Indonesia adalah negeri yang kaya akan keberagaman, baik dari suku, ras, agama, maupun budaya. Di negeri penuh keberagaman ini , toleransi menjadi tantangan tersendiri. Toleransi merupakan kunci untuk menciptakan perdamaian dan keharmonisan di tengah perbedaan. Seperti yang dikatakan Nelson Mandela, "Without tolerance, there can be no peace, and without peace, there can be no future." Tanpa toleransi, konflik akan mudah terjadi, mengancam keutuhan bangsa.
Toleransi dapat dikembangkan lewat berbagai hal, salah satunya adalah dengan mau turun langsung dan hidup di lingkungan dengan orang-orang yang berbeda. Kolese Kanisius, institusi pendidikan yang mayoritas siswanya beragama Katolik atau Kristen memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengembangkan toleransi lewat kegiatan yang disebut ekskursi. Ekskursi merupakan kegiatan di mana siswa kelas 12 Kolese Kanisius melakukan live-in di pondok pesantren sekitar Jakarta. Siswa mendapat kesempatan untuk live-in selama 3 hari 2 malam di Pondok Pesantren Al Marjan di Lebak, Banten, dan pengalaman ini membuka pikirannya.
      Ekskursi tersebut dimulai dengan perjalanan menuju Ponpes Al Marjan menggunakan bus dari sekolah. Pukul 13.00, para siswa tiba di sana, dan perbedaan langsung terlihat dan terasa. Ketika mereka sampai, para santri dan santriwati baru saja selesai sholat dzuhur dan kembali ke kelas. Perwakilan santri dari ponpes mendatangi mereka dan memandu untuk menunggu sebentar di pendopo. Walaupun terdapat perbedaan antara para siswa dan para santri, santri-santri di sana menunjukkan toleransi lewat kehangatan dan penerimaan yang mereka berikan. Setelah itu, rombongan siswa disambut dengan kata sambutan dari kyai, diikuti dengan makan bersama.
      Makan bersama di ponpes ini berbeda dari apa yang dibayangkan sebelumnya. Kegiatan makan dilakukan dengan membagi para santri dan siswa Kanisius menjadi beberapa kelompok berisi lima orang. Setiap kelompok diberikan nampan besar berisi nasi, sayur, dan tempe. Para siswa dan santri makan menggunakan tangan dan berbagi satu sama lain. Pengalaman makan bersama ini sangat berbeda dari kebiasaan siswa-siswa Kanisius, sehingga menjadi sesuatu yang mengejutkan. Namun, melalui pengalaman ini, persaudaraan mulai tercipta dengan para santri lainnya. Setelah makan, mereka diberi waktu untuk beristirahat.
      Waktu istirahat dimanfaatkan oleh siswa untuk berkeliling Pondok Pesantren Al Marjan, sebuah kompleks yang memadukan kesederhanaan dengan aktivitas yang dinamis. Pondok ini memiliki empat bangunan utama yang menarik perhatian. Masjidnya, yang menjadi pusat kompleks, masih dalam tahap pembangunan. Dari luar, tampak dinding yang belum sepenuhnya selesai dan bagian fasad yang masih dipenuhi perancah. Namun, di dalamnya, interior masjid sudah terlihat indah dan rapi, dengan lantai karpet bercorak indah dan mimbar yang telah tertata. Dua bangunan sekolah yang berdampingan terlihat kokoh dengan dinding bercat putih dan jendela besar. Di sisi lain, asrama santri berdiri sederhana, dilengkapi balkon kecil yang sering digunakan para santri untuk beristirahat atau belajar. Lingkungan pondok ini dihiasi pepohonan rindang dan taman kecil yang menciptakan suasana sejuk, meskipun aktivitas pembangunan masjid masih berlangsung.
       Pengalaman lain  yang paling berkesan menurut siswa-siswa Kolese Kanisius dalam kegiatan ekskursi adalah ketika mereka diajak untuk turut serta menjalankan ibadah puasa bersama para santri. Dalam kegiatan ini, siswa-siswa Kanisius mengikuti sahur pada pukul 3 pagi, sebuah aktivitas yang dianggap tidak biasa bagi mayoritas siswa yang beragama Katolik atau Kristen. Kegiatan sahur ini menjadi tantangan tersendiri karena mereka harus menyesuaikan diri dengan jadwal baru dan pola makan yang berbeda. Namun, pengalaman ini secara langsung memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan sehari-hari di pondok pesantren, sekaligus memperkuat rasa toleransi dan hormat terhadap tradisi Islam yang dijalankan oleh para santri.
       Melalui kegiatan ekskursi ini, tercermin bahwa toleransi bukan hanya sekadar konsep abstrak, melainkan sikap nyata yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup bersama dalam keberagaman, seperti yang dilakukan selama live-in di pondok pesantren, membuktikan bahwa perbedaan agama, budaya, dan kebiasaan tidak menjadi penghalang untuk saling menghormati dan menjalin persaudaraan. Pengalaman berbagi makanan, mengikuti sahur, hingga menyaksikan langsung keseharian santri, menjadi pelajaran bahwa toleransi bukan hanya tentang memahami, tetapi juga merasakan kehidupan dari sudut pandang orang lain. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi, "Our ability to reach unity in diversity will be the beauty and the test of our civilization."
       Toleransi memberikan jalan bagi terciptanya harmoni dalam keberagaman. Dengan mempraktikkan sikap ini, masyarakat dapat memperkuat persatuan dan mengurangi potensi konflik yang timbul akibat perbedaan. Ekskursi semacam ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan yang dilandasi penghormatan terhadap perbedaan akan melahirkan rasa saling percaya dan solidaritas. Di tengah tantangan keberagaman yang dihadapi Indonesia, toleransi adalah kunci untuk menjaga keutuhan bangsa, serta memastikan bahwa masa depan yang damai dapat tercapai. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H