Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pentingnya Keseimbangan Pola Pikir Atomistik dan Organismik dalam Sejarah Kontemporer

29 September 2020   10:24 Diperbarui: 29 September 2020   20:17 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Di ranah ilmu sosial, ada dua golongan besar metoda berpikir, yakni berpikir secara historis (empiris, atomistik) dan ahistoris (rasionalis, struktural organik). Untuk lebih sederhananya, metoda keilmuan dengan pendekatan non-bahasa, seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu sosial teoritis dan juga sejarah (meskipun ilmu sejarah teoritis "kontemporer" juga mulai memadukan kedua metoda berpikir ini), lebih menonjolkan metoda berpikir secara atomistik (empiris, historis); sedangkan metoda keilmuan dengan pendekatan bahasa, seperti yang diterapkan oleh para pembelajar bahasa (sastrawan, seniman) dan pembelajar ilmu sosial-politik terapan, lebih menonjolkan metoda berpikir secara organismik (struktural, ahistoris/kekinian).

Yang selalu ditonjolkan oleh para penganut  atomistic  (THINGS)  ini adalah "klaim"  -nya pada pengetahuan tentang  "asal-usul" (Sangkan Paraning). Dalam sejarah pemikiran, filosofi atomistik ini memunculkan dua aliran besar, yakni aliran empiris (tokoh terkemukanya adalah Locke, Berkeley dan Hume), dan aliran rasionalis ( tokoh utamanya, antara lain Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Kant).

Para penganut empiris percaya bahwa pengetahuan (tentang dunia) itu bersifat langsung (IMMEDIATE). Pikiran, pada awal mulanya seperti sehelai kertas putih, dan realitas dunia menerpa langsung (bak tulisan atau coretan) dalam rupa data yang bersumber dari panca-indera. Bentuk dalam rupa data indera ini sifatnya "the given" (kondisi yang sudah harus diasumsikan), berfungsi seperti batu bata bangunan (pengetahuan). Dengan demikian, data indera adalah (juga) bak "atom" bagi para penganut empiris atomisme.

Sebaliknya, para penganut rasionalis, yang terinspirasi oleh Plato, meng-klaim bahwa pengetahuan (dunia) itu bekerja melalui mediasi (MEDIATE); mediasinya berupa gagasan atau struktur bawaan (innate) sejak lahir (gagasan atau kategori bawaan sejak lahir). Melalui komponen bawaan ini-lah kita mendeduksi (menyimpulkan) adanya struktur universal dari realitas; struktur yang akan berhadapan (contradict) dengan beragam tampilan kesan yang bersumber dari (rangsangan) inderawi, dan struktur ini menunjukkan diri sebagai hal yang mendeduksi ragam tampilan kesan tersebut menjadi kebenaran universal dan "ajeg" (unchanging); dalam kaitan dengan kasus seperti ini,  rumusan matematika-lah yang terpilih menjadi bentuk artikulator terbaik.

Sejak abad ke tujuh belas,  para pemikir dari Inggris dan Amerika cenderung (lebih banyak) terpengaruh oleh para filsuf empiris, dan pemikir dari Eropa daratan cenderung (lebih banyak) terpengaruh oleh para filsuf rasionalis.

Sedangkan dalam tradisi strukturalime  organismik  radikal,  tidak dikenal apa yang disebut "THINGS" , alih-alih "RELATIONSHIP". Sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam tulisan terdahulu (yang berjudul "Bahasa, Sejarah (dan Pancasila)" ), para penganut strukturalisme dan poststrukturalisme selalu berpegang-teguh pada pendirian bahwa OBYEK  itu selalu  dalam status  antara "ada dan tiada" (presence and absence); artinya, obyek tidak pernah berada secara "utuh" (An object is never fully  "There" ;  it is there, to the extent that it appears before  us, but it is  Not there in so far as it's being is determined by  it's  relation).

Sudut pandang atau filosofi atomistik memandang realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian "diskrit" (kesatuan terpisah, berdiri sendiri, atau non-kontinyu) yang mana bagian tersebut tidak mungkin terbagi/tereduksi lagi ("irreducible"); dari sudut pandang ini, bagian  atau "atom" lebih nyata (menonjol) daripada keseluruhannya. Implikasi dari penonjolan bagian (atom) yang bersifat diskrit (mandiri) ini adalah kecenderungan ke arah visi organisasi; semua bagian-bagian  "riil"  ini, atau atom-atom, kemudian menjalin hubungan  satu sama lain melalui cara dan sarana organisasi.

Sedangkan sudut pandang atau filosofi organismik memandang realitas  sebagai totalitas, seperti realitas  pada organisme; dalam organisma, -keseluruhan-lah yang  nyata-, bagian hanya mungkin menjadi nyata (riil), bila bagian tersebut terkait satu sama lain (antar bagian) dan terkait dengan keseluruhannya. Implikasi dari titik tolak  pemikiran organismik adalah kecenderungan ke arah "aggregation" (aggregate -- seperti pada pengerahan massif/massal, istilah jawanya "anut grubyug" ).  Paradigma (berpikir) organismik ini kemudian tumbuh dalam tradisi strukturalisma yang berfondasi pada peranan "relasi".

Diantara dua sudut-pandang atau filosofi pemikiran di atas, yang atomistik dan organismik,  terdapat semacam gaya campuran yang dianut oleh dua tokoh besar, yakni Karl Marx dan Sigmund Freud. Kedua tokoh ini bisa disebut sebagai pemikir pra-strukturalism, karena produk pemikirannya banyak terpengaruh oleh unsur strukturalisme serentak juga (masih) menonjolkan peran historis dalam ajarannya. Kelak, oleh Althusser (untuk ajaran Karl Marx) dan Lacan (untuk ajaran Sigmund Freud), Marxisme dan Psikoanalisa diinterpretasi berdasarkan strukturalisme.

Menurut seorang pakar sejarah kontemporer Indonesia, yakni bapak Kuntowijoyo (sejarawan dan budayawan terkenal dari UGM), genre sejarah kontemporer di Indonesia, baru mulai terbentuk pada tahun 1945.

Ciri dari suatu genre sejarah kontemporer adalah kompleksitas dari peristiwa dan interpretasinya. Hal itu terjadi bukan saja karena semua dokumen, arsip, dan sumber primer lainnya belum bisa dibuka dan dipelajari oleh umum -- dengan demikian belum bisa dilakukan rekonstruksi sejarah secara utuh -- tetapi juga karena beberapa tokoh pelaku sejarahnya masih hidup. Hal yang terakhir ini acapkali mengundang perdebatan sejarah yang berkepanjangan sebab ada beberapa memori kolektif atau pribadi -- karena pertimbangan politik dan kekuasaan yang bersifat kekinian -- sering ditonjolkan untuk hal-hal yang menyenangkan di satu sisi, dan sengaja diheningkan untuk hal-hal yang kurang menyenangkan di sisi lain. Permasalahan lebih lanjut, terkait sejarah kontemporer Indonesia, dapat anda baca dalam artikel di bawah ini:

http://sejarah.upi.edu/artikel/dosen/masalah-sejarah-kontemporer-di-indonesia-memahami-beberapa-isu-kontroversial/

Berdasarkan pemahaman di atas, yang ingin penulis garis-bawahi adalah pentingnya keseimbangan, khususnya bagi generasi milenial, dalam penguasaan dua macam pola (filosofi) berpikir di atas (atomistik dan organismik). Selama ini, menurut penulis, kita sebagai bangsa sudah terlampau dalam terbenam di kubangan carut-marut pola berpikir atomistik (historis) semata. Untuk dapat memahami sejarah secara lebih aman dan obyektif, kita perlu semacam penonjolan baru atau keberpihakkan ke arah sudut pandang berlawanan agar tercapai keseimbangan dalam dua macam filosofi berpikir di atas. Jadi, dalam permasalahan ini, kita jangan terjebak dengan kontroversi seperti: "penting atau tidaknya pelajaran sejarah", karena jelas sejarah sebagai memori kolektif tentu sangat penting. Tapi, apa makna memori bila pola berpikir kita sudah terlanjur timpang? 

     Tuntutan keseimbangan pada dua macam pola-pikir ini akan semakin kuat ketika generasi milenial tersandera oleh semacam "unfinished business" warisan sejarah kebangsaan yang hanya terpaku pada cara pandang sesisi (atomistik, historis); bahkan di era kekinian pun para politisi masih terbelah dalam dua kubu yang tak berkesudahan.

     Satu-satunya cara alternatif yang tersedia, kita harus mulai menggalakkan sudut pandang struktural di ranah kesejarahan agar kita dapat melampaui kontradiksi berlarut-larut? Bertolak dari pemahaman ini, langkah awal yang diperlukan adalah "pengambilan jarak" untuk sementara waktu dari semua kejenuhan dan "alergi" pada sejarah tradisional akibat trauma konflik tak berkesudahan. 

     Filsuf Jerman, Hannah Arendt telah mewanti-wanti agar kita menjaga ruang publik, dalam artian "common world", agar para politisi kita dapat sepenuhnya menjalankan vita-activa atau aktivitas fundamental mereka. Aktivitas politisi menurut beliau adalah aktivitas yang mengandaikan pemikiran aktif dan kebebasan sebagai landasan tindak para politisi. Aktivitas ini akan mustahil terpenuhi, manakala ruang publik hanya didominasi oleh kontradiksi jadul tak berkesudahan; kontradiksi warisan sejarah yang "visinya" masih timpang atau "jadul" dan ingin tetap dilestarikan demi kepentingan politik golongan tertentu.

     Bila kita tetap berkutat pada metoda berpikir timpang (hanya menonjolkan pendekatan atomistik) dalam sejarah tradisional, maka berlaku-lah ancaman adagium ini;"The more things change, the more they stay  the same."

Terima-kasih

Sumber lain:

Structuralism and Post Structuralism for Beginners

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun