Mohon tunggu...
Antonius Satrio Wicaksono
Antonius Satrio Wicaksono Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Arkeologi

Nulis tentang arkeo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Klasifikasi Gaya pada Motif Prambanan

1 Mei 2020   23:45 Diperbarui: 2 Mei 2021   23:02 2405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Motif Prambanan (http://lionmag.net/web/2016/11/09/candi-prambanan-warisan-agung-peradaban-hindu)

Motif Prambanan” adalah ornamen khas Candi Prambanan yang terdiri atas relung arca singa yang diapit oleh dua panil relief Kalpataru (Kempers & Johan, 1959, 60). Motif ini terletak di bagian atas kaki candi, tersebar di candi-candi di kelompok candi Trimurti maupun kelompok candi Wahana dengan jumlah total 270 panil (Istanto, 2017, vii).

Satu Motif Prambanan terdiri atas tiga bidang. Bidang bagian tengah adalah relung yang dihias dengan Kala-Makara, sosok mitologis yang biasa terpajang sebagai penjaga pintu maupun relung bangunan candi. Relung ini diapit oleh dua bidang lain yang masing-masing dibingkai dengan motif floral-geometris ceplok bunga. Selain itu, di dalam relung terdapat arca singa yang tampak tidak begitu realis -- bisa jadi dikarenakan sang seniman tak pernah melihat singa secara riil berhubung singa tidak berhabitat di Jawa, atau mungkin juga ia sengaja meromantisasi bentuknya. 

Terpampang secara ikonik di dua bidang pengapit merupakan pohon kahyangan yang dikenal dengan istilah Kalpataru (Muhajirin, 2010, 37). Kalpataru ini mempunyai dedaunan layaknya tanaman sulur yang tumbuh dan keluar dari jambangan berbentuk batang pohon.  Di kanan-kiri Kalpataru berdiri sepasang Kinara-kinari, musisi surgawi berwujud makhluk setengah burung setengah manusia (Rowland, 1977, 12). Sementara itu, di bagian puncaknya, selain tertancap sebuah payung (chattra), adapun sepasang burung yang terbang di sekitarnya dan bersiap untuk hinggap. Hal lain yang dapat kita amati, meskipun kedua bidang Kalpataru punya komponen yang sama, detail suluran dan gestur Kinara-kinari dan burung antara kedua bidang tersebut berbeda.

Berdasarkan pengamatan saya, Motif Prambanan bisa diklasifikasikan ke dalam tiga gaya. Antara lain gaya Jawa Tengah, gaya seni timur, dan sebagai gaya Motif Prambanan itu sendiri.

Gaya Jawa Tengah

Istilah Gaya Jawa Tengah dan Gaya Jawa Timur sebenarnya mengacu pada tipologi candi di Jawa. Pasca Mataram Kuno memindahkan sentra pemerintahannya ke Jawa Timur pada abad ke-10, arsitektur candi berkembang dan menjadi lebih berbeda dengan di tempat sebelumnya, Jawa Tengah. Perbedaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain pengaruh Tantrisme, perkembangan kesusastraan, maupun perbedaan sumber daya. Candi-candi yang berada di Jawa bagian tengah dan dibangun sebelum abad ke-10, salah satunya Candi Prambanan, memiliki bentuk, bahan, relief, dan tata letak yang serupa, sehingga dapat dihimpun ke dalam satu tipe yang kemudian dinamakan “Gaya Jawa Tengah”. Berhubung relief termasuk satu tolok ukur pembanding gaya candi, maka istilah gaya candi berlaku pula bagi gaya relief.

Motif Prambanan memiliki ciri relief Gaya Jawa Tengahan.  Motif yang melekat pada candi abad 9 ini terkesan naturalis. Bidang pengapitnya yang menggambarkan Kalpataru merupakan high-relief dengan ketebalan ½ sampai ¾ dari dasar panil. Di samping itu, permukaan relief ini memiliki spot kosong yang luas karena tidak diisi dengan corak mendetail. Ciri-ciri ini menunjukkan Gaya Jawa Tengah daripada Gaya Jawa Timur (lihat: Soekmono, 1973, 66; Klokke, 1993).

Gaya Seni Timur

Motif Prambanan tidak digambarkan dengan sudut pandang mata katak maupun mata elang seperti halnya karya seni Barat. Motif Prambanan digambarkan datar. Hal ini merupakan ciri dari gambar tradisional dari Timur (Tabrani, 2012).

Namun patut kita catat, sebenarnya ciri-ciri gambar tradisional timur di samping menggambarkan sudut pandang yang datar adalah juga menggambarkan dimensi ruang dan waktu yang bervariasi (sekuensial). Variasi dimensi ruang dan waktu contohnya bisa kita temukan pada relief “Sayembara Memanah” Candi Borobudur yang menampilkan pergerakan tokoh secara sekuensial dan tumpang tindih dalam satu panil. Penggambaran semacam ini tidak terdapat pada Motif Prambanan. Hal ini tidak mengherankan, sebab penggambaran sekuensial terdapat pada relief naratif. Sedangkan relief Motif Prambanan pada dasarnya menangkap momen yang tunggal, yaitu sebatas cuplikan kehidupan surgawi.

Relief Sayembara Memanah (http://dkv-unpas.blogspot.com/2010/05/membaca-borobudur_16.html?m=1)
Relief Sayembara Memanah (http://dkv-unpas.blogspot.com/2010/05/membaca-borobudur_16.html?m=1)

Motif Prambanan sebagai Gaya Tersendiri

Selain menyuguhkan gaya Jawa Tengahan dan mencirikan gaya seni Timur, kita bisa menyebut Motif Prambanan itu sendiri sebagai sebuah gaya. Hal ini bisa dilihat dari komposisi yang ada pada relief. Unsur-unsur di dalam relief, misalnya Kalpataru dan Kinara-kinari, memang bisa kita jumpai di berbagai candi. Akan tetapi ornamen berkomposisi “dua bidang panil Kalpataru mengapit relung berarca singa” hanya ditemukan di Candi Prambanan. Oleh sebab itu para ahli menyebut ornamen ini sebagai motif khas Prambanan. Dari kekhasan inilah Motif Prambanan dapat disebut sebagai sebuah gaya tersendiri. Dalam hal ini, seniman pembuat Motif Prambanan, entah individu maupun komunal, memiliki peran penting yang memengaruhi terbentuknya gaya.

Dengan demikian...

Dapat disimpulkan bahwa Motif Prambanan bisa diklasifikasikan sebagai Gaya Jawa Tengahan yang identik dengan latar belakang ruang dan waktu, sebagai Gaya Seni Timur yang identik dengan latar belakang ruang, dan sebagai gaya tersendiri yang identik dengan senimannya.

Gaya lain yang merepresentasikan motif ini mungkin masih bisa dieksplorasi. Tapi satu hal yang perlu dingat, gaya berbeda dengan konten karena gaya hanya bertolak pada tampilan visual saja.

REFERENSI

Istanto, R. (2017). Bahasa Rupa Relief Kalpataru pada Candi Prambanan. Thesis. Semarang: FBS UNNES.

Kempers, B., & Johan, A. (1959). Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C. P. J. van der Peet.

Klokke, M. J. (1993). The Tantri Reliefs on Ancient Javanese Candi. Leiden: KITLV Press.

Muhajirin. (2010). Dari Pohon Hayat sampai Gunungan Wayang Kulit Purwa (Sebuah Fenomena Transformasi Budaya). Imaji, 8(1), 33-51.

Rowland, B. (1977). The Art and Architecture of India: Buddhist, Hindu, Jain. In N. Pevsner, & J. Nairn (Eds.), The Pelican History of Art. New York, United States of America: Penguin Books.

Soekmono, R. (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius.

Tabrani, P. (2012). Bahasa Rupa. Bandung: Kelir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun