Mohon tunggu...
Antonius Nesi
Antonius Nesi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis adalah alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; Dosen Unika St Paulus Ruteng, Flores, NTT; Saat ini sedang menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rapor Merah untuk Perguruan Tinggi

31 Oktober 2017   19:54 Diperbarui: 31 Oktober 2017   20:15 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh memilukan karena perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pemegang tertinggi rasionalitas dan kebebasan berekspresi tanpa diintervensi siapapun, kecuali sistemnya yang hanya boleh dikontrol oleh Dikti dan Kopertis, malah mencecerkan noda yang tak pernah hilang dicuci bahkan pakai byclin. Bagaimana mungkin toga kebesaran jatuh di lumpur berbecek sementara tiap hari sang guru mengajarkan kebenaran logika kepada para mahasiswa di ruang ber-AC,mengabdi masyarakat dalam rupa-rupa kegiatan, dan memberi teladan melalui publikasi ilmiah. Tampaknya slogan "revolusi mental" yang diusung pak Jokowi masih relevan menyampaikan nada profetik tanpa pandang bulu.  

Ketika kurikulum pendidikan dasar dan menengah maju selangkah dengan mengutamakan dan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran dengan pendekatan humanistik, saintifik, dan komunikatif, perguruan tinggi malah mundur selangkah dengan tingkah sebagian elit yang tanpa canggung menunjukkan catat karakter, tidak humanis, nonsaintifik, dan miskomunikatif. Perselingkuhan money politicsdiimplisitkan melalui sistem padahal dalam mata kuliah umum Pancasila dan Kewarganegaraan sudah jelas ditegaskan bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah musuh negara, yang dalam lingkup kecil merupakan musuh perguruan tinggi.

Secara substansial, konsep itu sah-sah diterima, tetapi secara praktis, barangkali kacamata Fairclough dan Wodak lebih tajam untuk membedahnya: bahwa praktik wacana bisa jadi menampilkan wajah ganda, yakni ideologi substantif dan ideologi bayang-bayang. Maksudnya, mulut boleh mengucapkan "musuh negara", "musuh kampus", tetapi hati menghendaki kepentingan. Memutus rantai setan ini memang tidak gampang karena Freud sudah mengingatkan kita bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk tak sadar, bahwa di dalam diri manusia terdapat lapis-lapis kepribadian: id,ego, dan superego.

Jika id merupakan sumber energi manusia secara biologis dan psikis, maka ego merupakan lapis dalam diri manusia yang memungkinkan manusia membedakan antara kenyataan dan khayalan. Superego memungkinkan manusia dapat mengendalikan diri dalam hal pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dengan merefeleksikan diri berdasarkan pandangan Freud, barangkali akan ada kesadaran bahwa manusia tak akan pernah meratapi dirinya apabila ia tidak pernah menghina kerapuhan dirinya sendiri dengan menghalalkan segala cara untuk memuaskan ketidakpuasannya.

"Rapor merah perguruan tinggi" tentu bukan suatu generalisasi. Fakta membuktikan bahwa hal yang mencuat ke permukaan sifatnya kasuistik. Namun, berbenah merupakan jalan bijak, terutama jika hal itu dikaitkan dengan Permen Kemenristek Dikti Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Isi Permen ini sungguh menantang kaum akademisi di perguruan tinggi untuk mengemban Tri Dharma Perguruan Tinggi secara profesional, bermartabat, dan berintegritas. Tentu saja hal yang harus diwaspadai ialah munculnya sinyal rapor merah. Gagap tak berarti gagal.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun