Hidup ini penuh dengan persaingan begitulah kenyatanya. Dengan adanya persaingan, dunia ini menjadi lebih dinamis. Lihatlah aneka persaingan disekitar kita! persaingan bisnis, persaingan politik, persaingan antar cabang olahraga, persaingan akademik, festival kesenian, dan lain sebagainya. Semua itu nyata adanya dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia.Â
Begitu juga dalam dunia pendidikan, berjejer-jejer piala dipajang dengan bangganya di ruang lobi sekolah. Menjamurnya lomba-lomba antar siswa mulai tingkat daerah hingga tingkat internasional. Semua itu digelar dan diikuti dengan antusias dengan harapan menjadi juara yang mampu mengharumkan nama lembaga, daerah atau negara masing-masing.
Pengalaman 8 tahun lebih menjadi guru setidaknya memberikan gambaran kepada saya bagaimana suatu kebijakan begitu berdampak terhadap karkater siswa. Ditambah dahulu juga pernah merasakan menjadi siswa sehingga saya memiliki kesan dan pengalaman bagaimana  gambaran pendidikan di negeri ini.
Entah sejak kapan tepatnya sekolah tidak diperbolehkan menuliskan urutan perangkingan siswa. Alasannya, bahwa setiap siswa memiliki jenis kecerdasannya dan gaya belajar sendiri-sendiri. Alasan tersebut bagi saya cukup rasional dan manusiawi. Faktanya memang di kelas yang saya ajar sendiri pun kemampuan anak-anaknya beragam.
Penulisan peringkat rapot ditiadakan agar tidak menimbulkan perasaan minder bagi siswa. Siswa yang mendapat peringkat menengah ke bawah tetap terjaga semangatnya untuk belajar.Â
Selain itu ditambah lagi kisah-kisah sukses (success Story) bahwa ternyata banyak anak yang dahulu saat di sekolah mendapatkan peringkat rendah, namun menjadi orang yang sukses di masa depan. Akan tetapi yang saya rasakan dan saksikan sendiri pasca Ujian Nasional (UN), Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) ditiadakan, terlihat  semangat dan etos kerja siswa semakin menurun. Ditambah badai Covid 19 selama 2 tahun, sangat terlihat etos belajar siswa menurun.
Â
Berdasarkan pengalaman saya pribadi saat menjadi siswa, ujian nasional (UN) merupakan momok yang menakutkan. UN adalah puncak perjuangan selama belajar di SMA. Sekolah, guru, siswa semuanya begitu wanti-wanti (mengantisipasi) menyambutnya. Mulai dari bimbel, latihan soal rutin, try out, bahkan doa bersama.Â
Semua itu dilakukan dengan harapan semuanya bisa lulus seratus persen. Bahkan yang paling miris dan sempat heboh kala itu di media massa bocoran soal sudah sedemikian rupa dipersiapkan oleh sekolah tertentu untuk meluluskan siswanya. Saat itu bagi saya dan orang-orang disekitar saya menilai Ujian Nasional sangat kejam dan tidak adil.
Bayangkan saat itu tahun 2008, hanya 3 mapel wajib yang diujikan dan menjadi parameter kelulusan. Ketiga mapel wajib tersebut antara lain; Bahasa Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris. Â Sebagai anak IPS waktu itu saya harus mampu lulus dengan nilai minimal 4.25. Kurang satu digit saja, maka konsekuensinya saya tidak lulus dan harus mengulang tes paket C.
Saya ingat sekali pada waktu itu, hari pertama ujian langit terlihat sedikit mendung, seakan-akan menggambarkan kegalauan hati saya. Salah satu pelajaran yang membuat saya tidak bisa tidur adalah matematika. Mau bagaimanapun pelajaran ini adalah titik kelemahan saya.Â
Jika tidak mampu mengerjakan soal, otomatis mau tidak mau harus gambling (untung-untungan) memilih salah satu jawaban dalam pilihan ganda. Meskipun saat itu  UN terkesan mengerikan, namun dampak positifnya adalah siswa akan lebih menghargai waktu untuk serius belajar dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Persaingan adalah kenyataan hidup
Persaingan adalah sebuah kenyataan hidup yang melekat dalam diri manusia bahkan sebelum menjadi manusia. Menghindari persaingan antar sesama manusia bukanlah solusi yang tepat. Kehidupan ini berjalan dinamis karena adanya persaingan itu. Tanpa adanya persaingan maka kehidupan ini akan stagnan.
Kenyataan yang saya alami sebagai guru hari ini adalah siswa sangat antusias jika hasil belajarnya diumumkan seperti hasil ulangan harian (UH), Penilaian Akhir Semester (PAS), Ujian Sekolah), bahkan hasil Try Out (TO) yang diselenggarakan sekolah. Dengan melihat hasil belajar siswa, mereka merasa diperhatikan proses belajarnya.
Tidak jauh berbeda dengan siswa, orang tua pun antusias melihat hasil belajar siswa. Sebagian besar orang tua senang jika mereka mengetahui peringkat anaknya di kelas. Mereka ingin melihat sejauh mana keseriusan anak dalam belajar.Â
Dengan adanya penilaian angka-angka dan peringkat di sekolah, orang tua bisa melihat gambaran proses belajar anaknya. Orang tua bisa melihat kecendrungan-kecendrungan, apakah anaknya suka pelajaran eksakta, sosial, bahasa, atau diluar itu semua.
Memang menjadi dilema bagi sebagian siswa dan orang tua yang kebetulan anaknya memperoleh peringkat yang rendah. Hasil belajar itu bisa menimbulkan rasa minder bagi siswa, akan tetapi sebetulnya hal itu bisa disampaikan oleh pihak sekolah dan wali kelas bahwa apapun hasilnya, angka-angka dalam peringkat tidaklah menggambarkan keseluruhan kepribadian anak.Â
Wali kelas bisa mendudukan persoalan ini kepada orang tua dan anak agar tidak salah paham dengan hasil kuantitatif. Toh, masih ada hal lain yang bisa menjadi tolak ukur seperti aspek emosional dan spiritual. Betapapun rapinya suatu penilaian angka-angka yang dilakukan oleh guru, tidak akan mempu mewakili atau mendeskripsikan keseluruhan karakter anak.
Penilaian angka-angka atau peringkat adalah sebagai upaya agar anak-anak terus berusaha semaksimal mungkin dalam belajar. Bahwa pada kenyataanya di masa depan suka atau tidak suka mereka harus bersaing dengan siswa lainnya secara global.Â
Apalagi saat ini berdasarkan statistik diprediksi bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi di tahun 2045. Akan tetapi jika jiwa persaingan dan etos kerja siswa rendah, maka suka tidak suka negeri kita akan tergilas oleh negara-negara lain yang lebih keras perjuangannya. Bukankah untuk menuju kesuksesan diperlukan proses yang panjang dan melelahkan?
Menurut hemat saya, persaingan dalam belajar tetap diperlukan, persaingan ini harus dipahami dan dikelola dengan baik agar buah dari persaingan itu bukan menjadi karakter yang saling menjatuhkan. Anak-anak juga dibekali bahwa selain bersaing, anak-anak juga diberikan arahan bahwa dalam hidup tidak melulu bersaing. Hidup tidak melulu berbicara persaingan. Â
Anak-anak diberikan pemahaman bahwa hidup menjadi bernilai dengan berkolaborasi, berbagi, dan saling tolong-menolong. Persaingan hidup adalah dalam rangka optimalisasi kinerja agar setiap waktu yang diberikan oleh Tuhan menjadi lebih berharga dan bermakna.
Akan menjadi berbahaya jika dipikiran siswa tidak muncul mental bersaing. Mereka tidak dibangun motivasi menjadi lebih baik dan prestatif. Padahal diusia yang masih sangat belia, masa-masa mereka penuh dengan semangat aktualisasi diri.
Siswa harus dibiasakan belajar sportif dalam persaingan. Sportifitas menjadi sangat penting diajarkan sedini mungkin agar anak-anak sadar bahwa setiap jerih payah akan membuahkan hasil. Guru juga bisa membimbing sikap sportifitas ini agar terkelola dengan baik. Mau tidak mau, suka tidak suka, kenyataanya persaingan akan selalu ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H