Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pendidikan, Positivisme, dan Mendoan

11 Agustus 2020   16:45 Diperbarui: 11 Agustus 2020   16:50 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lalu apa hubungannya, kisah si Comte dengan pendidikan di tanah air dengan mendoan, atau dengan pisitivisme.  Bukankah kisah Comte itu serupa dengan cerita tentang mendoan. Sudah cukup enak dan tinggal santap sajian ala mendoan yang setengah matang, mengapa harus dipaksakan untuk juga menyaingi kenikmatan goreng ala krispi? Analogi ini mungkin dapat kita terapkan juga pada relasi pendidikan dengan kurikulum. 

Tujuan kurikulum yang terutama adalah untuk menopang keberhasilan pendidikan; tapi karena sedemikian terfiksasinya pada kurikulum, bahkan kita rela untuk melupakan tujuan pendidikan demu so kurikulum. Kita tega mengubah mendoan kurikulum jadi gorengan krispi yang hanya akan merusak selera pada dunia pendidikan.

Lalu apa salah satu penyebab utama kita terlampau mendewakan kurikulum? Ya, itu tadi, apalagi bila bukan keterpakuan kita pada yang bersifat positivistik. Kita beranggapan keilmiahan pendidikan sama dan sebangun dengan kesuksesan sekolah menghasilkan siswa atau pdndidik handal. Inilah hal yang harus kita cermati dan bahas di bawah ini.

Mengapa kecenderungan atau fiksasi kita yang berlebihan pada positivisme kurikulum dapat beresiko membahayakan proses dan hadil belajar-mengajar? Karena kecenderungan dan ketergantungan kita pada kurikulum dapat memprovokasi ke arah semacam waham, sebagaimana wahamnya Comte pada sosiologi ilmiah di atas. 

Mengapa demikian? Apa salahnya dengan keilmiahan positivis? Bukan salahnya keilmiahan positivistis, melainkan kesalahan cara memaknai keilmiahan yang berkebihan dan cenderung meluas atau ekspansif. Padahal, pendekatan positovistik  hanya menonjolkan satu dimensi dari banyak dimensi yang melingkupi realitas sosial, yakni dimensi yang terukur dan bersifat linear. 

Positivism gagal menangkap fenomena yang teramati namun bersifat non-linear atau fenomena yang mengandung unsur kontradiktif . Tidak semua fenomena sosial memiliki ciri keutuhan pada dirinya sendiri, ada sebagian fenomena sosial yang muncul dari semacam pertentangan, ada pula fenomena sosial yang mengandung ragam tahapan, yang setiap tahapannya memiliki kekhasan uniknya sendiri yang bahkan cirinya dapat bersifat kebalikan dari tahap sebelumnya, juga terdapat fenomena sosial yang mengandung banyak makna meskipun dalam satu pernyataan yang serupa.

Misalnya: pendapat Karl Marx tentang faktor ekonomi sebagai bangunan utama (dasar),  dan faktor sosial-politik, budaya dan agama sebagai bangunan atas: dapat dimaknai selain sebagai rumusan baku,  juga dapat dilihat sebagai rumusan yang bersifat temporal: artinya, untuk mencairkan paradigma lama yang masih terlampau solid pengaruh non-ekonomi-nya.

Maka satu-satunya cara terefektif adalah memutlakkan nilai faktor ekonomi sebagai bangunan bawah dengan tujuan tercapainya perubahan perspektif yang radikal, bukan sebagai rumusan baku. Ia ingin merevolusi cara pandang kuno yang lebih mengutamakan ragam faktor bangunan atas yang non-ekonomis ke arah cara pandang "baru" (pada eranya)  yang didominasi faktor ekonomi sebagaimana yang jadi praksis utama dalam era moderen. Tujuannya adalah untuk mengubah secara drastis perspektif sosial di jaman puncak perubahan dari era feodalistis ke era borjuis yang serba ekonomis. Fenomena sosial seperti inilah yang mustahil untuk dapat ditangkap melalui  pendekatan positivism.

Dari perspektif perubahan revolusionistis ala Karl Marx ini, muncul pertanyaan di benak penulis, apakah strategi seperti ini dapat kita terapkan dalam era masa-masa kritis puncak perubahan ke jaman informasi? Setidaknya, kita dapat meniru langkah strategis Karl Marx dan mencari atau menentukan landasan baru untuk mencapai bentuk solid masa yang akan datang, mungkin saja landasan itu sekarang bergeser ke arah  kebutuhan akan informasi.

   Dengan demikian, untuk mensikapi situasi dan kondisi yang sudah menuntut perubahan radikal ini, kita semua dituntut untuk  berlapang dada seluas-luasnya. Beranilah membuka visi terobosan yang mengandung aneka keanehan perspektif baru; karena untuk meraih kepadatan baru kita harus mencairkan kepadatan lama. Terima-kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun