Hari ini, penulis sangat terkesan dengan beberapa artikel di kompasiana yang membahas tentang  kurikulum mubazir  dan tentang mendoan yang artinya tidak identik dengan jenis tempe apapun. Artikel pertama tentang kurikulum di era pandemi cukup menarik, karena menyangkut persoalan yang mendesak dan realistis.Â
Untuk itu, penulis hanya ingin menambahkan semacam masukan yang semoga layak untuk dipertimbangkan. Sedangkan, artikel kedua tentang arti sebenarnya mendoan, memberikan semacam pencerahan bagi penulis untuk menganalogikan situasi pendidikan dengan  proses produk mendoan.
Memangnya apa sih arti sebenarnya mendoan? Dari informasi dengan sumber artikel terkini kompasiana, penulis cukup terkejut, ternyata arti mendoan itu tak ada sangkut pautnya dengan tempe! Menurut si penulis artikelnya, mendoan itu cara memasak setengah matang yang bahan utamanya dilumuri tepung.Â
Jadi, mendoan itu bisa tahu, bisa tempe, Â bisa ayam goreng, dan lain-lain sejauh semuanya dilumuri tepung dan digoreng setengah matang. Setengah matang lho! Jangan sampai kering atau kematangan hingga krispi, karena hasil "kebablasannya menggoreng" akan mengubah eksistensi produknya.
Lalu apa hubungannya persoalan pendidikan, positivisme, dan mendoan atau kiat goreng tepung setengah matang? Hubungan dua bidang pertama, antara pendidikan dan positivisme, itu seperti hubungan pakar pendidikan dengan kurikulum! Ahoy.., apa pula?!
Konon, seorang ilmuwan asal Perancis yang bernama Comte punya mimpi yang nyaris terwujud. Mimpinya itu tentang menciptakan ilmu tentang masyarakat yang seratus persen berdasarkan sains alam, dan diberi namalah ilmu tersebut Sosiologi. Bahkan karena begitu besar 'passion' pada obyek mimpinya, ia sampai meyakini bahwa sosiologi-lah puncak atau ratu daripada ilmu-alam (setelah biologi).Â
 Ia sepenuhnya yakin, hanya melalui metoda ilmiah yang bertumpu pada amatan seksama pada semua fenomena kemasyarakatan, ia akan mampu menjelaskan atau bahkan meramalkan kejadian yang berkaitan dengan masalah sosial.Â
Ia menyebut proyeknya sebagai proyek positdenge, karena menurutnya, proyek itu merupakan proyek puncak pula dari proyek pemikiran jaman sebelumnya yang bercirikan, pertama proyek relijius (pemikiran tentang para dewa atau Tuhan), yang kedua pemikiran tentang metafisika, dan yang pungkasan, proyek pribadinya, adalah proyek positivisme; proyek, yang menurutnya paling riil, karena hanya membahas yang serba nampak dan terserap indera.Â
Cita-cita dan perjuangannya itu segera saja memperoleh dukungan luas dari para ilmuwan sejaman, terutama para ilmuwan Inggris. Bahkan seorang ilmuwan Inggris kaya-raya yang bernama John Stuart Mill rela memberikan bantuan dana cair untuk proyek ilmiahnya tersebut.
Sayang, entah karena persoalan pribadi atau karena terlampau bersemangat memegahkan hasil pencerahannya, reputasi Comte tiba-tiba runtuh ketika ia mulai menggeneralisasi atau "menggebyah-uyah" proyeknya hingga ke ranah politik.Â
Entah karena gangguan mental akibat perceraian, atau karena faktor lain ia berubah jadi sosok yang dicekam semacam "fiksasi" pada karyanya yang harus mampu mengatasi persoalan politik yang sudah di luar ranah awal sosiologi posivistik. Tentu saja perubahan atau belokan tajam dari upayanya mendapat banyak kritikan dari para ilmuwan yang meragukan pendekatan positivisme akan dapat menangkap fenomena politik yang sangat cair. Menyedihkan bukan? Tapi kelak, pendekatan positifnya ini berhasil menginspirasi tokoh besar lain di bidang sosiologi, yakni Emile Durkheim.
Lalu apa hubungannya, kisah si Comte dengan pendidikan di tanah air dengan mendoan, atau dengan pisitivisme. Â Bukankah kisah Comte itu serupa dengan cerita tentang mendoan. Sudah cukup enak dan tinggal santap sajian ala mendoan yang setengah matang, mengapa harus dipaksakan untuk juga menyaingi kenikmatan goreng ala krispi? Analogi ini mungkin dapat kita terapkan juga pada relasi pendidikan dengan kurikulum.Â
Tujuan kurikulum yang terutama adalah untuk menopang keberhasilan pendidikan; tapi karena sedemikian terfiksasinya pada kurikulum, bahkan kita rela untuk melupakan tujuan pendidikan demu so kurikulum. Kita tega mengubah mendoan kurikulum jadi gorengan krispi yang hanya akan merusak selera pada dunia pendidikan.
Lalu apa salah satu penyebab utama kita terlampau mendewakan kurikulum? Ya, itu tadi, apalagi bila bukan keterpakuan kita pada yang bersifat positivistik. Kita beranggapan keilmiahan pendidikan sama dan sebangun dengan kesuksesan sekolah menghasilkan siswa atau pdndidik handal. Inilah hal yang harus kita cermati dan bahas di bawah ini.
Mengapa kecenderungan atau fiksasi kita yang berlebihan pada positivisme kurikulum dapat beresiko membahayakan proses dan hadil belajar-mengajar? Karena kecenderungan dan ketergantungan kita pada kurikulum dapat memprovokasi ke arah semacam waham, sebagaimana wahamnya Comte pada sosiologi ilmiah di atas.Â
Mengapa demikian? Apa salahnya dengan keilmiahan positivis? Bukan salahnya keilmiahan positivistis, melainkan kesalahan cara memaknai keilmiahan yang berkebihan dan cenderung meluas atau ekspansif. Padahal, pendekatan positovistik  hanya menonjolkan satu dimensi dari banyak dimensi yang melingkupi realitas sosial, yakni dimensi yang terukur dan bersifat linear.Â
Positivism gagal menangkap fenomena yang teramati namun bersifat non-linear atau fenomena yang mengandung unsur kontradiktif . Tidak semua fenomena sosial memiliki ciri keutuhan pada dirinya sendiri, ada sebagian fenomena sosial yang muncul dari semacam pertentangan, ada pula fenomena sosial yang mengandung ragam tahapan, yang setiap tahapannya memiliki kekhasan uniknya sendiri yang bahkan cirinya dapat bersifat kebalikan dari tahap sebelumnya, juga terdapat fenomena sosial yang mengandung banyak makna meskipun dalam satu pernyataan yang serupa.
Misalnya: pendapat Karl Marx tentang faktor ekonomi sebagai bangunan utama (dasar), Â dan faktor sosial-politik, budaya dan agama sebagai bangunan atas: dapat dimaknai selain sebagai rumusan baku, Â juga dapat dilihat sebagai rumusan yang bersifat temporal: artinya, untuk mencairkan paradigma lama yang masih terlampau solid pengaruh non-ekonomi-nya.
Maka satu-satunya cara terefektif adalah memutlakkan nilai faktor ekonomi sebagai bangunan bawah dengan tujuan tercapainya perubahan perspektif yang radikal, bukan sebagai rumusan baku. Ia ingin merevolusi cara pandang kuno yang lebih mengutamakan ragam faktor bangunan atas yang non-ekonomis ke arah cara pandang "baru" (pada eranya)  yang didominasi faktor ekonomi sebagaimana yang jadi praksis utama dalam era moderen. Tujuannya adalah untuk mengubah secara drastis perspektif sosial di jaman puncak perubahan dari era feodalistis ke era borjuis yang serba ekonomis. Fenomena sosial seperti inilah yang mustahil untuk dapat ditangkap melalui  pendekatan positivism.
Dari perspektif perubahan revolusionistis ala Karl Marx ini, muncul pertanyaan di benak penulis, apakah strategi seperti ini dapat kita terapkan dalam era masa-masa kritis puncak perubahan ke jaman informasi? Setidaknya, kita dapat meniru langkah strategis Karl Marx dan mencari atau menentukan landasan baru untuk mencapai bentuk solid masa yang akan datang, mungkin saja landasan itu sekarang bergeser ke arah  kebutuhan akan informasi.
  Dengan demikian, untuk mensikapi situasi dan kondisi yang sudah menuntut perubahan radikal ini, kita semua dituntut untuk  berlapang dada seluas-luasnya. Beranilah membuka visi terobosan yang mengandung aneka keanehan perspektif baru; karena untuk meraih kepadatan baru kita harus mencairkan kepadatan lama. Terima-kasih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H