Mohon tunggu...
Antonius Naibaho
Antonius Naibaho Mohon Tunggu... wiraswasta -

MC - Blogger - Traveler - Guide - PR | Duta Pariwisata | Duta Simatah Daging | Duta Muda Berbakat | founder @pariwisataSUMUT @travelingMEDAN @teaterMEDAN

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pecah-pecah Piring? Eta Lojang!

9 Juli 2013   15:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:47 5132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13734504762147029054

Kekayaan budaya tradisional dan kearifan lokal sebagai komponen kepariwisataan menjadi sebagian besar point of view yang sangat penting demi menarik minat kunjung wisatawan ke suatu daerah. Salah satunya adalah permainan tradisional yang jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan permainan modern yang digandrungi banyak orang.

Mungkin anda belum pernah mendengar suku etnies batak Pakpak yang berasal dari kabupaten Pakpak Bharat dan kabupaten Dairi di provinsi Sumatera Utara. Selain memiliki keindahan alam yang memperkaya Indonesia Travel, etnies Batak Pakpak juga memiliki seni permainan tradisional yang unik.

Pada masyarakat pakpak, terdapat permainan tradisional yang terbukti mampu menambah kelincahan gerak tubuh, kerjasama team, kontrol emosi, kesehatan tubuh dan memacu daya fikir. Permainan ini dikenal dengan sebutan "Pecah-Pecah Piring"

Uniknya tidak ada batasan umur untuk ikut serta dalam permainan ini. Siapa yang mau dan berani boleh bermain. Tentu dengan mematuhi peraturan tetap dan tambahan. Peraturan tetap adalah peraturan yang sudah turun temurun semenjak permainan ini ada, seperti tidak boleh memegang bola dengan tangan bagi team (kelompok) yang sedang bermain. Peraturan tambahan lebih kepada persetujuan aturan dikedua belah pihak, misalnya tidak boleh menendang bola.

Permainan pecah-pecah piring membutuhkan bola yang dibuat dari kertas dengan batu kecil dibagian dalamnya. Selain itu diperlukan batu-batu permukaannya datar agar bisa disusun rapi. Menurut tetua masyarakat Pakpak, dulunya permainan pecah-pecah piring menggunakan piring yang terbuat dari kaca namun karena beberapa faktor maka digantikan dengan batu. Jumlah batu biasanya disesuaikan dengan kesepakatan dikedua belah.

Nah, jumlah keseluruhan peserta harus genap agar dapat dibagi rata kedalam dua kelompok. 2 Pemimpin kelompok dipilih berdasarkan kemampuannya yang dianggap hebat bermain pecah-pecah piring. Kedua pemimpin inilah yang akan memilih anggota kelompoknya.

Sistematika permainnya unik, kedua kelompok terlebih dahulu menyusun keseluruhan batu. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan kelompok mana yang akan bermain sebagai penyerang (njahat) dan yang diserang (burju).

Kelompok burju melemparkan bola hingga batu-batu yang disusun tadi kembali berantakan. Dan tugasnya adalah kembali menyusun batu-batu seperti sediakala seraya menghindari tubuh terkena lemparan bola dari kelompok njahat.

Kelompok njahat bertugas untuk menjaga batu-batu agar tidak selesai disusun kembali oleh kelompok burju. Kelompok njahat juga bertugas untuk menyerang kelompok burju dengan cara melemparkan bola sehingga mengenai kelompok burju.

Nah.. Bila semua kelompok burju terkena lemparan bola sebelum keseluruhan batu-batu tersusun, maka permainan usai dan kelompok njahat menjadi pemenang. Sebaliknya bila semua batu tersusun oleh kelompok burju maka mereka yang menjadi pemenang.

Didalam permainan pecah-pecah piring ada beberapa istilah dalam bahasa Pakpak :

Geddal : bila pihak penyerang (njahat) terlalu kuat melemparkan bola sehingga pihak yang diserang (burju) kesakitan. Eta Lojang : Kelompok Burju harus berlari dan berusaha untuk menghindar terkena lemparan bola dari kelompok njahat bila salah satu dari anggota berhasil membuat batu yang tersusun rapi kembali berantakan. Sidung : bila pihak yang diserang siap menyusun keseluruhan batu tanpa ada anggota yang gugur. Kenna : Anggota yang dikenai bola maka tidak boleh ikut bermain lagi.

Permainan ini masih kerap ditemukan di beberapa desa di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat, tergerusnya kebudayaan lokal akibat globalisasi sepertinya tidak berpengaruh terhadap permainan tradisional pakpak yang satu ini. Bila mengingat zaman dulu dikala masih kecil, ingin rasanya pulang kampung sesegera mungkin dan berteriak...... "Eta Lojang....!!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun