Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hantu PSBB

12 September 2020   16:49 Diperbarui: 12 September 2020   16:59 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hantu PSBB!

Ancaman pandemik covid memang sangat mencekam, tapi di balik itu, pikiran harus tetap dingin dan terus bervisi luas (jangan sampai ikut mengkerut lah! Anjay aja...). Jangan pula terbakar semangat partisan, sehingga memutlakkan keterancaman pandemik sebagai satu-satunya ancaman pada nyawa manusia, dan langsung menutup pintu kognitif keras-keras pada alternatif lain, yang bisa jadi alternatif tersebut lebih menjanjikan hasil dan lebih aman.

Dalam situasi kritis tak berbatas waktu ini, sebisanya para pemimpin menahan diri untuk mengambil kebijakan ekstrim secara dadakan. Mengapa demikian? Karena kebijakan ekstrim dalam situasi krisis berkepanjangan seperti kekinian, sama dan sebangun dengan hasrat populis yang menutup kemungkinan datangnya pencerahan dari pikiran kritis.

Singkatnya, kita cenderung dikondisikan oleh kepanikan populis yang mengandalkan asumsi atau contoh yang kurang relevan; sekali lagi, asumsi dan contoh yang dipaparkan benar, tapi kerapkali lurang relevan.

Misalnya, korban penderita covid yang kian berkibar di DKI, disertai kelimpungannya para tenaga medis dan ketersediaan ruang tampung yang menciut drastis, serta angka kejangkitan yang pantang mundur; semua itu perlu kita bentangkan dan kita cermati melalui berbagai pintu perbandingan dan jendela perspektif.

Hal pertama yang perlu kita pertimbangkan ketika dihadapkan pada tiga fakta sumber keprihatinan-nya bapak Anies (seperti disebutkan di atas) adalah faktor pendukung apa saja yang menyebabkan tingginya angka korban covid?

Selama ini, kita hanya disodori oleh fakta baku nan lugu bahwa hanya melalui "penutupan" (PSBB)-lah yang dapat menjamin penurunan angka korban fatal, korban keterabaian pelayanan, dan korban kejangkitan covid. 

Formula baku peran PSBB yang dijamin mujarab ini, lalu mulai kita perlakukan seperti jimat yang bebas dari pengaruh ruang dan waktu, dan dengannya pula kita mulai meremehkan peran faktor pendukung (dan faktor akibat) lain lewat penciutan ruang perbandingan.

Pertama, formula kemujaraban PSBB tidak bebas ruang dan waktu. Kita tidak bisa membandingkan efektivitas pengulangan PSBB secara gebyah uyah (generalisasi). Ada perbedaan efektivitas pengulangan PSBB, antara masyarakat yang sudah sama sekali terbebas, seperti di Selandia Baru: dengan masyarakat yang masih kelimpungan dalam menanggulangi dampak pandemi yang masih berkibar deras. 

Dalam masyarakat pertama, yang sudah sukses dan tuntas berperang tapi ternyata kecolongan dan harus mengulang PSBB, seperti di Selandia; rasa percaya diri dan semangat tempur masyarakat untuk melawan dampak covid baru justru kian militan: berbeda dengan kondisi masyarakat Jakarta yang masih tiarap.

Masyarakat Jakarta yang harus mengulangi PSBB sudah mulai jenuh, frustrasi, dan mungkin pula, sebagian, mulai masuk ke jurang depresi. Kondisi masyarakat seperti ini akan meningkatkan angka keterjangkitan, bahkan bila mereka tetap tinggal dalam rumah; daya kebal masyarakat yang menurun akibat ragam pembatasan (ruang hidup/aktivitas) dan kejenuhan mengunyah waktu yang semakin 'keras/monoton'  akan berpengaruh pada tingkat efektivitas atau kemujaraban PSBB.

Selain itu, kondisi yang semakin "stressfull" dapat menebarkan atau memicu perilaku irasional dan membahayakan, terutama pada kaum pria yang menanggung beban keluarga; mereka bisa jadi berlaku liar dan nekat atau bahkan bunuh diri. Informasi terbaru, yang penulis peroleh dari media bbc, menyatakan bahwa angka pria yang bunuh diri dalam kondisi depresi jauh lebih tinggi dari angka bunuh diri pada perempuan. 

Singkatnya, kondisi pengulangan PSBB akan rentan memunculkan tekanan dan depresi, dan selanjutnya persepsi pada "tekanan" yang berulang dan kian dalam pengaruhnya akan meningkatkan kerentanan seseorang pada keterjangkitan dan daya kebal untuk tetap bertahan hidup; selain memunculkan efek fatal lain yang bisa jadi di luar kendali kita, seperti meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri, akibat serangan agresif atau liar, dll. 

Semua ini juga menyumbang peningkatan keterancaman nyawa yang selama ini kurang kita perhitungkan; kita hanya fokus pada gerak naik turun angka korban covid. Seharusnya, para dokter yang berpengalaman, atau setidaknya sudah berkaliber spesialis, pasti tahu dan sadar pada kondisi peubah seperti ini; karena mereka telah memahami terapi holistik.

Kedua, hanya dengan mengandalkan jurus PSBB, kita jadi abai pada peran faktor lain yang turut serta berkontribusi pada kian rentannya keterjangkitan masyarakat. 

Faktor lain itu misalnya, kian lemahnya daya beli masyarakat yang berimbas pada turunnya kualitas makanan yang diasupnya, turunnya kualitas hidup sehat yang harus terus dipelihara  dan lain-lain, terutama kian rentannya guncangan psikologis yang akan mengarah pada perilaku irasional dan meningkatkan kerentanan seseorang pada keterjangkitan.

Sebenarnya ada banyak alternatif untuk mencegah kebijakan radikal PSBB, seperti pencermatan dalam membaca data alokasi keterjangkitan (pada ranah mana kasus terbanyak keterjangkitan); Pemberian bantuan yang tepat sasaran, seperti bantuan berupa makanan bergizi untuk target yang terentan dampak pandemik, dan sebagainya. 

Semoga, harapan penulis, kidung PSBB dari bapak Anies sekedar sebagai semacam strategi blitzkrieg untuk para pelanggar nakal peraturan jaga jarak, penggunaan masker, dst. Terima-kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun