Mohon tunggu...
Antonius Nesi
Antonius Nesi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Penulis adalah alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; Dosen Unika St Paulus Ruteng, Flores, NTT; Saat ini sedang menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rapor Merah untuk Perguruan Tinggi

31 Oktober 2017   19:54 Diperbarui: 31 Oktober 2017   20:15 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rapor Merah untuk Perguruan Tinggi

Oleh: Antonius Nesi

Mahasiswa Pascasarjana

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

 Kasus dugaan plagiasi yang menimpa beberapa universitas terkemuka di Tanah Air yang belakangan ini marak diberitakan berbagai media merupakan sinyal kebangkrutan nurani dalam dunia akademik. Bahkan, berbagai meme, entah bersumber dari siapa, yang laris manis terjual di dinding-dinding media sosial merupakan sarkasme visual terhadap para pemakai jubah dan toga bersimbol kitab dan pena.

Yang terakhir itu tentu merupakan suatu perkecualian untuk dikategorikan sebagai fake-news.Bahwasanya, kriminalitas intelektual seolah telah terpola dalam suatu jejaring yang terbungkus rapi dalam barisan kata-kata majas epitet: "kerja sama untuk mencerdaskan bangsa". Akan tetapi, jika pisau silet filsuf Derrida "oposisi biner" dipakai untuk membedah metafora itu, maka hasilnya ialah "bersekongkol untuk membodohkan bangsa". Itulah poin merah pertama dari topik ulasan ini yang bisa diringkas dalam satu kata, mafioso!

Adalah suatu kealpaan akal budi bahwa mencerdaskan kehidupan anak bangsa dapat ditempuh melalui persekongkolan jahat. Atas nama "kerja sama", karya tulis ilmiah seperti skripsi, tesis, bahkan disertasi dijiplak, sedikit dipoles, lalu di-aku sebagai milik. Padahal, karya-karya tulis ilmiah itu sesungguhnya merupakan bukti sah bahwa setelah diuji dan layak, seorang mahasiswa dinyatakan telah menguasai kompetensi sesuai bidangnya, dan berhak menyandang gelar kesarjanaan sesuai ketentuan hukum.

Ironisnya, nada guyon berikut bukan baru pertama kali kita dengar: "Tiap hari biasa-biasa saja di sini, tiba-tiba pergi wisuda." Jalur kerja sama? Jarak jauh? Entahlah. Namun, banyak fakta membuktikan, meminjam dua istilah Chomsky, kompetensikerapkali tidak mencerminkan performansi.Ini analoginya: apabila seseorang telah dinyatakan lulus Sarjana Teknik Sipil mestinya ia dapat menangani proyek pengerjaan jalan raya secara profesional, bukannya usai proyek, aspal di jalan segera terbongkar usai diguyur hujan. 

Apabila seseorang telah menyandang predikat Sarjana Pendidikan, mestinya ia dapat menggunakan pendekatan humanistik ketika mendidik siswa, bukannya menyuruh siswa memungut sampah menggunakan lidah. Itulah poin merah kedua dari topik ulasan ini yang bisa diringkas dalam satu kata, gagap! Apakah mafioso dan gagap harus dibiarkan? Tentu saja tidak!

Memutus Mafioso dan Gagap

Sesungguhnya, mafioso plagiasi telah lama terjadi, bahkan pada setiap saat dengan skala yang berbeda-beda. Ia seolah telah membentuk rantai setan yang sulit untuk karat dan putus karena sudah terlalu lama terstruktur secara masif dan dirawat pula di dalam ruang yang steril. Efek jerah dengan pencopotan gelar kehormatan dan pemecatan jabatan dari institusi toh kejadian serupa masih saja terulang. Ibarat mati satu tumbuh seribu, pecat lima muncul lima puluh, copot satu gelar kehormatan muncul sepuluh ribu gelar kehormatan palsu yang diperoleh entah dari mana tanpa melalui suatu proses perkuliahan yang wajar.

Sungguh memilukan karena perguruan tinggi yang seharusnya menjadi pemegang tertinggi rasionalitas dan kebebasan berekspresi tanpa diintervensi siapapun, kecuali sistemnya yang hanya boleh dikontrol oleh Dikti dan Kopertis, malah mencecerkan noda yang tak pernah hilang dicuci bahkan pakai byclin. Bagaimana mungkin toga kebesaran jatuh di lumpur berbecek sementara tiap hari sang guru mengajarkan kebenaran logika kepada para mahasiswa di ruang ber-AC,mengabdi masyarakat dalam rupa-rupa kegiatan, dan memberi teladan melalui publikasi ilmiah. Tampaknya slogan "revolusi mental" yang diusung pak Jokowi masih relevan menyampaikan nada profetik tanpa pandang bulu.  

Ketika kurikulum pendidikan dasar dan menengah maju selangkah dengan mengutamakan dan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran dengan pendekatan humanistik, saintifik, dan komunikatif, perguruan tinggi malah mundur selangkah dengan tingkah sebagian elit yang tanpa canggung menunjukkan catat karakter, tidak humanis, nonsaintifik, dan miskomunikatif. Perselingkuhan money politicsdiimplisitkan melalui sistem padahal dalam mata kuliah umum Pancasila dan Kewarganegaraan sudah jelas ditegaskan bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah musuh negara, yang dalam lingkup kecil merupakan musuh perguruan tinggi.

Secara substansial, konsep itu sah-sah diterima, tetapi secara praktis, barangkali kacamata Fairclough dan Wodak lebih tajam untuk membedahnya: bahwa praktik wacana bisa jadi menampilkan wajah ganda, yakni ideologi substantif dan ideologi bayang-bayang. Maksudnya, mulut boleh mengucapkan "musuh negara", "musuh kampus", tetapi hati menghendaki kepentingan. Memutus rantai setan ini memang tidak gampang karena Freud sudah mengingatkan kita bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk tak sadar, bahwa di dalam diri manusia terdapat lapis-lapis kepribadian: id,ego, dan superego.

Jika id merupakan sumber energi manusia secara biologis dan psikis, maka ego merupakan lapis dalam diri manusia yang memungkinkan manusia membedakan antara kenyataan dan khayalan. Superego memungkinkan manusia dapat mengendalikan diri dalam hal pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dengan merefeleksikan diri berdasarkan pandangan Freud, barangkali akan ada kesadaran bahwa manusia tak akan pernah meratapi dirinya apabila ia tidak pernah menghina kerapuhan dirinya sendiri dengan menghalalkan segala cara untuk memuaskan ketidakpuasannya.

"Rapor merah perguruan tinggi" tentu bukan suatu generalisasi. Fakta membuktikan bahwa hal yang mencuat ke permukaan sifatnya kasuistik. Namun, berbenah merupakan jalan bijak, terutama jika hal itu dikaitkan dengan Permen Kemenristek Dikti Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Isi Permen ini sungguh menantang kaum akademisi di perguruan tinggi untuk mengemban Tri Dharma Perguruan Tinggi secara profesional, bermartabat, dan berintegritas. Tentu saja hal yang harus diwaspadai ialah munculnya sinyal rapor merah. Gagap tak berarti gagal.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun