Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangankan Pendidikan, Wabah Pun Dipolitisasi: "Trump Complex!"

4 Agustus 2020   04:03 Diperbarui: 4 Agustus 2020   04:01 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Akhir-akhir ini,  karena sudah merasa jenuh dengan berita politik dalam negeri, penulis mencoba untuk sejenak alihkan perhatian ke dunia luar. Alhasil saluran CNN terpilih untuk sasaran rehat, dan dengan penuh gairah baru masuklah ia ke ranah virtual politik Amerika. Alamak! 

Bahkan nun jauh di sana, di negara yang katanya super-power itu pun tak beda jauh dengan kondisi kita di sini! Satu-satunya pembeda, setidaknya menurut penulis, adalah bahwa di sana justru kepala pemerintahannya yang paling gencar  dianggap sebagai "provokator informasi sesat" , sebaliknya dengan yang terjadi  di sini yah!?

Tapi karena penulis sudah terlampau "jenuh" untuk membahas politik dalam negeri dari kacamata pelosok negeri, maka tak ada salahnya bila kini mencoba melihat dari pantulan bayangan negeri asing adidaya tersebut. 

Bila di sana, pada kondisi terkini, yang paling panik dengan wabah covid adalah masyarakat yang termuwakil oleh pimpinan koordinator gugus-tugas covid-nya, dan kerap dibantah serta dilecehkan oleh sang kepala pemerintahan yang gemar menyebarkan berita pelecehan pada fenomena covid, meskipun telah terbukti menelan korban sebanyak 150 ribu korban tewas dari empat juta kasus (sampai tanggal kini 4 Agustus 2020); 

Maka sebaliknya, di tanah-air justru masyarakat media dan sebagian besar politisi di luar pemerintahanlah yang melecehkan bahaya wabah covid dengan isu "grand scenario". 

Bila penulis coba pahami motif Trump dalam setiap tindak pelecehan pada peringatan bahaya wabah adalah untuk menutupi kelemahan beliau dalam upaya antisipasi covid, mengapa cara efektif ini tidak dilakukan oleh bapak presiden kita, bila benar bahwa ada grand scenario terkait covid? Mengapa justru bapak Jokowi yang lebih panik dari masyarakat media atau bahkan dari gugus-tugasnya?

Bila upaya Trump itu sekedar sandiwara untuk menutup-nutupi faktor "x" (grand-scenario) yang mungkin disutradarai-nya, maka pertanyaannya adalah :"Apa yang sedang dipertaruhkannya? 

Bukankah ketidakberdayaannya terhadap wabah covid justru akan kian melemahkan posisinya di dalam pemilu dan melemahkan daya bangkit perekonomian negara yang mulai terpuruk? 

Dan bukankah penyangkalannya pada peringatan genting ancaman wabah adalah untuk menyelamatkan upaya pemulihan ekonomi dan juga posisi keterdukungannya?"

Seandainya motif utama dari faktor "x" itu bersifat makro dan arti kepentingannya melampaui atau supra elektabilitas, seperti misalnya melumpuhkan pesaing utama yang mulai mengancam posisi dominasinya yaitu, yang paling nampak menonjol,  Cina. 

Kemungkinan lain adalah untuk menciptakan tatanan dunia baru yang akan memulihkan dominasi kekuasaannya melalui krisis ekonomi dunia yang sengaja dimunculkan bersama wabah covid dan akan menyulut terbentuknya pengerucutan kelompok atau aliansi ke dalam kubu AS dan kubu pesaingnya Cina; antara kubu penguasa dunia lama yang ingin tetap bertahan dan kubu pesaing baru yang ingin merebut dominasi.

Bila "grand-scenario" itu benar ada, maka penulis lebih merujuk pada kemungkinan yang terakhir. Mengapa ? Pilihan penulis lebih disebabkan oleh faktor reaksi atau tanggapan Cina sebagai calon pesaing utama perebutan dominasi.  

Bila tidak ada motif tentang tatanan dunia baru, mengapa Cina yang berposisi sebagai penantang baru justru memperlihatkan sikap tangan besi pada negara tetangga yang lebih lemah (negara di Laut Cina Selatan) dan bahkan pada wilayah angkatnya Hongkong. 

Sikap tangan besi Cina menunjukkan bahwa ia percaya-diri atau sangat tahu kelemahan lawan utamanya; sebagaimana Bismarck percaya pada kedigdayaan Jerman di PD 1; sikap kritik keras Cina pada tatanan dunia yang ada juga terkesan jelas dari reaksi nonkompromi terkait dominasi di ranah dunia maya atau internet beserta segenap produk IT sertaan lainnya. M

Mengapa Cina mengambil sikap tegas dan bahkan terkesan tangan besi alih-alih mengambil simpati untul memperoleh dukungan negeri tetangga?  

Ada tiga alasan utama, pertama mempertahankan kepentingan ekonominya dari ancaman terebut dari pesaing utama, dan kedua, bila terjadi perang,  penentu kemenangannya bukan lagi pada banyaknya sekutu, melainkan lebih pada faktor kecanggihan teknologi dan sumberdaya manusia. 

Alasan kedua inilah yang menjadi pendasaran murkanya Cina pada Inggris ketika tahu bahwa Inggris akan menampung warga Hongkong. Dan ketiga, bila  terjadi akibat mega-fatal dari perang, kedua negara adijaya telah punya kapling di luar-angkasa, kapling untuk manusia unggul ber-SDM mumpuni. 

Akhirnya, yang tersisa di dunia lantak bak padang-pasir global, tinggal penduduk dunia ketiga yang masih saja sibuk meramal hari kiamat. Padahal kiamat berjalan sudah sejak saat ini, dan tidak terjadi secara dadakan seperti yang selalu kita yakini; hanya kehancuran pungkasannya-lah yang bersifat dadakan.

Tapi benarkah semulus itu jalannya skenario besar? Bukankah keyakinan berlebih ini juga pernah diidap oleh seorang Hitler? Mungkin saja karena kita telah belajar sejarah dan belajar perhitungan yang kian rumit, alur skenario besar itu jadi kecil kemungkinan sesatnya. 

Tapi kemungkinan sesat akan tetap ada selama keputusan akhir masih terkondisikan oleh misteri kasih dan hasrat-hasratnya. Jadi, mulailah belajar menimbun cinta alih-alih menumpuk puja.

Lalu apa kaitannya semua hal "ngoyoworo" ini kupaparkan? Kaitannya adalah keprihatinan bahwa masih saja banyak yang ingin jadi penguasa dadakan di tengah prosesi kiamat, masih banyak yang mencerca dan melecehkan tenaga medis sebagai pendusta wabah.

Masih banyak yang beranggapan pendidikan kita belum dalam kondisi sekarat dan perlu (sekali) langkah terobosan untuk mewujudkan SDM handal. Mungkin, memang kita hanya butuh kiamat dadakan; jangan khawatir, aku akan jadi rekan setiamu sekalian; karena kemarahan sekaliber presiden-pun kalian abaikan..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun