Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan kisah-kisah semacam ini, dunia ghaib dan metafisik adalah sesuatu yang tidak mampu diindera oleh mata dan telinga, yang meskipun demikian, bukan berarti 'sisi lain' tersebut adalah tidak ada. Akan tetapi yang perlu dikoreksi kembali adalah; bagaimana penyikapan yang tepat dari seorang pendaki seharusnya mengenai permasalahan seperti ini.
Beriman dan percaya kepada ghaib adalah salah satu pondasi dasar dalam islam. Percaya akan eksistensi alam ghaib merupakan salah satu rukun iman bagi seorang muslim, dan porsi untuk meyakini keghaiban itu sendiri merupakan bagian besar dalam akidah seorang muslim.
Seorang muslim meyakini adanya alam akhirat  (yang ghaib), meyakini adanya siksa kubur (yang ghaib), meyakini adanya qadha dan qadar atau takdir baik dan takdir buruk (yang ghaib), meyakini adanya malaikat (yang ghaib), serta meyakini adanya alam jin yang tak kasat mata (yang juga ghaib).
Bahkan pondasi paling utama dari keimanan seorang muslim akan runtuh jika ia tidak percaya kepada yang ghaib, karena Allah SWT sendiri adalah Dzat yang tidak dapat diindra, tidak dapat dilihat oleh mata, tidak dapat didengar suaranya (secara langsung) oleh telinga, bahkan tidak dapat diimajinasikan oleh akal bentuk dan rupanya (kita telah membahas keterbatasan akal manusia dalam memahami Dzat Tuhan sebelumnya).
Meskipun demikian, kepercayaan dan keyakinan kita kepada yang ghaib tidaklah dapat mengembara jauh dengan sendirinya, tanpa bimbingan dan kemudian tersesat serta hilang arah. Pemahaman keghaiban dan unsur-unsur yang ada didalamnya bagi seorang muslim sejati, tidak dapat lepas sedikit pun dari tuntunan yang telah diberikan oleh Allah SWT dalam al-qur'an juga keterangan berupa hadits dari Rasullullah yang mulia. Ketika sebuah pemahaman tentang alam ghaib dan mistisme terkonversi dalam mitos-mitos dan kepercayaan yang jauh dari ketentuan al-qur'an dan sunnah, maka sudah dapat dipastikan bahwa hal itu akan menyimpang jauh dari kebenaran.
Tentu merasa seram dan takut akan sosok tak kasat mata yang membayangi langkah-langkah dalam pendakian gunung adalah sesuatu yang lumrah dan wajar. Konversi jin dan mahluk alam ghaib tersebut yang berbentuk pocong, gondoruwo, kuntilanak, tuyul atau apa pun sebutan lain yang lazim digunakan dalam masyarakat Indonesia, tentu merupakan suatu hal menyeramkan dan juga menakutkan. Akan tetapi, ketika ketakutan kepada mahluk-mahluk seperti ini berkembang menjadi lebih besar daripada rasa takut kepada yang Maha Menciptakan mahluk itu sendiri, maka ini menjadi situasi yang serius dan membutuhkan penanganan yang cepat.
Konsepsi ketakutan pada mahluk-mahkluk tak kasat seperti itu pada hakikatnya memang harus jauh berbeda dengan model 'ketakutan' kita kepada Allah SWT. Ketakutan kepada mahluk ghaib dengan gambaran menyeramkan adalah sebuah ketakutan yang muncul secara alamiah karena kengerian dan rasa bergidik (seram). Namun ketakutan kepada Allah SWT memiliki tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada itu.
Ketakutan kepada Sang Maha Mutlak adalah jenis ketakutan yang merupakan leburan dari rasa takjub, rasa takut, perasaan harap, rasa cinta, rasa bangga, rasa tunduk, kepatuhan, rasa cemburu dan juga kerinduan. Sudah barang tentu ketakutan kepada mahluk alam ghaib yang banyak dikisahkan dalam berbagai cerita pendakian gunung di Indonesia yang memiliki aroma mistis adalah jenis ketakutan yang seharusnya jauh berada dibawah konsep ketakutan kepada Allah Yang Maha Bijaksana. Jika kemudian konsep ketakutan yang rendah ini ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi dari nilai spiritualitas kepada Tuhan, maka ini adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal.
Kadang muncul sikap yang berlebih-lebihan berkenaan dengan mistisme pegunungan yang bersandar pada dimensi yang menjadikan khurafat dan kesyirikan sebagai tiang. Entah mengapa tema tentang hantu, setan, mahluk angker, jin penunggu, roh ghaib dan lain semacamnya kadang jauh lebih menyita perhatian daripada menikmati alam itu sendiri.