Praktek-praktek yang kurang terpuji, sepertinya sudah menjadi budaya yang tidak pernah hilang meskipun pilkada bukan hanya kali ini saja.
Semestinya dari tahun ketahun adanya perubahan yang lebih baik, lebih matang dalam prosesnya dan lebih menyenangkan bagi semua pihak.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Bawaslu seharusnya mampu melakukan evaluasi dan kinerja yang lebih baik dalam penyelenggaraannya.
Jika melihat fenomena yang ada seolah pemilu maupun pilkada dalam proses penyelenggaraannya tidak semakin baik, justru jalan ditempat dan tidak terlihat adanya kemajuan demokrasi.
Mungkin perihal ini, salah satu indikatornya adalah kurang relevannya proses perekrutan ketika seleksi panitia pemilu maupun pengawas yang masih mengutamakan budaya "titip menitip" dan kepentingan dalam proses seleksinya.
Sehingga organisasi tidak berhasil mendapatkan sumber data manusia (SDM) yang pantas dan relevan yang mampu menciptakan suasana yang lebih baik.
Kericuhan dan persengketaan pun terjadi antara pasangan calon yang sedang bertaruh, seperti saling menyudutkan dikala "debat pilkada", saling rusak media kampanye yang terpasang di jalan-jalan oleh pendukung yang menjadi pesaingnya dan masih banyak kasus yang terjadi menjadi persoalan serius bahkan masuk ke ranah pengadilan.
Hiruk pikuk masa kampanye pilkada memang tidak bisa dihindari adanya, karena suhu masa kampanye pada umumnya "memanas" secara emosional maupun pergerakannya.
Disinilah perlunya pemahaman dan kesadaran tentang aturan pemilu yang harus kuasai dengan baik, bukan hanya oleh panitia pemilu dan pengawas pemilu, namun seluruh masyarakat Indonesia.
Sehingga suhu yang memanas tidak berakhir dengan kekerasan, pengrusakan, maupun praktek-praktek yang merugikan dan tindakan-tindakan yang tidak terpuji.
Perbaikan dan pembenahan dalam proses penyelenggaraan semestinya menjadi prioritas utama agar terciptanya suasana yang baik, humanis dan benar-benar bernilai demokrasi Pancasila.