Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Deprivasi Apresiasi

5 Agustus 2020   19:03 Diperbarui: 5 Agustus 2020   18:54 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bukannya penulis ingin bersikap sok berlagak teknis ilmiah, melainkan benar-benar sedang gagal kenal padanan dua kata di atas; setidaknya setelah mengacak-acak KBBI dan hanya menemukan perulangan kembar kata tersebut. Singkatnya, deprivasi itu merujuk pada makna kekurangan terkait faktor kritis (umumnya bersifat psikologis) yang dibutuhkan agar dapat hidup layak. 

Sedangkan makna apresiasi, yang lebih populer, merujuk ke makna syarat kemampuan minimal untuk menghargai nilai positif yang melekat pada kondisi atau substansi tertentu. Mungkin padanan terdekat dari kedua ungkapan itu adalah "sense of belonging in a kind of crisis". Tambah ruwet khan? Pokoknya itu deh!

Biasanya ukuran deprivasi apresiasi ini dikaitkan dengan nilai tanggapan seseorang atau sekelompok orang pada kondisi krisis tertentu secara menyeluruh, singkatnya dengan kemampuan seseorang untuk menilai keseluruhan situasi dan kondisi krisis yang sedang bergejolak. Dengan demikian, deprivasi apresiasi berkaitan erat dengan deprivasi empati, meskipun tidak sebaliknya. 

Orang yang kurang dapat menghargai pengorbanan atau keprihatinan orang lain biasanya adalah juga orang yang kurang empati, tapi belum tentu orang yang empati itu semuanya mengalami deprivasi apresiasi, karena penyebab kurang lebihnya empati itu mencakup rentang faktor yang lebih luas. Ungkapan praktis yang paling mendekati padanan makna minimalis dalam bahasa Jawa untuk deprivasi apresiasi, mungkin, "ngono yo ngono ning ojo ngono" ( bagaimanapun ada sesuatu hal mendasar yang harus tetap kita jaga atau pelihara bersama).

Pada saat kita mulai kehilangan orientasi pada hal pendasaran hidup kebersamaan, pada momen itulah kita berada dalam batas bahaya untuk mengalami deprivasi apresiasi, lunturnya sense of belonging, dan mulai melepaskan peran tanggung-jawab serta mulai berposisi sebagai "yang asing". Pilihan untuk berposisi sebagai " yang asing" ada banyak alasan, pada umumnya alasan tersebut berlandaskan rasa kecewa atau ketidakpuasan.

Yang hendak penulis garis-bawahi adalah bahwa pilihan sebagai "yang asing" itu mengimplikasikan banyak hal yang harus kita sadari keberadaannya. Pertama, pilihan itu mengimplikasikan adanya titik-tolak pandangan yang sudah berbeda atas satu kondisi yang sedang tergelar. Kita sudah tidak berada dalam satu perahu meskipun masih dalam hamparan gelombang yang sama. 

Hal ini juga berarti bahwa nilai suara dan keprihatinan yang berbeda, karena kita akan lebih mengutamakan suara dan keprihatinan dari sesama anggota dalam satu perahu. Sekeras atau sedalam apapun suara dan keprihatinan orang dalam lain perahu, hanya akan terdengar sebagai angin lalu; mungkin sesekali terkesan bak bisikan, tapi apa artinya bisikan di tingkah kepanikan ?

Pilihan sebagai "yang asing" juga mengimplikasikan bahwa telah terjadi kesalahpahaman yang tidak berhasil terjembatani, kesalahpahaman yang memunculkan diskrepansi atau celah dalam dan menganga  diantara kita, entah dalam rupa pemahaman atau harapan/cita yang berseberangan. 

Jurang itulah yang rupanya menghalangi kita untuk tetap berada dalam satu titik tumpu, dalam satu perahu. Kita selalu berseberangan dalam memaknai arus gelombang yang sama, dan itu mengerucut dalam kemustahilan untuk kembali berpadu saat kita memilih perahu yang berbeda, karena nasib atau takdir yang akan mendamparkan kita pun sudah tak lagi sama.

Pertanyaan yang muncul dalam benak penulis, apakah pilihan pada "yang asing" itu serupa atau sebangun dengan pilihan sebagai oposan politik? Bukankah seradikal apapun suara dan keprihatinan oposan itu masih tetap terikat dalam rangka atau naungan yang sama? Bukankah oposan itu hanya berbeda dalam cara kita mengendalikan perahu alih alih melompat ke perahu lain? 

Setidaknya, seorang oposan masih dalam konteks keseperahuan, sehingga suara dan keprihatinannya masih pantas didengar atau bahkan diikuti? Memilih dan memutuskan untuk berpindah perahu bukan lagi masalah perbedaan melainkan masalah pelarian dan penyangkalan total yang mengimplikasikan keputusan untuk menentukan nasib sendiri? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun