).

Meskipun begitu bias kepentingan dalam penciptaan narasi sejarah ini menimbulkan potensi kerancuan jika berhadapan dengan aturan-aturan kurikulum pendidikan nasional. Sebagaimana yang disampaikan oleh Djoko Suryo terkait dengan indikator pembelajaran sejarah yaitu: (1) pembelajaran sejarah memiliki tujuan, substansi, dan sasaran pada segi-segi yang bersifat normatif; (2) nilai dan makna sejarah diarahkan pada kepentingan tujuan pendidikan daripada akademik atau ilmiah murni; (3) aplikasi pembelajaran sejarah bersifat pragmatik, sehingga dimensi dan substansi dipilih dan disesuaikan dengan tujuan, makna, dan nilai pendidikan yang hendak dicapai yakni sesuai dengan tujuan pendidikan; (4) pembelajaran sejarah secara normatif harus relevan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional; (5) pembelajaran sejarah harus memuat unsur pokok: instruction, intellectual training, dan bertanggung jawab pada masa depan bangsa; (6) pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan fakta pengalaman kolektif dari masa lampau, tetapi harus memberikan latihan berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang dipelajarinya. Pendidikan sejarah, selain bertugas memberikan pengetahuan sejarah (kognitif), tetapi juga untuk mengenalkan nilai-nilai luhur bangsanya (afektif). 

Pendidikan sejarah akan mampu menumbuhkan sikap nasionalisme apabila diselenggarakan mengacu pada upaya pencapaian tujuan kurikulum yang salah satunya adalah pembentukan sikap nasionalisme. Oleh karena itu, legalitas pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional harus menekankan aspek-aspek penting materi pelajaran sejarah, dimana kurikulum harus menekankan: pentingnya pembelajaran sejarah sebagai sarana pendidikan bangsa; sebagai sarana pembangunan bangsa secara mendasar; menanamkan national consciousness dan Indonesian hood sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; perspektif sejarah the past-present future sebagai sarana menanamkan semangat nasionalisme; historical consciousness pada masa revolusi kemerdekaan; membentuk semangat nasionalisme; dan rumusan sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lalu hingga masa kini (Djoko Suryo, 2005: 2). 

Pembelajaran sejarah di sekolah memiliki fungsi pragmatis sebagai pembentuk identitas dan eksistensi bangsa. Sebab selain pengetahuan kesejarahan yang bersifat kognitif, pembelajaran sejarah menyimpan pendidikan nilai untuk pembentukan kepribadian bangsa dan sikap. Nilai-nilai tersebut antara lain nasionalisme, persatuan dan kesatuan, pantang menyerah, tanggung jawab, religius, dan keluhuran. Pembelajaran sejarah dituntut untuk mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai tersebut. Sartono Kartodirdjo mengatakan, merosotnya kesadaran nasionalisme di kalangan pelajar, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan terhadap sejarah (Kartodirdjo, 1999:2324). 

Interpretasi yang beragam (alternatif) pada narasi sejarah publik akan berpotensi memicu konflik antara narasi sejarah versi kurikulum nasional dengan narasi sejarah versi komunitas atau kelompok tertentu. Narasi sejarah versi kurikulum nasional venderung bersifat politis dan selektif. Benturan kepentingan daerah dengan kepentingan nasional bisa memicu konflik yang rumit. Apalagi jika terdapat kepentingan politis sekelompok orang seperti perbuatan makar yang mendelegitimasi otoritas pemerintah. Tentunya mereka menggunakan sejarah publik sebagai upaya propaganda yang berbahaya.  Jika narasi sejarah versi pemerintah dianggap kurang update terhadap penelitian baru, kurang mengakar pada budaya lokal yang beragam, maka narasi sejarah versi pemerintah semakin tertinggal dan usang dan berjarak bagi masyarakat. Siswa mungkin menjadi bingung atau skeptis terhadap kebenaran sejarah ketika mendapati perbedaan antara apa yang mereka pelajari di sekolah dan apa yang mereka temukan di sumber-sumber sejarah publik. 

Kondisi ini menciptakan ketegangan antara pendidikan formal dan pengalaman siswa di luar kelas, serta menantang otoritas dan kredibilitas pendidikan nasional. Sejarah versi pemerintah dirumuskan dalam kurikulum yang ketat, sedangkan sejarah versi komunitas (sejarah publik) sifatnya lebih terbuka dan cenderung berfokus pada fakta. Implementasi Kurikulum 2013 secara rinci menjelaskan mengenai panduan dalam pebulisan buku sejarah. Buku panduan sejarah SD, SMP dan SMA memiliki tujuan dan terget peserta didik yang berbeda. Adapun sejarah publik tidak mempertimbangan itu semua. Sejarah publik cenderung "membongkar fakta" sehingga jika tidak diatur sedemikian rupa justru akan berbehaya terhadap mentalitas siswa secara psikologis. Pada peristiwa-peristiwa yang berbau kekerasan dan perang bahkan genosida, tidak relevan jika disampaikan pada jenjang siswa tertentu karena secara psikologi akan mengganggu mentalitas. Oleh sebab itu sejarawan publik juga perlu kolaborasi dengan pemerintah dalam merumuskan narasi sejarah publik dengan narasi sejarah versi pemerintah sehingga terjadi sinkronisasi yang saling melengkapi. 

Sejarawan publik tidak bisa berjalan sendiri demi mengejar fakta sejarah an sich namun juga mempetimbangkan kepentingan nasional dan psikologis peserta didik. Misalkan dalam rumusan pemerintah pengajaran sejarah bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam beberapa aspek kunci. Pertama, tujuannya adalah menumbuhkan kesadaran nasionalisme yang kuat dalam diri peserta didik, sehingga mereka memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, serta dapat mengimplementasikan empati dan perilaku toleran dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata pelajaran ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada peserta didik mengenai diri mereka sendiri, masyarakat, serta proses terbentuknya bangsa Indonesia dari masa lampau hingga masa kini dan masa depan yang terus berproses. 

Selain itu, tujuannya juga mencakup pengembangan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter individu, masyarakat, dan bangsa. Ketiga, mata pelajaran Sejarah Indonesia bertujuan untuk membangun kesadaran peserta didik terhadap pentingnya konsep waktu, tempat, dan ruang dalam memahami perubahan serta keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia. Keempat, tujuannya adalah menumbuhkan apresiasi dan penghargaan terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau. Kelima, mata pelajaran ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking) yang menjadi dasar bagi kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan inovatif peserta didik. (Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun