Mohon tunggu...
Antonina Ayuning
Antonina Ayuning Mohon Tunggu... -

A proud member of big family called Loyola College #65

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tanjung Balai dan 'Belaian' Medsos pada Remaja

25 November 2016   21:32 Diperbarui: 25 November 2016   22:03 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://www.beritakepo.com/2016/08/ini-motif-ahmad-taufik-tulis-status-di.html

Masih hangat dalam ingatan kita tentang kerusuhan di Tanjung Balai. Peristiwa ini berawal dari komplain seorang wanita Tionghoa pada pengurus masjid di lingkungannya tentang suara adzan yang terlalu keras. Suasana memanas sehingga diadakan pembicaraan antara pihak pemberi komplain dengan kepala daerah, tokoh masyarakat, dan pimpinan ormas agama Islam setempat di kantor Polsek. Di luar kantor Polsek, berkumpul para pemuda yang melakukan orasi-orasi. 

Lalu massa pemuda tersebut bergerak menuju vihara dan klenteng di Tanjung Balai dan melakukan pelemparan batu dan pembakaran alat-alat sembahyang. Kepolisian telah menyelidiki pesan di salah satu media sosial dan menetapkan tersangka yang diduga memicu aksi para pemuda ini. Dari peristiwa ini kita bisa melihat sedemikian besar dampak dari media sosial terhadap perilaku anak-anak muda. 

Media Sosial yang Provokatif 

Pada jaman sekarang, teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi bagian erat kehidupan masyarakat. Hampir semua orang memiliki setidaknya satu gadget yang menunjang kegiatan interaksi dan penyebaran informasi melewati batas ruang. Setiap orang bisa berbagi wawasan dan informasi terkini yang mudah diakses melalui media sosial dalam gadget. Selain itu, mereka juga bisa berekspresi dan mengemukakan sudut pandang baru yang menginspirasi orang lain. 

Lewat media sosial pula, muncul trendsetter-trendsetter dunia maya yang menginspirasi gaya hidup anak-anak muda. Media sosial telah menjadi kebutuhan semua orang, terutama anak-anak muda yang tidak mau disebut ketinggalan jaman. Dengan demikian, media sosial merupakan teknologi mutakhir yang efektif untuk membentuk opini publik. 

Namun, rupanya media sosial juga berhasil dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menciptakan persepsi negatif terhadap kelompok masyarakat lainnya. Berbekal fakta seadanya, oknum-oknum tersebut mendistorsi realita untuk menciptakan kesan buruk sebuah kelompok masyarakat lewat sebuah pesan media sosial. Bahkan, sering dijumpai gaya bahasa hiperbola dan landasan ajaran agama tertentu disertakan dalam pesan tersebut. 

Tujuannya  untuk semakin meyakinkan umat beragama tertentu untuk membenci dan memusuhi umat beragama lainnya. Dampak yang lebih parah lagi, pesan yang disebar di media sosial berhasil memprovokasi massa dari kelompok masyarakat tertentu untuk bergerak melakukan aksi-aksi destruktif yang sarat akan rasisme, seperti yang terjadi di Tanjung Balai. 

Anak Muda yang Tidak Logis, Rasis, dan Anarkis 

Kerusuhan di Tanjung Balai membuktikan bahwa kemajuan teknologi media sosial ini kurang diimbangi dengan kemajuan moral dan penghayatan kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak muda. Remaja sudah terbuai akan kebenaran yang seolah-olah cepat diungkap oleh media sosial. Mereka menjadi malas, cenderung menerima tren dan opini di media sosial mentah-mentah tanpa mau berpikir kritis dan rasional. Bahkan tren dan gerakan-gerakan massa yang populer tapi nyeleneh pun akan diikuti.  

Bahkan media sosial berhasil membentuk pemahaman mereka tentang pelaksanaan kehidupan beragama. Sering dijumpai pesan di madia sosial yang berisi yang cenderung melenceng dari nilai nurani yang universal. Nilai nurani (values of being) mengajarkan untuk menghargai eksistensi orang lain, meskipun memiliki pandangan dan prinsip yang berbeda. 

Namun, persepsi religiositas yang feodal dan opini negatif anak-anak muda yang dibentuk oleh media sosial ditambah sifat keremajaan yang ekspresif tanpa pikir panjang, membuatnya menjadi rasis dan anarkis. Aksi kerusuhan di Tanjung Balai menjadi bukti bahwa anak muda mudah tersulut emosinya dan segera bertindak, meskipun belum mengetahui dan memahami peristiwa sebenarnya secara utuh. 

Solusi : Generasi Muda yang Kritis dan Humanis 

Di tengah tantangan globalisasi, di mana media sosial berkembang pesat dan masyarakat yang semakin beraneka ragam, generasi muda dituntut untuk berpikir kritis dan bersikap humanis. Pola pikir kritis ini sangat diperlukan dalam menyeleksi informasi yang masuk. Menjadi kritis dapat dimulai dengan cara mengesampingkan subjektivitas saat mendengarkan seseorang. Diperlukan kerendahan hati dalam mendengarkan orang lain, bukan kerendahan diri. Kerendahan diri secara naluriah hanya akan membuat kita meng-input semua informasi. 

Belum tentu informasi yang disampaikan teman yang kita sukai sesuai dengan kenyataan. Belum tentu juga sudut pandang yang ditawarkan orang yang tidak kita sukai berlawanan dengan nilai-nilai kebaikan. Semua informasi yang diterima harus ditimbang dulu baik buruknya. Jika tidak yakin, lebih baik kita bertanya orang-orang yang lebih berpengalaman, seperti orang tua dan guru. Dengan berpikir kritis, remaja menjadi cerdas dalam melihat kenyataan secara utuh dan mengambil nilai-nilai positif  sehingga menciptakan pergaulan yang baik. 

Sebagai remaja, kita memang perlu media sosial supaya tetap up-to-date. Namun, interaksi dengan orang lain secara langsung dalam kegiatan sehari-hari jangan sampai terabaikan sebab itulah yang paling penting. Dengan ngobrol bertatap muka, kita dapat memahami seseorang melalui kata-katanya, nada bicaranya, maupun gesturnya. Hal ini memudahkan kita untuk memahami perasaan dan pola pikirnya dengan lebih jelas, sebab tidak semua orang sama seperti apa  yang kita bayangkan. 

Bahkan, seringkali mereka nyatanya terbalik 180 derajat dari apa yang kita pikirkan. Melalui interaksi, kita dapat membuktikan sejauh mana kebenaran prasangka kita tentang anggota kelompok masyarakat lain yang disampaikan pesan-pesan media sosial. Melalui interaksi pula, kita bisa semakin peka, peduli, dan berbagi pada teman yang berbeda pandangan dan tersingkirkan (misal : anggota kelompok minoritas).  

Kita harus membuktikan bahwa remaja Indonesia tidak bisa lagi dibodohi media sosial. Jangan mau terbuai dan dibelai medsos yang provokatif, kawan! 

Oleh : 

Antonina Ayuning Budi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun