Mohon tunggu...
Antoni Sianturi
Antoni Sianturi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEB UI

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dimanakah harus dibangun Pabrik Baterai di Indonesia?

3 November 2020   08:07 Diperbarui: 17 Desember 2020   08:53 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pernahkah kita bertanya mengapa sebelumnya negara China tidak membangun smelter bijih nikel di Indonesia, sementara kita tahu bahwa negara tersebut adalah importir terbesar atas bijih nikel Indonesia, yakni mencapai sekitar 50 persen dari total produksi kita. 

Mengapa China justru membangun smelter bijih nikel di negaranya, yang notabene jauh dari Indonesia sebagai sumber utama bahan baku industrinya?  Dalam perspektif ekonomi neoklasik,  fenomena ini dapat dijelaskan melalui sebuah teori. 

Meskipun teori ini tidak mampu menjelaskan secara detail semua faktor, tetapi secara garis besar dapat memberikan gambaran kepada kita terkait fenomena diatas.  

Philip McCann dalam bukunya berjudul Urban and Regional Economics, mencoba menjelaskan bagaimana sebuah perusahaan menentukan pilihan lokasi industri berdasarkan teori Lokasi Weber. 

Secara sederhana, teori lokasi weber sebenarnya hanya memperhitungkan dari sisi biaya transportasi untuk membawa bahan baku dari sumber bahan baku menuju lokasi industri atau biaya transport membawa output dari lokasi industri menuju pasar output, dengan asumsi ceteris paribus (faktor lain yang mempengaruhi dianggap konstan). 

Tentunya dalam penentuan lokasi dan pendirian sebuah pabrik, dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga diperlukan analisis biaya dan manfaat serta analisis lain yang lebih komprehensif jika ingin mendirikan smelter. 

Pemilihan lokasi pendirian satu Industri ditentukan oleh posisi weber optimum location, yakni penentuan lokasi yang dapat memberikan profit maksimum bagi industri.  

Jadi, ada dua kemungkinan lokasi bagi industri, yakni membangun industri dekat dengan sumber bahan baku atau membangun industri dekat dengan pasar output.  

Dalam hal ini, China membangun smelter bijih nikel di negaranya merupakan pemilihan lokasi industri yang dekat dengan pasar, yaitu dekat dengan semua jenis industri logam yang berbasis nikel.  

Secara umum dapat disimpulkan bahwa bagi pengusaha China, membangun smelter bijih nikel di China lebih menguntungkan daripada membangun smelter bijih nikel di Indonesia.

Sekarang kalau kita perhatikan misalnya, banyak para importir bijih nikel berencana untuk membangun smelter di Indonesia, maka secara sekilas teori lokasi weber masih dapat memberi petunjuk kepada kita, bahwa smelter tersebut akan dibangun dekat dengan sumber bahan baku. 

Namun hal yang tidak  mampu dijelaskan oleh teori weber adalah apakah tindakan para importir dalam rencana mendirikan smelter bijih nikel di Indonesia, merupakan lokasi yang dapat memaksimumkan keuntungan bagi investor atau tidak, karena ada faktor lain selain biaya, yakni faktor non-ekonomi seperti politik dan peraturan yang berlaku di satu wilayah yang sangat dominan dalam menentukan keputusan investasi pendirian smelter.

Di Indonesia sendiri, sebenarnya UU Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 170 telah mengamanatkan kepada pengusaha tambang untuk membangun smelter, tetapi sampai pada tahun 2019, masih banyak pengusaha tambang yang belum membangun smelter walaupun pemerintah sudah berulangkali merelaksasi tenggat waktu pendirian smelter oleh pengusaha. 

Sampai kemudian pada awal Januari 2019, Pemerintah Indonesia secara resmi menerapkan pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pasal 66A, dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa penjualan (ekspor) bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% tidak diizinkan lagi. 

Pelarangan ekspor bijih nikel ini tak ayal membuat para pengusaha  tambang nikel menjerit dan para importir bijih nikel mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku smelter-nya. 

Semangat dari pelarangan ekspor bijih nikel ini sebenarnya adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan juga untuk menghemat cadangan bijih nikel Indonesia.

Berdasarkan data dari kementerian ESDM, ada beberapa provinsi yang menjadi penghasil bijih nikel di Indonesia antara lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara,  Papua, Papua Barat,  Kalimantan Tengah. 

Dari beberapa daerah provinsi ini, ada beberapa sebaran daerah yang menjadi primadona penghasil bijih nikel  antara lain Luwu Timur di Sulawesi Selatan, Sorowako di Sulawesi Selatan, Kolaka di Sulawesi Tenggara, Morowali di Sulawesi Tengah, Halmahera di Maluku Utara, Pulau Ternate, Pulau Obi dan Pulau Gebe di Maluku Utara, dan Pulau Gag di Papua Barat.

 Semua lokasi ini berpotensi menjadi lokasi yang dekat dengan pembangunan smelter. Penetapan lokasi smelter bijih nikel ini dapat menjadi lokomotif hilirisasi industri-industri yang memiliki basis nikel untuk tumbuh di sekitaran area smelter sehingga mendorong terjadinya clustering industri.

Penetapan lokasi smelter di Indonesia memiliki beberapa daya tarik. Jika di China misalnya hanya memiliki keunggulan dekat dengan pasar, tetapi jika membangun smelter di Indonesia maka ada beberapa daya tarik seperti lokasi industri yang lebih dekat dengan sumber bahan baku dan dekat dengan pasar, harga bijih nikel sebagai bahan baku smelter lebih rendah dari harga bijih nikel dunia, bebas bea ekspor, bagi investor yang melakukan penanaman modal minimal 500 milyar akan dibebaskan dari pajak (tax holiday) selama 5 tahun, dan pungutan royalti sebagaiman diatur dalam PP No. 81/2019 untuk bijih nikel yang sudah mengalami pemurnian jauh lebih rendah atau hanya 2 persen dibanding dengan bijih nikel yang mencapai 10 persen.

Indonesia menyadari betul akan potensi dan ketersediaan cadangan bijih nikelnya, sehingga  Pemerintah memiliki ambisi untuk menjadi salah satu negara yang dapat memproduksi baterai lithium. 

Pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel  menjadi salah satu faktor yang mendorong pengusaha tambang nikel dan importir bijih nikel untuk membangun smelter di Indonesia. 

Pembangunan smelter ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan juga dapat digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan baterai lithium. 

Meskipun menurut Ekonom Faisal Basri, bahwa fasilitas smelter yang ada saat ini masih sampai tahap permurnian 25 persen menuju produk akhir, atau belum mencapai tahap permurnian 35 sampai 60 persen maupun sampai tahap permurnian 99,99 persen yang menjadi bahan utama menghasilkan beterai, namun saya yakin bahwa smelter itu sedang dalam proses menuju kesana, mengingat semua usaha yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjadi produsen baterai lithium

Sementara untuk lokasi pendirian pabrik baterai lithium itu sendiri, berdasarkan teori lokasi weber, pembangunan pabrik baterai lithium dapat dibangun  dekat dengan lokasi sumber bahan baku ataupun berada dekat dengan pasar output. 

Dekat dengan lokasi sumber bahan baku, artinya dekat dengan smelter yang menyediakan bahan baku pembuatan baterai lithium yakni nikel murni berkadar 99,9 persen, sementara dekat dengan pasar output artinya dekat dengan pengguna baterai lithium dalam hal ini produsen mobil listrik. 

Namun pemilihan lokasi pendirian pabrik baterai lithium dalam kasus di Indonesia, sepertinya tidak dapat dilihat hanya dari sisi teori weber saja. Faktor lain seperti kemudahan investasi dan fasilitas lainnya yang disediakan oleh pemerintah Indonesia lebih banyak berperan dalam menarik minat banyak investor datang ke Indonesia untuk mendirikan pabrik lithium.

Dari sisi regulasi, pemerintah sudah berada pada jalur yang tepat dalam usaha menjadikan Indonesia salah satu produsen baterai lithium di dunia. Dari sisi ketersediaan bahan baku pembuatan baterai lithium, pemerintah sudah melakukan pelarangan ekspor bijih nikel, sampai bijih nikel tersebut mendapat nilai tambah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Pasal 66A. 

Sementara dari sisi ketersediaan pasar baterai lithium itu sendiri, Presiden sudah mengeluarkan  Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. 

Di dalam aturan tersebut, perusahaan maupun para pengembang kendaraan bermotor listrik berbasis baterai wajib mengutamakan penggunaan komponen dalam negeri. Ada tiga inti dari industri kendaraan listrik yang sudah dikembangkan oleh negara lain, maupun yang akan dikembangkan oleh Indonesia. 

Komponen tersebut antara lain mesin, baterai, dan power converter, dimana 40-50% dari harga jual mobil listrik merupakan harga dari baterainya. Pengembangan baterai untuk keperluan kendaraan listrik telah mendorong permintaan nikel sebagai salah satu bahan utama dalam pembuatan baterai meningkat, di sisi lain, ketersediaan cadangan nikel Indonesia telah menjadi faktor penting yang mendukung dari sisi penawaran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun